Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan orang men¡©jejali masjid mungil di Barangay Gacap di Piagapo, Filipina selatan. Ahad sore dua pekan lalu, hujan deras mengguyur masjid berdinding batako dan bambu serta berlantai semen itu. Di atap bangunan seluas lapangan bulu tangkis tersebut, sebuah pengeras suara putih menyembul. ¡±Masjid ini tidak boleh diberi nama,¡± kata Kepala Barangay Gacap, Saiben M. Abubacar, saat ditemui Tempo. "Jika ada nama, tetua adat akan marah."
Masjid tak bernama itu dikelilingi rumah kayu. Di teras-teras rumah, para pria separuh baya, bocah-bocah berpeci dan bersarung, serta para perempuan berjilbab, tampak ngariung. Mereka menunggu azan asar. Saiben menunjuk sebuah jalan setapak di antara dua rumah di seberang masjid. "Itu jalan ke tempat sembunyi Maute," kata Saiben. "Anda harus berjalan tiga kilometer untuk mencapai Pagalungan."
Barangay Gacap adalah lokasi terdekat dari titik pertempuran antara tentara Filipina dan milisi Maute, 22-24 April lalu. Saat itu pasukan darat dan helikopter militer menggempur kamp latihan Maute di bukit Pagalungan. Sedikitnya 37 anggota Maute tewas dan sekitar 100 lainnya kabur ke gunung. Operasi militer itu telah memicu lebih dari 1.800 penduduk mengungsi dari rumah mereka di Barangay Gacap, Tambo, Pantaon, dan Tapucan. "Saya ketakutan mendengar serangan udara," kata Naro Diso, 45 tahun, warga Gacap.
Piagapo daerah setingkat kabupaten di Provinsi Lanao del Sur, Mindanao. Terletak 18 kilometer di barat Kota Marawi, Piagapo berisi 37 barangay-sebutan untuk desa di Filipina. Berbeda dengan Marawi, hampir semua penduduk Piagapo muslim. "Di Marawi masih ada lebih banyak warga Kristen," ucap Saiben. Di Piagapo, Saiben menambahkan, setiap barangay punya setidaknya satu masjid. "Di Gacap ada satu masjid dan dua surau."
Di Lanao del Sur, Maute selalu meninggalkan jejak berdarah. Piagapo menjadi tempat bersembunyi anggota Maute yang kabur dari serangan tentara di Butig. Di daerah sejauh 60 kilometer di tenggara Piagapo itu, Maute melancarkan teror tahun lalu. Mereka menyerbu kota dan menduduki gedung-gedung penting. Penduduk mengungsi. Pertempuran Maute versus tentara pada November tahun lalu membuat Butig bagai kota hantu, seperti yang kini menimpa Marawi.
Dari Butig, gerombolan Maute bergeser ke Piagapo. Di bukit Pagalungan itulah mereka membangun kamp untuk berlatih perang. "Mereka mendirikan tenda dari terpal," kata Saiben, yang pernah melihat kamp itu sebelum diserbu tentara. Selain berlatih, kelompok Maute berupaya merekrut anak-anak muda di Piagapo. "Salah satu yang tewas dalam serangan pada April lalu adalah imam masjid ini," ucap Saiben, merujuk pada Imam Abelino Bantayao, pentolan Maute yang dikenali tentara Filipina sebagai perekrut kombatan.
Gempuran militer telah membuat kamp Maute hancur dan rata dengan tanah. Hanya terlihat sisa-sisa bunker, parit, serta senjata api, granat, bahan peledak, seragam dan bendera kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), tiga sepeda motor, makanan, serta paspor asing. "Ada dua orang Indonesia yang tewas di sana," kata Saiben, yang cukup fasih berbicara Melayu karena sering berbisnis piring dan pakaian di Malaysia. Menurut dia, salah satu orang Indonesia itu bernama Abdul Malik, yang dimakamkan di bukit Pagalungan bersama Juhaiber, orang Filipina asal Butig.
"Satu lagi namanya Muhammad Ilham Syahputra," ucap Saiben sembari membuka telepon selulernya dan menunjukkan foto-foto jasad milisi Maute yang tewas dalam pertempuran pada April lalu itu. Syahputra, menurut Saiben, dikubur di Pantar, daerah sejauh 20 kilometer di timur laut Piagapo. "Kuburnya bersama Imam," ujarnya. Nama Muhammad Ilham Syahputra, yang lahir di Medan, 29 Juli 1995, masuk daftar tujuh teroris Indonesia yang diburu Kepolisian Nasional Filipina. Pria itu diketahui masuk Filipina pada 29 November 2016.
Penangkapan Cayamora Maute memberi angin segar bagi Manila. Cayamora, 67 tahun, ayah dua bersaudara pemimpin kelompok Maute, Abdullah dan Omarkhayam, dicegat di pos pemeriksaan Sirawan Toril, Kota Davao, Selasa pagi pekan lalu. Saat itu ia mengendarai Toyota Grandia hitam bernomor pelat MES219. Turut ditangkap bersama Cayamora adalah istri keduanya, Kongan Alfonso Balawag; putrinya, Norjannah Balawag Maute; suami Norjannah, Benzarali Tingao; serta sopirnya, Aljon Salazar Ismael.
"Sebagai kepala keluarga dan ayah dari Maute bersaudara, dia masih bisa membujuk mereka untuk menghentikan pertempuran di Marawi dan menyerahkan diri," kata juru bicara militer Mindanao Timur, Brigadir Jenderal Gilbert Gapay, seperti dikutip Reuters. Sejak 23 Mei lalu, Marawi porak-poranda menjadi medan tempur sengit antara tentara dan milisi Maute. Ratusan orang tewas dan gedung-gedung hancur akibat perang kota itu.
Kepada polisi, Cayamora Maute mengaku sudah lama tak bertemu dengan anak-anaknya. Ia juga berdalih tidak mengetahui rencana Abdullah dan Omar terhadap Marawi. "Tidak ada yang sebanding dengan perdamaian abadi (di Marawi)," katanya. Namun Cayamora menolak mengatakan bahwa ia akan meyakinkan kedua putranya untuk menyerah. "Saya bukan anggota kelompok. Kami hanya berbagi nama keluarga yang sama," ucap Cayamora.
Maute, bersama Romato, Mimbantas, dan Macadatu, adalah empat klan terbesar di Lanao del Sur. Sebelum insiden di Marawi, Maute dikenal sebagai jaringan klan bersenjata yang punya ikatan keluarga dengan kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Istri pertama Cayamora, Ominta Romato alias Farhana Maute, merupakan bibi dari Azisa Romato, istri mendiang Alim Abdul Aziz Mimbantas, wakil ketua urusan militer MILF. Putri Alim Aziz, Adliah Mimbantas, adalah istri dari putra Cayamora, Mohammad Khayam.
Cayamora tidak hanya menjalin hubungan kekerabatan dengan petinggi MILF. Ia juga pernah tercatat sebagai anggota penting MILF. "Dia teman saya. Kami pernah menjadi anggota staf Alim Aziz Mimbantas," kata Aleem Khair B. Hanafi, juru bicara MILF Wilayah Lanao, ketika ditemui Tempo di Kota Iligan, Sabtu dua pekan lalu. Menurut Aleem, bukan hanya Cayamora yang bergabung dengan MILF. "Awalnya semua keluarganya anggota MILF."
Namun kedekatan dengan MILF itu tidak bertahan lama. Menurut Aleem, Alim Aziz tidak sreg dengan aktivitas Cayamora yang diam-diam kerap berkomunikasi dengan orang asing di luar MILF. Padahal kegiatan setiap anggota kelompok harus setahu Alim Aziz. "Tapi Cayamora berkeliling dunia, menjalin koneksi tanpa seizin Alim Aziz," katanya. Cayamora, insinyur yang bekerja sebagai kontraktor, antara lain sering melancong ke negara-negara Timur Tengah. "Alim Aziz saat itu belum mendepaknya dari MILF."
Kekesalan Alim Aziz memuncak saat nama Omar Maute tersangkut kasus pembunuhan Othello Cobal, profesor filsafat di Mindanao State University, kampus terbesar di Marawi, 25 Oktober 2012. Saat itu empat orang tak dikenal mendatangi kafe Mindnolia milik Cobal di dalam kampus. Mereka merampok Cobal dan seorang mahasiswanya, Erwin Escabo Diaz, lantas menembak dan membakar jasadnya. "Omar terlibat aksi ekstremis, membunuh orang Kristen," ujar Aleem. "Sejak itu Cayamora ditendang dari MILF."
Merenggangnya hubungan Alim Aziz dan Cayamora juga dipicu keputusan MILF "berdamai" dengan Manila. "Sikap Cayamora mengeras karena ia kecewa atas kesepakatan FAB," ujar Aleem, merujuk pada Framework Agreement on the Bangsamoro (FAB), yang diteken pada 12 Oktober 2012. Seperti ayahnya, Abdullah dan Omar rupanya juga menentang keras kesepakatan tersebut. "Apa untungnya kesepakatan ini bagi kita?" kata Aleem, menirukan ucapan Abdullah dan Omar kepada pendahulu Alim Aziz, Dr Sjafrullah, saat itu.
Pengusiran dari MILF itu yang, menurut Brigadir Jenderal Gapay, mendorong Cayamora membentuk kelompok sendiri. Semula kelompok Maute bergabung sebagai subkelompok Jamaah Islamiyah Mindanao yang diketuai Sanusi alias Monsoy Pamalaoy. Namun perjalanan mereka sangat singkat. Setelah Sanusi dibunuh militer Filipina di Marawi pada November 2012, "Kelompok Maute lebih banyak bersembunyi," kata Gapay.
Selama periode itu, Gapay menuturkan, kelompok Maute menjadi bandit, bekerja sebagai pasukan bayaran bagi sejumlah politikus di Lanao del Sur serta bandar obat bius. "Mereka mampu meraup sumber daya untuk melanjutkan aktivitas terorismenya," ujarnya. Cayamora, seorang etnis Maranao, berperan besar dalam tahun-tahun awal pembentukan kelompok Maute. Ia memberi "bimbingan" dan "perlindungan" kepada anak-anaknya. "Cayamora otaknya. Abdullah dan Omar yang menjalankan rencananya," kata Aleem.
Sejak meletus perang di Marawi, poster buron kelompok Maute tersebar luas. Potret keluarga Maute jadi "hiasan" wajib di pos-pos pemeriksaan. Di sepanjang jalan antara Bandar Udara Internasional Laguindingan di dekat Kota Cagayan de Oro dan Kota Iligan, Mindanao, yang berjarak sekitar 63 kilometer, berderet empat pos pemeriksaan. "Ini mau ke mana? Bawa siapa itu?" kata seorang polisi bernama Bombeo kepada sopir mobil yang mengantarkan Tempo, sambil mencocokkan dengan poster.
Bukan hanya foto keluarga inti Cayamora Maute yang masuk poster. Di sepanjang perjalanan dari Kota Iligan menuju Marawi, yang merentang sejauh 37 kilometer, Tempo harus melewati lima pos pemeriksaan. Di setiap pos pemeriksaan itu, Tempo menjumpai puluhan wajah yang masuk daftar "teroris lokal". "Ini orang-orang yang menyerang Kota Marawi," begitu tulisan poster itu. Foto Cayamora dan Farhana Maute terpampang paling atas. Berderet di bawahnya foto tujuh anak laki-laki mereka, termasuk Abdullah dan Omar.
Kepolisian Filipina memperkirakan kelompok Maute semula beranggotakan 267 orang. Namun, seusai beberapa operasi militer, termasuk di Butig, Piagapo, dan Marawi, Maute kehilangan lebih dari 100 orang. "Awalnya kelompok Maute terdiri atas keluarga dekat. Tapi, karena jumlah mereka menyusut, mereka menerima anggota dari luar klan," begitu menurut pejabat telik sandi kepolisian Filipina, seperti diberitakan Phil Star.
Pengamat terorisme Sidney Jones, dalam artikelnya berjudul "Pro-ISIS Groups in Mindanao and Their Links to Indonesia and Malaysia", menyebutkan kelompok Maute punya anggota yang paling terpelajar ketimbang semua kelompok pro-ISIS di Filipina. Mereka juga melek media sosial. "Sebagian besar mereka etnis Maranao," kata Jones. Mindanao State University di Marawi adalah "benteng" kelompok Maute, tempat mereka menarik minat mahasiswa dan dosen. "Ini mungkin kelompok paling berbahaya di Filipina saat ini."
Aktivis perempuan Maranao, Samira Gutoc-Tomawis, mengatakan kelompok Maute, seperti Abu Sayyaf, mewakili generasi baru kelompok bersenjata di Mindanao yang muncul setelah 1990-an. "Anggota mereka muda, ada yang masih belasan tahun, dan sangat idealistis. Mereka lebih agresif dan canggih dalam peperangan," tuturnya saat ditemui Tempo di Kota Iligan. Seperti Abu Sayyaf, anggota kelompok Maute memandang dunia secara hitam-putih, "Antara orang kafir dan beriman," ucap Samira.
Di Barangay Gacap, Piagapo, Saiben M. Abubacar tak lagi waswas terhadap milisi Maute. "Sekarang di sini tidak ada Maute. Semua ada di sana," kata Saiben sambil menunjuk ke arah Marawi, kota yang berbatasan dengan Danau Lanao di sisi selatan dan lamat-lamat terlihat dari Gacap. Namun Naro Diso dan istrinya, Saripa Diso, 40 tahun, masih belum bisa menepis rasa khawatir. "Kami takut kalau mereka kembali lagi ke desa kami."
Mahardika Satria Hadi (piagapo, Marawi), Adi Warsono (bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo