Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Paduka

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zen Hae*

Himpunan puisi Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008) karya Nirwan Dewanto adalah salah satu buku puisi Indonesia modern yang cukup banyak menggunakan kembali kata-kata arkais atau jarang terpakai dalam komunikasi berbahasa Indonesia hari ini. Mau tidak mau pembaca mesti menengok kamus sebelum memahami makna dan konteks kata-kata itu. Misalnya kata ”paduka”, yang selama ini hanya dipakai di alam kerajaan dan dongeng sejenis Seribu Satu Malam.

Di bait ke-1 puisi ”Keledai” tertulis ”Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kaupasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.” Di bait-bait selanjutnya sang penyair masih menggunakan enam kali kata ”paduka”.

Bandingkan dengan naskah Melayu klasik Sejarah Tuanku Batu Badan (diperkirakan muncul pada awal abad ke-19). Ada bagian yang menyebutkan: ”Maka sembah menteri kepada seri paduka Tuanku Muhammad Syah, ’Ampun tuanku beribu-ribu kali ampun tentangan daripada titah tuanku itu tiadalah dapat oleh kami ‘akal dan bicara melainkan kami sekalian memulangkan ka bawah duli yang maha mulia....’”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keluaran Pusat Bahasa (edisi ke-3, 2001) lema ”paduka” mengandung makna: 1 sebutan kehormatan kpd orang-orang mulia (pembesar, bangsawan, raja); 2 sepatu; lapik kaki. KBBI edisi ke-4 (2009) masih mendaftar dua makna itu, meski kata ”paduka” itu terdaftar di dua lema. Adapun dalam Tesaurus Bahasa Indonesia buah kalam Eko Endarmoko (cetakan ke-2, 2007) kata ini mendapat padanan makna kl aji, baginda, sinuhun (kl), yamtuan (kl).

Bagaimana ceritanya makna pertama bertahan hingga hari ini, sedang makna kedua seolah kedaluwarsa? Tak pelak, yang kedua lebih dulu dipakai daripada yang pertama. Orang Melayu meminjam kata ”paduka” dari bahasa Sanskerta yang berarti ”alas kaki”. Orang Melayu, setidaknya dalam naskah klasik tadi, biasa menyapa raja dengan ”paduka tuanku” yang berarti ”kaki tuanku”. Sepadan dengan itu adalah ”duli paduka tuanku” (’debu kaki tuanku’), ”duli syah alam” (’debu raja di dunia’), dan ”seri paduka tuanku” (’sinar kaki/sepatu tuanku’).

Menurut ahli bahasa dan sastra Melayu J.J. de Hollander, pengarang Handleiding bij de beoefening de Maleische taal en Letterkunde (Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu) yang terbit sekitar 1850, kebiasaan itu muncul karena ketika berbicara ”orang tidak berani memandang raja, sebaliknya karena waktu melihat ke bawah di mukanya orang hanya melihat kaki raja, jadi seolah-olah menyapa kaki itu”. Menyapa kaki sama dengan menyapa raja. Dengan begitu, orang Melayu di masa lalu telah mengamalkan majas yang di benua lain disebut ”pars pro toto”, sejenis majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya. ”Kaki”, sebagaimana ”ekor” pada binatang, adalah kata yang merujuk kepada orang dalam keseluruhannya.

Dalam perkembangan selanjutnya frasa ini mengalami pemangkasan salah satu unsurnya—di samping berlangsungnya proses ameliorasi. Seolah-olah ”paduka” dan ”tuan” adalah dua kata berbeda yang mengandung makna yang sama. Sebabnya bisa diduga demi penghematan ujaran, meskipun upaya ini juga berisiko menyesatkan. Orang lebih sering menyebut ”paduka” (atau ”tuanku”) daripada ”paduka tuanku”. Sementara itu, ”duli” atau ”seri” tidak pernah dipakai tanpa pasangan hingga dua kata itu tidak terpakai sama sekali. (Bandingkan dengan kata majemuk ”kering kerontang” dan ”segar bugar” yang masing-masing unsurnya bisa berdiri sendiri dengan makna yang kurang-lebih sama.)

Kembali kepada kata ”paduka” pada puisi ”Keledai”. Dalam sekali baca makna pertama terasa lebih nyaring bunyinya daripada makna kedua. Tapi dalam pembacaan berikutnya akan tampak bahwa ia ingin memainkan dua makna sekaligus. Lewat pernyataan itu, sang keledai merendahkan seraya meninggikan diri, mematuhi sambil melawan, menghormati sekaligus menghina tuannya. Sebuah ketaksaan yang membuat konflik di antara mereka terasa timbul-tenggelam.

Tampaknya sang penyair juga ingin berhemat—seraya menyegarkan bahasa. Tidakkah ia juga sedang tersesat?

*) Penyair

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus