Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bendera Hitam di Balai Pertemuan

Kelompok Maute menempuh berbagai jalan demi mendapatkan pengakuan sebagai wilayat daulah Islamiyah. Berawal dari serangan pertama ke Kota Butig tahun lalu.

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Butig, Lanao del Sur, bukanlah kota yang memikat. Hingga kini tak begitu jelas apa yang membuat kelompok Maute mendudukinya pada akhir November 2016. Yang terang, pendudukan itu telah memancing pemerintah di Manila mengerahkan tentara dalam jumlah besar, beberapa helikopter beserta senapan otomatis, artileri berat, tank, bahkan pesawat tempur. Kendati pertempuran tak seimbang, pasukan pemerintah membutuhkan enam hari untuk merebut kembali kota ituyang meninggalkan 31 tentara luka-luka dan 62 anggota Maute tewas.

Kota itu telah kembali ke tangan pemerintah. Tapi, menurut penduduk setempat, hutan di sekitar kota masih dikuasai milisi yang berafiliasi ke kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu. Memang sejauh ini kelompok Maute berusaha meniru gerak-laku para serdadu ISIS yang telah sukses mendirikan sebuah khilafah yang meliputi sebagian Irak dan Suriah. Mengibarkan bendera hitam ISIS, menguasai taktik perang gerilya kota, bahkan Alex Ngo, ¡©kolumnis The Philippine Star, membandingkan penaklukan Kota Butig oleh Maute dengan "pembebasan" Mosul dan Aleppo, yakni penaklukan yang disusul jatuhnya kota-kota lain di Irak dan Suriah ke tangan ISIS.

"Dengan pendudukan Butig itu, saya perkirakan kelompok Maute hendak menciptakan Mosul-nya sendiri dan kemungkinan besar instruksi ini datang dari beberapa penasihat ISIS," kata Alex Ngo. Mosul adalah kota terbesar kedua di Irak yang ditaklukkan ISIS beberapa tahun lalu. Dari kota inilah secepat kilat penaklukan demi penaklukan terjadi. Namun Butig tidak sama dengan Mosul, yang strategis dan kaya simbolisme. Mosul dikelilingi sumur minyak dan telah berabad-abad menjadi titik perdagangan penting-dua aspek itu tak terdapat pada Butig. Tapi apakah mereka bisa menerimanya?

Entah demi keuntungan finansial entah mendongkrak gengsi di antara kelompok bersenjata lain, pada pertengahan 2016 kelompok Maute memutuskan berbaiat kepada sang "khalifah", Abu Bakar al-Baghdadi, pendiri ISIS. Sejak itu kelompok Maute rajin mengadopsi cara-cara brutal ISIS, seperti meledakkan pasar malam di Kota Davao dan serangkaian eksekusi yang menerbitkan genangan darah. Namun harapan mereka rupanya tak cepat kesampaian. Mencium gelagat kelompok Maute akan menggunakan penduduk setempat sebagai tameng, tentara Filipina berjuang keras memisahkan mereka dari komunitas lokal.

Hari itu, 24 November 2016, kelompok tak terkenal ini tiba-tiba menjadi sorotan pers, baik nasional maupun internasional. Mereka mengibarkan bendera hitam ISIS di depan Balai Pertemuan yang sudah tak terpakai di Kota Butig. Puncaknya, mereka menguasai wilayah seluas 10 hektare di pusat kota dan 74 persen warga Butig pun melarikan diri. Sengaja melekatkan ciri-ciri ISIS, kelompok ini mengidentifikasi diri dengan ISIS, termasuk dalam mengeksekusi dua karyawan penggergajian setempat yang berseragam oranye-persis dengan personel ISIS menghabisi tahanannya yang juga berseragam oranye. Menurut laporan Security Reform Analysis, gaya brutal seperti ini dibutuhkan untuk menciutkan nyali para ulama dan pemimpin setempat yang menentangnya. Yang terakhir ini kerap menganggap pengetahuan ilmu agama kelompok itu "amatiran".

Kelompok Maute, yang berkekuatan 200 orang, melakukan banyak hal untuk mengetuk pusat pemerintahan Abu Bakar al-Baghdadi di Raqqa supaya merestui habitat mereka di Mindanao sebagai wilayat alias provinsi jauh ISIS. Tempat yang secara geografis strategis untuk menghimpun-menyatukan kekuatan kombatan dari Indonesia, Filipina, dan Malaysia, sekaligus menjadikannya franchise daulah Islamiyah di Asia Tenggara.

Idrus F. Shahab (The Philippine Star, The Inquirer, AFP)


Para Kombatan Tanah Mindanao

Maute meramaikan peta kelompok-kelompok bersenjata di Mindanao, Filipina selatan. Selama berabad-abad, kelompok pemberontak bergantian melancarkan perlawanan terhadap otoritas pusat. Mindanao adalah rumah bagi mayoritas muslim di selatan Filipina yang Katolik. Perlawanan terhadap Manila berlanjut hingga saat ini. Dan inilah konflik bersenjata empat dasawarsa yang telah menewaskan lebih dari 150 ribu orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus