SEKARANG kami tak takut lagi jadi kaya," kata Li Genjin. Ia
adalah pemimpin suatu brigade produksi di Desa Piaos, tak jauh
dari kota industri Qiqihar di bagian barat Provinsi
Heolongjiang. Hari itu keluarganya lagi asyik menikmati teve
yang baru saja mereka beli. Li, 61 tahun, memang tergolong orang
yang beruntung di desanya. Bayangkan, sebuah teve hitam putih di
Cina mencapai harga 480 yuan (Rp 175.000), hampir sama dengan
penghasilan rata-rata petani selama 5 tahun.
Teve kini jadi suatu 'simbol kemakmuran', bahkan jadi suatu
pendorong bagi kaum tani untuk bekerja keras. Dan meningkatkan
produksi Partai Komunis Cina telah mendorong para petani dengan
berlakunya insentif dan pembagian keuntungan untuk meningkatkan
produksi.
Di Piaos, misalnya, sejak tahun lalu digunakan suatu sistem
menghitung berapa besar hasil yang dikerjakan seorang petani
Dengan sistem itu seorang petani dibayar sesuai dengan apa yang
sudah dikerjakannya. Dalam zaman Ketua Mao, petani hanya
dianjurkan bekerja. Atas dasar 'persamaan' orang yang bekerja
dulu mendapat hasil yang sama. "Dengan sistem lama pekerjaan
menuai selesai dalam waktu 1 bulan, sedang dengan sistem baru
hanya 10 hari," kata Li.
Perubahan di masa Orde Baru Cina ini tak cuma sampai di situ.
Rombongan sirkus dari Anhui yang sekarang mengadakan pertunjukan
di Beijing rupanya mengenal insentif juga. Zhen Desheng, 43
tahun, pelatih utama di sirkus itu mengatakan ia melatih 3
beruang 'sosialis' dengan menggunakan "insentif materi." Di situ
ada beruang yang suka sekali minum bir. "Kami selalu memberi
beruang-beruang itu makanan yang enak untuk menanamkan perasaan
bersahabat," ujarnya "Beruang yang lapar sulit diawasi."
Selama Revolusi Kebudayaan (1965-1976) pertunjukan sirkus
terlarang. Rombongan ini baru aktif kembali pada tahun 1977. Dan
sejak itu pula berbagai perubahan timbul di sana-sini. Misalnya:
PERTANIAN. Di masa Revolusi Kebudayaan petani melulu bekerja di
komune untuk negara, sedang mereka mendapat upah berupa in
natura seperti beras, daging dan keperluan sehari-hari lainnya.
Sekarang di komune -- seperti di Sichuan dan Anhui -- kelompok
petani ataupun individu diperbolehkan mengontrak sebidang tanah
dari tim produksi. Dengan 'sistem bertanggung jawab' ini para
petani diharuskan mengembalikan hasil produksi yang sudah
ditargetkan. Sedang sisanya untuk mereka. Ini mirip dengan
sistem bagi-hasil.
Kini petani juga diperbolehkan menjual hasil tanamannya ke
pasaran bebas. Dan mereka punya waktu luang untuk membuat barang
kerajinan tangan. Dengan terbukanya pasaran bebas, petani mulai
terdorong mencari tambahan penghasilan -- sesuatu yang mustahil
ketika 'komplotan empat' yang dipimpin janda Mao, Jiang Qing,
masih berkuasa. Menurut sebuah laporan pemerintah, kebijaksanaan
baru itu menaikkan pendapatan per kapita petani di wilayah
Sichuan dan Anhui dari US$ 43 pada tahun 1976 menjadi US$ 55
tahun lalu.
Semangat kolektif tetap dijalankan. Di komune dekat Chengdu,
misalnya, suatu brigade produksi yang berkekuatan 1.200 orang
telah dibagi dalam kelompok kerja yang terdiri 100 orang. Jika
mereka berhasil melebihi target, sisanya dibagi di antara
mereka. Tapi bila produksi mereka kurang dari target yang
ditentukan, mereka secara bersama-sama harus menanggung
kekurangan itu, yang kemudian disetor kepada negara.
Pendapatan anggota brigade di situ tidak harus sama. "Tiga tahun
lalu, tak peduli apakah ia bekerja keras atau malas, setiap
orang mendapat penghasilan yang sama," kata Fu Shao Rong,
seorang pemimpin brigade produksi. Tapi sekarang orang "yang
bekerja keras mendapat bayaran lebih," tambahnya.
Bahkan sistem kompetisi yang biasanya berlaku di negara
kapitalis sekarang mulai diterapkan di Cina. Suatu kelompok yang
produktif akan mendapat penghasilan lebih besar dibanding dengan
yang kurang produktif. "Pekerjaan akan lebih baik bila dua
kelompok saling bersaing," kata Yang Chucn, direktur sebuah
komune.
KESENIAN. Sebelum Orde Baru, kesenian secara kaku digunakan
untuk menyampaikan pesan politik. Ia hampir tidak berfungsi
sebagai hiburan. Film, sandiwara dan opera waktu itu tidak
dibolehkan menampilkan cerita yang ada hubungannya dengan cinta.
Tapi Juli lalu, film yang berjudul Cinta dari Puncak Lushan
mulai diedarkan.
Film ini yang disutradarai Mo Zumo dengan penulis skenario Bi
Bicheng memilih tema sentral percintaan pemudi keturunan Cina
yang lahir di Ameriria Serikat dengan pemuda kelahiran Lushan.
Sedikit berbau politik pada bagian yang mengisahkan pertemuan
mereka hanya bisa karena adanya Komunike Shanghai 1972 yang
ditandatangani Presiden Nixon. Namun secara keseluruhan film
yang masa putarnya 90 menit ini menampilkan berbagai adegan
cinta. Bahkan ada adegan sang pemudi mencium pipi pemuda yang
dicintainya itu. Dulu Pengawal Merah menyerang adegan serupa ini
sebagai lambang dekadensi Hollywood.
Penghargaan mulia dipupuk terhadap musik klasik Barat.
Pemerintah RRC bahkan mengundang orkes symphoni dari AS untuk
mengadakan pertunjukan di Beijing. Dan sejumlah remaja berbakat
telah pula dikirim belajar musik klasik ke Eropa dan AS.
Beijing Review dalam suatu laporannya Maret lalu menuturkan
bahwa sebagian besar lagu populer yang terpilih bertemakan:
Kegembiraan atas sukses dalam pcquangan dan pekerjaan. Dan
kecintaan terhadap tanah air serta pujian buat ketabahan cinta
seorang pemuda. Tulis Beijing Review: "Rakyat rupanya sangat
menyukai lirik karena musik mengungkapkan perasaan." Semua itu
terlarang di Revolusi Kebudayaan.
Kompetisi lagu ini menunjukkan beragamnya kebutuhan para
pendengar. Rakyat Cina yang sedang mensukseskan '4 modernisasi'
tidak hanya membutuhkan lagu militan, tapi juga musik dengan
lirik yang bisa memperkaya spiritual dan bisa dinikmati pada
masa senggang.
MODE. Pakaian gaya Mao yang selama ini dipakai kaum pria ataupun
setelan celana panjang dengan jas terbuka sedikit di bagian
leher yang dipakai kaum wanita, bukan tak mungkin akan
menghilang secara perlahan-lahan. Semangat seragaman yang
terlihat dari pakaian para pekerja maupun elite partai tampaknya
mulai pudar.
Suatu majalah mode di Beijing, Fashion, menampilkan nomor
pertamanya dengan foto wanita bertopi kuning dan memakai
anting-anting panjang di kulit depannya. Sementara di kulit
belakangnya tampil foto 3 wanita memamerkan pakaian. Majalah
yang terbit 4 kali setahun itu menjelaskan bahwa fungsinya.
Pertama, membuat industri pakaian Cina dikenal di dalam dan di
luar negeri. Kedua, menunjukkan trend mode terakhir dari Barat
guna meningkatkan kemampuan bersaing pakaian buatan Cina di
pasaran dunia.
ILMU PENGETAHUAN. Di masa 'komplotan empat' berkuasa kaum
ilmuwan bergerak kalau ada restu pantai. Dan waktu mereka
sebagian besar habis hanya untuk menulis esai yang berisi kritik
diri. Pengalaman serupa ini dituturkan Fang Lizhi dosen llmu
Fisikadi Universitas Beijing. Karena pernah menganjurkan
demokratisasi pada masa sebelum Revolusi Kebudayaan, ia
diharuskan menjalankan re-edukasi. Waktu itu (1966) semua
kegiatan akademi dihentikan dan universitas ditutup.
Fang, seperti yang dituturkannya kepada New Scientist, selama
setengah tahun harus tetap berada di universitas mendengarkan
kritik para mahasiswa. Setengah tahun berikutnya ia dikirim ke
desa untuk bekerja bersama petani. "Dari segi menumbuhkan
kesadaran sosial, itu cukup baik. Dari sudut pekerjaan ilmuwan,
itu tidak baik," ujar Fang.
Tapi sekarang para ilmuwan didorong kembali melakukan pekerjaan
riset. Bahkan bila ilmuwan menemui hal penting, ia mendapat
hadiah berupa uang tunai. Ilmuwan juga mendapat bagian dari
pembayaran kontrak riset yang dilakukan untuk keperluan di luar
universitas.
Walaupun keterbatasan tetap ada, ilmuwan sekarang bisa bekerja
tenang tanpa campur tangan partai. Buktinya, seorang dosen
pernah membuat makalah mengenai suatu teori besar yang
menyangkut Fisika. Karena ditolak oleh majalah ilmiah, sang
penulis mencoba mengirimkan naskah itu kepada Wakil PM Deng
Xiao-ping untuk mendapat persetujuan politik. Deng
mengirimkannya ke Rektor Universitas llmu dan Teknologi Beijing.
Rektor kemudian meneruskannya kepada tenaga ahli. Akhirnya,
"isinya betul-betul sampah," kata Fang.
PERS. Gaya wartawan Cina pun berubah. Setidaknya, Guan Zaihan
sudah tidak lagi membawakan citra wartawan Cina selama ini.
Guan, 5 7 tahun, tak beredar dalam zaman sebelum Orde Baru. Ia
dikirim meninjau ke AS sebagai p ersiapan dirinya sebelum
memimpin redaksi Beijing Times, surat kabar Cina pertama yang
berbahasa Inggris.
KORAN baru itu nanti, kata Guan yang dikutip Editor & Publisher,
suatu majalah mingguan Amerika, akan berbentuk tabloid dengan 16
halaman, 30% di antaranya advertensi. Memang pers Cina sudah
mulai gemar advertensi.
Harian Rakyat, organ partai, akan menerbitkan edisi bahasa
Inggris itu suatu pertanda lagi Cina membuka dirinya. Sasaran
pembacanya ialah kalangan turis dan bisnis yang makin banyak
datang. "Tapi itu bukan hanya untuk turis. Ada 80% dari 200 juta
mahasiswa dan pelajar Cina belajar bahasa Inggris," kata Guan.
Supaya penyajian tulisan bahasa Inggrisnya lebih baik, Cina
mengimpor antara lain Charles Whipple, bekas redaktur Boston
Globe. Dia mengajarkan teknik editing pada staf redaksi Beijing
Review, suatu majalah mingguan, dan Xin Hua, kantor berita Cina.
"Ada keranjingan belajar bahasa Inggris di Cina sekarang,"
cerita Whipple.
KRITIK. Perubahan di Cina kadang-kadang di luar sangkaan,
seperti terhadap Ketua Mao Tse-tung. Foto Mao yang dulunya
terpampang di Lapangan Tien An Men sudah dicopot. Begitu pula
foto Mao di dalam Balai Rakyat Beijing sebelum berlangsung
Kongres Rakyat Nasional, diturunkan.
Tapi tak semua rakyat setuju dengan mereka yang mengritik
tindakan masa lalu Mao. Di negara yang berpenduduk 1 milyar dan
850 juta di antaranya petani, tak sedikit yang berdiam diri.
Seorang guru di Beijing menuturkan pendapat kalangan petani yang
pernah ditemuinya: "Mengritik Mao, hampir sama dengan mengritik
ayahmu sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini