Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Suku Biak Papua memiliki tradisi unik dalam melakukan prosesi sunat. Tradisi ini dibarengi dalam rangkaian Wor K’bor yaitu upacara dalam tradisi upacara akil balik Suku Biak Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut antropolog lulusan Universitas Leiden Belanda, J.R. Mansoben yang dilansir dari laman jubi.co.id, dalam Wor K’bor, para pemuda rentang usia antara 15-17 tahun setelah tinggal selama enam bulan di dalam Rum Sram atau rumah bujang Suku Biak akan menjalani upacara memasuki dunia orang dewasa (Wor K’bor). Upacara ini ditandai dengan mengiris atau memotong bagian atas dari ujung penis mereka dengan memakai sebilah bambu tipis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tradisi Wor K’bor ini mirip dengan tradisi sunat di Fiji. Dilansir dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, orang Biak memiliki latar belakang sejarah dengan melakukan kontak budaya secara luas dengan suku bangsa lain baik di Papua maupun di luar Papua. Karena itu, merupakan suatu kewajaran apabila tradisi sunat di Biak dan Fiji mempunyai kemiripan.
Kemiripan ini dapat dilihat dimana anak laki-laki di Fiji disunat ketika mereka masuk usia pubertas atau sekitar usia dua belas tahun. Dalam buku berjudul “The Fijis, A Study of the Decay of Custom”, Basil Thomson menulis bahwa selama masa pagan atau masa agama dahulu, usia menyunat ini dapat datang lebih awal. Sunat juga tidak sepenuhnya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga merupakan bentuk tabu.
Sunat di Fiji umumnya dilakukan di sebuah desa dengan sekitar sepuluh atau dua puluh pemuda oleh seorang tetua desa. Alat yang digunakan untuk menyunat umumnya menggunakan sepotong bambu runcing dan pendarahan yang terjadi direndam pada selembar kain kulit kayu atau biasa disebut kula. Penggunaan bambu ini juga mirip dengan ritual orang Biak.
Kula mirip dengan kain panjang yang digantung di atap burekalou atau kuil untuk memungkinkan arwah para dewa memasuki pendeta. Setelah prosesi sunat selesai, anak laki-laki yang disunat ditawari makanan dan sayuran hijau oleh kaum perempuan.
Uniknya, tradisi sunat di Fiji tidak dilakukan disembarang waktu. Waktu yang tepat untuk melakukan ritus itu adalah ketika seorang kepala suku meninggal atau pada periode tertentu yang dapat ditandai oleh berbunganya tanaman drala.
Di dalam bukunya, Thomson juga menulis bahwa tradisi ini disertai dengan permainan kasar seperti gulat, perkelahian palsu dan pengepungan tiruan yang bervariasi pada tiap-tiap daerah. Jika ada seorang anak laki-laki yang tidak sunat, maka ia akan dianggap najis dan tidak diizinkan untuk membawa makanan untuk para pemimpin.
Setelah sunat, anak laki-laki Fiji yang dianggap masih muda diizinkan untuk memakai malo atau perban perineum. Jika belum berusia sepuluh tahun, anak-anak dari semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan diharuskan telanjang. Bahkan, jika mereka memiliki pangkat yang tinggi, meskipun usia mereka sudah lebih dari 10 tahun, mereka harus tetap telanjang.
NAUFAL RIDHWAN ALY