Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Badai salju</B></font><BR />Ketika ’Daisy’ Menggigit Eropa

Badai salju terdingin dalam 31 tahun terakhir menerjang Eropa. Wartawan Tempo melaporkan langsung dari Jerman.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

<font face=arial size=1 color=brown><B>Badai salju</B></font><BR />Ketika ’Daisy’ Menggigit Eropa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sejauh mata memandang hanya terlihat warna putih di Pulau Fehmarn. Resor wisata Jerman yang terletak di Laut Baltik dan cuma berjarak 18 kilometer dari Denmark itu terkurung salju setinggi 3 meter. Angin dingin berembus kencang sampai 75 kilometer per jam di pulau seluas Jakarta Utara ini.

Selama beberapa hari pulau ini terisolasi dari dunia luar. Listrik mati total. Penduduk cuma bisa duduk dalam gulita di rumah, ditingkah deru badai salju yang mencekam. Menjelang siang dua pekan lalu, beberapa penduduk dan petugas pertolongan bencana meletakkan karung-karung pasir di sepanjang 25 meter garis pantai.

”Ini untuk mengantisipasi naiknya permukaan Laut Timur, yang dapat menimbulkan banjir bandang. Saya ikut ambil bagian meletakkan karung itu,” kata Wali Kota Fehmarn, Otto Uwe Schmiedt, kepada Tempo.

Ratusan petugas diturunkan membantu sekitar 50 mobil, belasan truk besar, kereta api regional, dan bus turis yang tak berkutik dikepung salju di jalan raya. ”Angin amat kencang. Dalam beberapa detik ruas jalan tertutup salju tebal dan mengurung mobil kami,” kata seorang pengendara kepada reporter TV ZDF, sambil menggigil.

Suhu yang anjlok sampai puluhan derajat di bawah nol membuat salju mengeras seperti es begitu menyentuh bumi. Tidak mudah menyingkirkan salju dari badan jalan. Sekitar 320 penumpang kendaraan harus rela kedinginan menunggu lebih dari 12 jam sampai petugas berhasil mengevakuasi kendaraan.

”Badai hari ini mengingatkan saya pada badai yang sama pada 1978 dan 1979,” kata Uwe lagi. Di tempat sama, 31 tahun lalu, badai Daisy juga menumpahkan salju hingga menggunung.

Di Jerman, badai memang lebih banyak menerjang Jerman bagian utara dan kota-kota yang berada di pinggiran Laut Baltik. Angin yang bertiup kencang dari Laut Tengah dengan kecepatan 85 kilometer per jam masuk ke Jerman utara melalui Polandia, membuat negeri sejuta salib itu lumpuh: pipa gas pemanas ruangan beku tak berfungsi dan listrik mati total. Tak sedikit orang tua yang tewas kedinginan, juga tunawisma yang berlebihan menenggak alkohol untuk mengusir rasa dingin.

Kota pelabuhan Hamburg, yang mendapat kiriman badai dari Laut Baltik, tertimbun salju setinggi dua meter. Jalan tol A20 yang menghubungkan kota Bad Segeberg dan Luebeck tak bisa dilewati karena salju menumpuk setinggi setengah meter. Truk berderet sepanjang 20 kilometer lantaran terhambat salju.

Kekacauan bertambah lantaran banjir bandang di kota pengarang buku terkenal Jerman Guenter Grass: Luebeck. Tiupan angin kencang di kota itu mengangkat permukaan Sungai Ufer sampai setinggi 6,5 meter dan menumpahkannya ke Pelabuhan Travenmuende.

Tak ayal, warga kota itu tak cuma menggigil oleh salju dan angin dingin, tapi juga basah kuyup. ”Suasananya sungguh mencekam. Di luar angin menderu, langit gelap, dingin ditambah air masuk ke rumah. Saya sampai menangis sesenggukan. Untung, lampu tidak mati,” kata Sandra Neckermann, seorang ibu tunggal yang tinggal di Luebeck.

Kecelakaan banyak terjadi di jalan tol Jerman yang jumlahnya hampir 1.000 ruas itu. Di jalan tol A38 jurusan Leipzig, pengguna jalan mesti menunggu 4 jam karena terjadi tabrakan. Biang keladinya, jalanan yang selicin es membuat mobil meluncur tak terkendali dan menyebabkan tabrakan beruntun.

Kemacetan parah terjadi di jalan tol yang menghubungkan Jerman-Prancis A5. Sekitar 400 truk besar dan superbesar tak bisa bergerak. Mereka mesti ngendon seharian selama badai. Badai salju mengaburkan pandangan, sementara salju yang turun ”mengunci” roda kendaraan.

Di Bandara Frankfurt, 300-an penerbangan dibatalkan pada akhir pekan lalu. Sebagian dari 60 ribu penumpang mesti camping di bandara. Demikian pula hampir semua bandara lain, termasuk di Berlin, Dusseldorf, Muenchen, dan Hamburg.

Seorang pilot di Frankfurt terheran-heran, ”Selama 35 tahun saya bertugas, belum pernah mengalami keadaan seperti ini: sampai jadwal ratusan pesawat dianulir dalam dua hari,” ujarnya kepada Tempo.

”Jerman mengalami suhu terdingin setelah 31 tahun. Di Funtensee (danau di Taman Nasional yang terletak di Negara Bagian Bayern) suhunya sampai minus 45,9 derajat Celsius. Di kota besar suhu minus 10 sampai 15 derajat Celsius, tapi di desa-desa lebih dingin lagi,” kata Michael Huebler, petugas peramal cuaca alias wetterwarte di Kota Brocken kepada Tempo.

Sejumlah perjalanan kereta api juga mengalami penundaan dan tak sedikit yang dibatalkan. Masalah yang menimpa kereta api adalah membekunya sambungan antargerbong. Kereta api cepat jurusan Berlin-Koblenz terpaksa mengubah arah dan harus berakhir di Koln. Pasalnya, dua gerbong yang seharusnya berhenti di Dortmund tak dapat dipisahkan karena membekunya sambungan antar-rangkaian.

Tak cuma Jerman, hampir semua negara Eropa menderita akibat terjangan Daisy. Dari Inggris terbetik kabar, kereta Eurostar yang menghubungkan London-Paris terjebak selama berjam-jam di terowongan karena badai salju. London sendiri mengalami mati listrik dan banyak sekolah diliburkan.

Zeynita Gibbons, wartawan Antara yang tinggal di Cholchester, sekitar 1 jam dari London, menuturkan: ”Di sini salju turun tidak sederas di London, walaupun selama badai anginnya kencang sekali. Saya enggak takut, tapi anak saya ketakutan, sampai enggak berani ke sekolah. Saya juga melihat orang berlarian belanja, seperti layaknya besok ada perang.”

l l l

Sebuah peringatan terbaca di koran lokal Braunschweiger Zeitung, 9 Januari lalu. ”Ada kemungkinan listrik mati, jadi jangan lupa sediakan lilin atau senter dan bahan makanan yang cukup, juga air mineral. Usahakan tidak berkendaraan jika tidak perlu benar. Lebih baik tinggal di rumah. Tidak perlu panik dengan imbauan ini,” begitu Wali Kota Braunschweig, Jerman, Gert Hoffmann, mewanti-wanti.

Tak berselang lama setelah peringatan tersebut, pasar swalayan kewalahan melayani pembeli. Hampir semua kebutuhan pokok—susu, terigu, roti, kentang, telur, mentega, dan aneka biskuit—lenyap dari rak. Berkrat-krat minuman juga ludes dari depot air mineral, jus, ataupun soft drink.

Antrean panjang terlihat di tujuh loket kasir pasar swalayan terlengkap Real. Suasana di sini mirip Jakarta sehari menjelang Lebaran. Toko yang bahkan lebih luas dari Mal Pondok Indah itu sesak manusia. Seorang wanita menangis karena tak menemukan susu padahal dia punya dua anak kecil. ”Saya sudah mencarinya di tiga toko sebelum ke sini, tapi nihil,” ujarnya terisak.

Sebaliknya, Anita Schulz, 62 tahun, menunjukkan lemarinya yang sarat bahan makanan, yang menurut perkiraan Tempo bahkan cukup untuk tiga bulan. ”Kelihatannya berlebihan, ya? Tapi inilah yang mesti dilakukan orang tua seperti saya. Badai mengharuskan saya melindungi diri,” kata wanita yang tinggal sendirian ini.

Toko-toko yang menjual peralatan luar ruang laris diserbu pembeli. Berbagai keperluan camping, seperti lampu dan kompor gas, banyak dibeli. Tapi garam spesial, yang perlu ditebar di halaman rumah untuk melumerkan salju, sudah terjual ludes sejak berhari-hari sebelum badai. ”Seluruh stok garam sudah habis terjual. Kami tidak punya persediaan lagi,” kata seorang pegawai Pasar Swalayan Aldi, yang punya cabang di 18 negara Eropa dan Amerika, kepada Tempo. Begitu pula halnya sekop pengeruk salju.

Jerman memang sudah mengumumkan badai ini sebagai bencana. Daisy datang tak cuma membawa salju, tetapi juga angin yang superdingin, melebihi dinginnya kulkas: minus 5 sampai 7 derajat Celsius pada siang hari, dan malam hari anjlok sampai minus 18 derajat. Beruntung, badai tidak sampai membuat listrik dan gas pemanas ruangan padam. ”Saya sudah khawatir listrik mati, bagaimana kami bisa masak?” kata Ilka Buttner, seorang warga Braunschweig.

Cuma anak-anak yang gembira menyambut salju. Boneka salju beragam bentuk dan ukuran terlihat di taman atau halaman rumah. Kereta salju, yang selama ini teronggok di gudang, dikeluarkan. Taman-taman besar seperti Rheinaue di Bonn dan Koln dipenuhi keluarga dengan anak-anak dan kereta luncurnya.

Di taman besar yang berdanau, orang-orang berjalan di atas permukaan danau yang membeku. Beberapa meluncur dengan sepatu esnya. Dinas Pertamanan Koln menyebut tindakan itu berbahaya, karena tebal es baru satu sampai tiga sentimeter, sehingga orang bisa terperosok ke dalam air yang sangat dingin.

Nugroho Dewanto, Sri Pudyastuti Baumeister, Luky Setyarini (Jerman)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus