Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nono Anwar Makarim*
Ketika menyaksikan Sri Mulyani dipanggang Panitia Khusus Bank Century, saya teringat drama satu babak di halaman-halaman depan buku Max Havelaar. Jalan ceritanya begini:
Panitera: ”Paduka Tuan Hakim, ini dia orangnya yang membunuh Barbertje!”
Hakim: ”Dia musti digantung! Bagaimana ia melakukannya?
Panitera: ”Barbertje dipotong kecil-kecil, lalu digarami.”
Hakim: ”Salah besar! Dia musti digantung!”
Lothario: ”Paduka Tuan Hakim, tapi saya tidak pernah membunuh Barbertje. Dia bahkan saya beri makan, saya beri pakaian. Saya urusi dia. Banyak orang yang bisa bersaksi bahwa saya ini orang baik.”
Hakim: ”Diam! Kau musti digantung. Kejahatanmu diperberat dengan sikap sombongmu. Tidak pantas seorang tertuduh mengaku-aku sebagai orang baik!”
Lothario: ”Akan tetapi, Paduka Tuan Hakim, ada orang-orang yang sanggup bersaksi bahwa saya orang baik-baik. Kok sekarang saya dituduh membunuh....
Hakim: ”Sudah! Kau musti digantung! Kau telah mengiris-iris Barbertje, lalu menggaraminya, sudah begitu pakai tepuk dada lagi..., tiga kejahatan berat.”
(Pada saat itu seorang perempuan masuk ke ruang sidang pengadilan.)
Hakim: ”Siapa pula kamu, hai, perempuan?”
Perempuan: ”Saya Barbertje, Paduka Tuan Hakim.”
Lothario: ”Alhamdulillah! Lihatlah, Paduka Tuan Hakim, ini bukti bahwa saya sama sekali tidak membunuhnya.”
Hakim: ”Hm…, ya sudah. Tapi bagaimana itu dengan penggaraman?”
Perempuan: ”Tidak, Paduka Tuan Hakim, dia tidak menggarami saya. Bahkan sebaliknya, ia berbuat baik bagi diri saya. Dia orang berbudi.”
Lothario: ”Nah, Paduka Tuan Hakim dengar itu? Barbertje sendiri yang bilang bahwa saya ini orang baik-baik.”
Hakim: ”Hmm..., tapi tuduhan ketiga tetap saja. Polisi, bawa pergi orang ini, dia musti digantung. Ia bersalah karena menepuk dada dan mengaku sebagai orang baik. Panitera, harap catat dalam pertimbangan yurisprudensi tentang orang yang sok aksi....
Kesan pengadilan Barbertje muncul ketika seorang interogator dibiarkan memaksa saksi mengisi teka-teki silangnya yang sudah dirancang terlebih dulu. Hak angket parlementer berfungsi sebagai alat kontrol. Tujuan utama angket adalah mengumpulkan informasi sebanyak dan selengkap mungkin. Manfaatnya berbentuk pelajaran buat hari depan demokrasi. Jika Pansus bertekad melaksanakan angket yang kredibel, ia harus mengumpulkan data dulu, baru kemudian menarik kesimpulan. Menarik kesimpulan terlebih dulu, dan mencari data kemudian bukan angket. Itu namanya inkuisisi. Bisa juga disebut pengadilan kanguru.
Kesan Barbertje Musti Digantung adalah gejala periferi. Ia merangsang kita untuk mengetahui lebih banyak motif sebenarnya di balik pernyataan yang berkali-kali diucapkan beberapa anggota Pansus ”... jangan lupa, ini adalah forum politik...”. Kemungkinan angket berfungsi sebagai kedok upaya coup d’état tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Apalagi bila makna coup d’état yang sudah dikenal orang ditutup-tutupi lebih lanjut di balik istilah pemakzulan. Media massa sudah sejak semula berspekulasi begitu. Dalam sidang Pansus yang saya saksikan dugaan itu muncul ketika seorang interogator memaksa saksi mengaku bahwa keputusan krisis Bank Century berdampak sistemik disebabkan oleh adanya tekanan. Semua orang tahu Sri Mulyani tidak bisa ditekan siapa pun. Mungkin yang dimaksud si interogator adalah tekanan dari SBY, mengingat bahwa status seorang menteri adalah pembantu presiden. Kalau begitu sasaran utamanya adalah SBY. Sri Mulyani dan Boediono rupanya sekadar sasaran antara.
Naik-turunnya kredibilitas hak angket DPR terkait timbal-balik dengan cair-kentalnya agenda politik yang dibopong anggota Pansus. Perlu juga untuk mengekang sedikit nafsu interogasi gaya CIA di Guantanamo dan di Abu Ghuraib. Pertanyaan terus-menerus diulang, jawaban saksi terus-menerus diinterupsi. Menurut intelligence militer tujuannya adalah untuk meletihkan mental, mematahkan semangat, dan menjebak tahanan untuk mengakui perbuatan yang dituduhkan padanya. Saya keberatan atas perlakuan semacam ini karena setiap saksi, termasuk Wakil Presiden RI dan Menteri Keuangan, patut dihormati minimal sebagai warga negara yang harkat serta hak asasinya dilindungi konstitusi. Dalam pada itu perlu kita catat bahwa ketika orang mengeluh lewat e-mail soal perlakuan buruk oleh sebuah rumah sakit, penjaralah ganjarannya. Memaki ”Boediono maling” bebas karena tidak ada yang mengadu. Selazimnya Pansus mengadu, paling tidak meminta maaf pada Wakil Presiden Republik Indonesia bahwa penodaan tata krama telah terjadi ”di rumah” Pansus.
Akhirnya ada baiknya Pansus siap-siap berjiwa besar andaikan tidak menemukan lobster di balik bailout Bank Century. Sejauh ini belum tampak penemuan substansial, belum kelihatan sesuatu yang cukup besar untuk menjatuhkan SBY. Fokus heboh berkisar di sekitar jumlah triliunan rupiah. Bayangan yang diciptakan adalah uang rakyat telah dirampok sekian triliun. Baru akhir-akhir ini kita dengar bisik kanan bisik kiri bahwa duit seabrek itu bukan uang rakyat. Uang itu sumbangan setiap bank di Indonesia untuk dijadikan dana guna mengatasi krisis seperti yang terjadi pada 2008. Semacam arisan bank-bank yang boleh ditarik kalau salah satu bank mengalami kesulitan. Yang uang pemerintah adalah dana yang digunakan untuk menebus saham bank yang di-bailout. Dan itu masih utuh dalam bentuk saham bank yang sekarang milik pemerintah. Bahkan kalau nanti banknya membaik bisa dijual lagi dengan margin untung yang lumayan. Jika benar dana triliunan itu semacam dana asuransi-diri dunia perbankan Indonesia, faktor merugikan keuangan negara sebagai dasar untuk menjatuhkan SBY amblas.
Penilaian ”sistemik” atau ”tidak sistemik” jika digugat post-facto sulit beranjak dari meja debat kusir. Data indeks saham yang merosot, nilai tukar dolar terhadap rupiah yang anjlok, dan pelarian modal sangat memperlemah posisi pihak yang bersikukuh bahwa amblasnya Bank Century tidak akan berdampak sistemik. Coup de grace, pukulan mematikan, bagi mereka tiba dalam bentuk rekaman dukungan dan dorongan dari DPR ketika krisis mengancam. Argumentasi ”lain dulu, lain sekarang” secara struktural sudah lemah sejak awal. Bukti yang paling jelas bagi tepatnya dan berhasilnya kebijakan bailout Bank Century tampak dalam stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi hingga sekarang.
Soal data dari bank yang berubah, soal minta sedikit diberi seabrek, saya dapat penjelasan dari salah seorang warga terkemuka Wall Street yang bisnisnya bagus dan karena itu tidak butuh bailout. Dia bilang,
”....kok sehari dua hari, setiap jam bisa berubah, setiap menit bisa melompat-lompat. Perlu diingat bahwa pembukuan aset bank berlangsung segepok-segepok. Dalam satu gepokan ada aset yang beraneka nilai, mutu dan pasaran; nilai itu terus merosot begitu orang mencium bau busuk bank gagal. Lalu para nasabah pun beraneka ragam sifatnya. Ada yang cepat panik dan buru-buru serbu bank untuk tarik uangnya, ada yang berdarah dingin, ambil risiko menanti penyelamat bank datang, negosiasi dengan pemilik baru atau tunggu sampai bank sejahtera kembali. Campuran faktor struktural dan psikologis itulah yang senantiasa mengubah kondisi bank dari saat ke saat....”
Duit bukan duit negara. Yang duit negara masih utuh. Penilaian ”sistemik” atau ”tidak sistemik” sudah kedaluwarsa karena telanjur didukung dan didorong oleh DPR sendiri. Soal data bank yang terus berubah hendaknya ditanyakan saja pada para bankir. Panggil saja mereka untuk menghadap Pansus dan di-grill persis seperti di LA Law.
Jadi apa dong yang tersisa? Gimana kalau kita bongkar sejarah merger 3-in-1 bank menjadi Bank Century? Tapi bukankah sejarah merger tiga bank menjadi satu itu berlangsung sebelum SBY jadi presiden, sebelum Boediono jadi Gubernur Bank Indonesia? Mereka tidak bisa dimintai pertanggungjawaban akan persoalan itu. Kalau itu yang dikejar, agenda menjatuhkan SBY jadi buyar. Merger 3-in-1 terjadi sebelum masa SBY.
Barangkali usul yang terbaik adalah agar Pansus kembali ke jalan yang lurus, yaitu mencari kebenaran, mengumpulkan data selengkap mungkin, dan menarik pelajaran untuk peranannya sebagai pengontrol politik bangsa sekarang dan di hari depan.
*) Pengamat politik dan ahli hukum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo