Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan setapak kapitalis ?

Perubahan-perubahan yang terjadi di cina di sektor: pertanian, kesenian, mode, ilmu pengetahuan, pers dan kritik. orientasi perubahan berpangkal untuk mencari uang sebanyak-banyaknya.

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG kami tak takut lagi jadi kaya," kata Li Genjin. Ia adalah pemimpin suatu brigade produksi di Desa Piaos, tak jauh dari kota industri Qiqihar di bagian barat Provinsi Heolongjiang. Hari itu keluarganya lagi asyik menikmati teve yang baru saja mereka beli. Li, 61 tahun, memang tergolong orang yang beruntung di desanya. Bayangkan, sebuah teve hitam putih di Cina mencapai harga 480 yuan (Rp 175.000), hampir sama dengan penghasilan rata-rata petani selama 5 tahun. Teve kini jadi suatu 'simbol kemakmuran', bahkan jadi suatu pendorong bagi kaum tani untuk bekerja keras. Dan meningkatkan produksi Partai Komunis Cina telah mendorong para petani dengan berlakunya insentif dan pembagian keuntungan untuk meningkatkan produksi. Di Piaos, misalnya, sejak tahun lalu digunakan suatu sistem menghitung berapa besar hasil yang dikerjakan seorang petani Dengan sistem itu seorang petani dibayar sesuai dengan apa yang sudah dikerjakannya. Dalam zaman Ketua Mao, petani hanya dianjurkan bekerja. Atas dasar 'persamaan' orang yang bekerja dulu mendapat hasil yang sama. "Dengan sistem lama pekerjaan menuai selesai dalam waktu 1 bulan, sedang dengan sistem baru hanya 10 hari," kata Li. Perubahan di masa Orde Baru Cina ini tak cuma sampai di situ. Rombongan sirkus dari Anhui yang sekarang mengadakan pertunjukan di Beijing rupanya mengenal insentif juga. Zhen Desheng, 43 tahun, pelatih utama di sirkus itu mengatakan ia melatih 3 beruang 'sosialis' dengan menggunakan "insentif materi." Di situ ada beruang yang suka sekali minum bir. "Kami selalu memberi beruang-beruang itu makanan yang enak untuk menanamkan perasaan bersahabat," ujarnya "Beruang yang lapar sulit diawasi." Selama Revolusi Kebudayaan (1965-1976) pertunjukan sirkus terlarang. Rombongan ini baru aktif kembali pada tahun 1977. Dan sejak itu pula berbagai perubahan timbul di sana-sini. Misalnya: PERTANIAN. Di masa Revolusi Kebudayaan petani melulu bekerja di komune untuk negara, sedang mereka mendapat upah berupa in natura seperti beras, daging dan keperluan sehari-hari lainnya. Sekarang di komune -- seperti di Sichuan dan Anhui -- kelompok petani ataupun individu diperbolehkan mengontrak sebidang tanah dari tim produksi. Dengan 'sistem bertanggung jawab' ini para petani diharuskan mengembalikan hasil produksi yang sudah ditargetkan. Sedang sisanya untuk mereka. Ini mirip dengan sistem bagi-hasil. Kini petani juga diperbolehkan menjual hasil tanamannya ke pasaran bebas. Dan mereka punya waktu luang untuk membuat barang kerajinan tangan. Dengan terbukanya pasaran bebas, petani mulai terdorong mencari tambahan penghasilan -- sesuatu yang mustahil ketika 'komplotan empat' yang dipimpin janda Mao, Jiang Qing, masih berkuasa. Menurut sebuah laporan pemerintah, kebijaksanaan baru itu menaikkan pendapatan per kapita petani di wilayah Sichuan dan Anhui dari US$ 43 pada tahun 1976 menjadi US$ 55 tahun lalu. Semangat kolektif tetap dijalankan. Di komune dekat Chengdu, misalnya, suatu brigade produksi yang berkekuatan 1.200 orang telah dibagi dalam kelompok kerja yang terdiri 100 orang. Jika mereka berhasil melebihi target, sisanya dibagi di antara mereka. Tapi bila produksi mereka kurang dari target yang ditentukan, mereka secara bersama-sama harus menanggung kekurangan itu, yang kemudian disetor kepada negara. Pendapatan anggota brigade di situ tidak harus sama. "Tiga tahun lalu, tak peduli apakah ia bekerja keras atau malas, setiap orang mendapat penghasilan yang sama," kata Fu Shao Rong, seorang pemimpin brigade produksi. Tapi sekarang orang "yang bekerja keras mendapat bayaran lebih," tambahnya. Bahkan sistem kompetisi yang biasanya berlaku di negara kapitalis sekarang mulai diterapkan di Cina. Suatu kelompok yang produktif akan mendapat penghasilan lebih besar dibanding dengan yang kurang produktif. "Pekerjaan akan lebih baik bila dua kelompok saling bersaing," kata Yang Chucn, direktur sebuah komune. KESENIAN. Sebelum Orde Baru, kesenian secara kaku digunakan untuk menyampaikan pesan politik. Ia hampir tidak berfungsi sebagai hiburan. Film, sandiwara dan opera waktu itu tidak dibolehkan menampilkan cerita yang ada hubungannya dengan cinta. Tapi Juli lalu, film yang berjudul Cinta dari Puncak Lushan mulai diedarkan. Film ini yang disutradarai Mo Zumo dengan penulis skenario Bi Bicheng memilih tema sentral percintaan pemudi keturunan Cina yang lahir di Ameriria Serikat dengan pemuda kelahiran Lushan. Sedikit berbau politik pada bagian yang mengisahkan pertemuan mereka hanya bisa karena adanya Komunike Shanghai 1972 yang ditandatangani Presiden Nixon. Namun secara keseluruhan film yang masa putarnya 90 menit ini menampilkan berbagai adegan cinta. Bahkan ada adegan sang pemudi mencium pipi pemuda yang dicintainya itu. Dulu Pengawal Merah menyerang adegan serupa ini sebagai lambang dekadensi Hollywood. Penghargaan mulia dipupuk terhadap musik klasik Barat. Pemerintah RRC bahkan mengundang orkes symphoni dari AS untuk mengadakan pertunjukan di Beijing. Dan sejumlah remaja berbakat telah pula dikirim belajar musik klasik ke Eropa dan AS. Beijing Review dalam suatu laporannya Maret lalu menuturkan bahwa sebagian besar lagu populer yang terpilih bertemakan: Kegembiraan atas sukses dalam pcquangan dan pekerjaan. Dan kecintaan terhadap tanah air serta pujian buat ketabahan cinta seorang pemuda. Tulis Beijing Review: "Rakyat rupanya sangat menyukai lirik karena musik mengungkapkan perasaan." Semua itu terlarang di Revolusi Kebudayaan. Kompetisi lagu ini menunjukkan beragamnya kebutuhan para pendengar. Rakyat Cina yang sedang mensukseskan '4 modernisasi' tidak hanya membutuhkan lagu militan, tapi juga musik dengan lirik yang bisa memperkaya spiritual dan bisa dinikmati pada masa senggang. MODE. Pakaian gaya Mao yang selama ini dipakai kaum pria ataupun setelan celana panjang dengan jas terbuka sedikit di bagian leher yang dipakai kaum wanita, bukan tak mungkin akan menghilang secara perlahan-lahan. Semangat seragaman yang terlihat dari pakaian para pekerja maupun elite partai tampaknya mulai pudar. Suatu majalah mode di Beijing, Fashion, menampilkan nomor pertamanya dengan foto wanita bertopi kuning dan memakai anting-anting panjang di kulit depannya. Sementara di kulit belakangnya tampil foto 3 wanita memamerkan pakaian. Majalah yang terbit 4 kali setahun itu menjelaskan bahwa fungsinya. Pertama, membuat industri pakaian Cina dikenal di dalam dan di luar negeri. Kedua, menunjukkan trend mode terakhir dari Barat guna meningkatkan kemampuan bersaing pakaian buatan Cina di pasaran dunia. ILMU PENGETAHUAN. Di masa 'komplotan empat' berkuasa kaum ilmuwan bergerak kalau ada restu pantai. Dan waktu mereka sebagian besar habis hanya untuk menulis esai yang berisi kritik diri. Pengalaman serupa ini dituturkan Fang Lizhi dosen llmu Fisikadi Universitas Beijing. Karena pernah menganjurkan demokratisasi pada masa sebelum Revolusi Kebudayaan, ia diharuskan menjalankan re-edukasi. Waktu itu (1966) semua kegiatan akademi dihentikan dan universitas ditutup. Fang, seperti yang dituturkannya kepada New Scientist, selama setengah tahun harus tetap berada di universitas mendengarkan kritik para mahasiswa. Setengah tahun berikutnya ia dikirim ke desa untuk bekerja bersama petani. "Dari segi menumbuhkan kesadaran sosial, itu cukup baik. Dari sudut pekerjaan ilmuwan, itu tidak baik," ujar Fang. Tapi sekarang para ilmuwan didorong kembali melakukan pekerjaan riset. Bahkan bila ilmuwan menemui hal penting, ia mendapat hadiah berupa uang tunai. Ilmuwan juga mendapat bagian dari pembayaran kontrak riset yang dilakukan untuk keperluan di luar universitas. Walaupun keterbatasan tetap ada, ilmuwan sekarang bisa bekerja tenang tanpa campur tangan partai. Buktinya, seorang dosen pernah membuat makalah mengenai suatu teori besar yang menyangkut Fisika. Karena ditolak oleh majalah ilmiah, sang penulis mencoba mengirimkan naskah itu kepada Wakil PM Deng Xiao-ping untuk mendapat persetujuan politik. Deng mengirimkannya ke Rektor Universitas llmu dan Teknologi Beijing. Rektor kemudian meneruskannya kepada tenaga ahli. Akhirnya, "isinya betul-betul sampah," kata Fang. PERS. Gaya wartawan Cina pun berubah. Setidaknya, Guan Zaihan sudah tidak lagi membawakan citra wartawan Cina selama ini. Guan, 5 7 tahun, tak beredar dalam zaman sebelum Orde Baru. Ia dikirim meninjau ke AS sebagai p ersiapan dirinya sebelum memimpin redaksi Beijing Times, surat kabar Cina pertama yang berbahasa Inggris. KORAN baru itu nanti, kata Guan yang dikutip Editor & Publisher, suatu majalah mingguan Amerika, akan berbentuk tabloid dengan 16 halaman, 30% di antaranya advertensi. Memang pers Cina sudah mulai gemar advertensi. Harian Rakyat, organ partai, akan menerbitkan edisi bahasa Inggris itu suatu pertanda lagi Cina membuka dirinya. Sasaran pembacanya ialah kalangan turis dan bisnis yang makin banyak datang. "Tapi itu bukan hanya untuk turis. Ada 80% dari 200 juta mahasiswa dan pelajar Cina belajar bahasa Inggris," kata Guan. Supaya penyajian tulisan bahasa Inggrisnya lebih baik, Cina mengimpor antara lain Charles Whipple, bekas redaktur Boston Globe. Dia mengajarkan teknik editing pada staf redaksi Beijing Review, suatu majalah mingguan, dan Xin Hua, kantor berita Cina. "Ada keranjingan belajar bahasa Inggris di Cina sekarang," cerita Whipple. KRITIK. Perubahan di Cina kadang-kadang di luar sangkaan, seperti terhadap Ketua Mao Tse-tung. Foto Mao yang dulunya terpampang di Lapangan Tien An Men sudah dicopot. Begitu pula foto Mao di dalam Balai Rakyat Beijing sebelum berlangsung Kongres Rakyat Nasional, diturunkan. Tapi tak semua rakyat setuju dengan mereka yang mengritik tindakan masa lalu Mao. Di negara yang berpenduduk 1 milyar dan 850 juta di antaranya petani, tak sedikit yang berdiam diri. Seorang guru di Beijing menuturkan pendapat kalangan petani yang pernah ditemuinya: "Mengritik Mao, hampir sama dengan mengritik ayahmu sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus