Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seribu delapan ratus tempat duduk di gedung pertemuan Paguyuban Cina-Malaysia di daerah Melawati, Kuala Lumpur, penuh sesak. Perempuan dan laki-laki, tua dan muda, bergandengan tangan menyanyikan lagu-lagu pujian dengan syahdu.
Kebaktian minggu pagi itu diselenggarakan jemaat Metro Tabernacle yang gerejanya dibakar pada Jumat dua pekan lalu. Lantaran gedung gereja luluh lantak dimakan si jago merah, jadilah mereka mengungsi ke gedung Paguyuban. Beberapa anggota jemaat khawatir serangan terhadap mereka masih akan berlanjut. ”Istri saya masih khawatir, tapi kami hadir untuk mendukung gereja kami,” ujar Michael Chew, 40 tahun, yang datang bersama istri dan dua anaknya, seperti dikutip Associated Press.
Dua pekan lalu, Gereja Tabernacle dan delapan rumah ibadah pemeluk Kristen lain dihujani bom molotov. Kerusakan terparah diderita Gereja Tabernacle. Perdana Menteri Najib Razak, Sabtu sore dua pekan lalu, meninjau gedung gereja yang sudah luluh lantak itu. Dia memberikan hibah 500 ribu ringgit atau sekitar Rp 1,5 miliar untuk membangun kembali gedung gereja.
Hingga dua pekan berlalu, belum ada tanda-tanda polisi Malaysia akan menangkap pelaku pengeboman itu. Padahal Menteri Dalam Negeri Hishamuddin Tun Hussein menyatakan sudah mendapat indikasi pelakunya.
Penyerangan terhadap gereja merupakan buntut dari pemakaian kata ”Allah” yang merujuk ke panggilan untuk Tuhan oleh majalah Katolik Herald edisi bahasa Melayu. Selama ini, majalah itu menerbitkan tulisannya dalam bahasa Inggris, Cina, dan Tamil.
Umumnya umat Kristen di Malaysia bercakap dalam bahasa Cina dan Tamil. Pada kebaktian mereka, tak ada kata ”Allah” yang merujuk kepada Tuhan. Selama ini, kata ”Allah” cuma dipakai penduduk asli Malaysia di negara bagian Sabah dan Sarawak, yang dominan berbahasa Melayu.
Pemerintah Malaysia sudah lama tak memperkenankan pemakaian kata ”Allah” oleh umat beragama selain Islam. Namun Pengadilan Tinggi Malaysia akhir Desember lalu menyatakan larangan itu ”tak sah dan melawan hukum”. Pemerintah Malaysia kini meminta banding atas putusan pengadilan tinggi itu.
Belum adanya tindakan polisi menguatkan kecurigaan ketua oposisi Datuk Seri Anwar Ibrahim bahwa kasus ini sarat muatan politis. ”Kekuatan polisi Malaysia biasa tak efektif terutama bila memecahkan kasus yang jelas muatan politisnya,” ujarnya kepada Tempo.
Sejak awal, Anwar menilai isu ini cuma dipakai sebagai alat untuk mendongkrak suara partai berkuasa, terutama dari kalangan yang belum tergarap, seraya menciutkan nyali pemilih oposisi pada pemilu mendatang. Kekerasan ini merupakan pesan supaya masyarakat patuh kepada kelompok yang mengendalikan pemerintah.
Konstitusi Malaysia menjamin kebebasan beribadah setiap pemeluk agama. Tapi isu agama dan ras serta tuduhan korupsi kepada lawan politik kerap menjadi senjata politik untuk menjatuhkan lawan dan menunjukkan kekuatan negara.
Tak aneh, menurut Anwar, demonstrasi oleh kelompok penentang putusan pengadilan tinggi dibiarkan oleh pemerintah. Dalam keadaan normal, demonstrasi damai pun akan dibatasi, bahkan dilarang oleh polisi. Sekarang situasi memang sudah terlihat tenang, tapi tak ada jaminan hal ini akan bertahan lantaran isu agama sudah lama dipolitisasi.
Anwar menilai pembiaran dan tak cepatnya polisi mengungkap kasus membuat masyarakat terpecah belah. Apalagi polisi menyatakan tak bisa melindungi umat Kristen dan menganjurkan mereka membuat pengamanan sendiri.
Beruntung, umat Kristen, yang biasanya menyulap rumah toko atau rumah pribadi menjadi gereja, banyak mendapat bantuan dari kelompok masyarakat sekitarnya—yang notabene muslim. Aktivis beberapa lembaga swadaya masyarakat pun ikut berpatroli sejak subuh hingga tengah hari untuk menjaga gereja.
Menteri Hishamuddin membantah serangan terhadap gereja berbau politis. Dia berjanji akan mengungkap kasus pembakaran gereja secepatnya. Kenyataannya, dua pekan lalu, sebuah gereja dan kantor pengacara majalah Herald dicorat-coret dan dirampok.
Tak cuma Anwar yang membuhulkan syak wasangka adanya muatan politik di balik pembakaran gereja. Bendahara Partai Islam Se-Malaysia Muhammad Ramli juga curiga lantaran yang ikut berdemonstrasi di Masjid Kampoeng Baroe adalah organisasi yang berafiliasi dengan partai pemerintah, UMNO. Apalagi pemerintah menyatakan tak bisa melarang demonstrasi mendukung pemerintah. ”Rasanya indikasinya memang ke arah sana,” ujarnya.
Organisasi yang memotori unjuk rasa dan rangkaian diskusi untuk meyakinkan umat bahwa kata ”Allah” itu eksklusif antara lain Pertubuhan Pribumi Perkasa Malaysia. Ada juga Persatuan Pengguna Islam Malaysia, Kongres India Muslim Malaysia, dan Majlis Permufakatan Ummah.
ABIM alias Angkatan Belia Islam Malaysia, organisasi yang dulu juga didirikan Anwar Ibrahim, termasuk yang vokal memprotes. Padahal organisasi ini dianggap independen. Malah, ketika Anwar menjadi ketuanya, organisasi ini tak bisa didekati UMNO—sampai Anwar mesti keluar dari ABIM untuk bergabung dengan UMNO.
Menurut Sekretaris Jenderal ABIM Muhammad Raimi Abdul Rahim, organisasinya vokal lantaran isu ini vital buat umat Islam. Kata ”Allah” di Malaysia tak pernah digunakan umat lain, karena mengandung arti yang dalam, menyangkut keesaan Tuhan. ”Yang Esa, Tidak Beranak dan Diperanakkan,” ujarnya kepada Tempo melalui surat elektronik. Raimi menjamin ABIM masih independen.
ABIM juga mengecam kekerasan terhadap gereja yang terjadi akibat sengketa ini. ”Mestinya pemerintah dan partai lain (oposisi) berembuk, mencari solusi untuk masalah ini.”
Dari tempat pengungsiannya, Pendeta Hermen Shastri, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Malaysia, menyatakan umat Kristen tak akan terintimidasi oleh serangan-serangan ke gereja. ”Itu adalah perbuatan ekstremis muslim yang minoritas di negara ini,” ujarnya seperti dikutip Christian Today.
Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo