Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jenderal pergi, jenderal datang

Kudeta tak berdarah oleh jenderal Abdul Rahman Mohamad Hasan Swareddahab menggulingkan Jenderal Nimeiri yang berada di Kairo. Disambut hangat rakyat yang mendambakan pembaruan ekonomi dan politik. (ln)

13 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKACITA meledak di Khartoum, ibu kota Sudan, Sabtu lalu. Hanya beberapa saat setelah Radio Omdurman mengumumkan pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Abdul Rahman Mohamad Hasan Swareddahab, ribuan penduduk turun ke jalan, menyanyi dan menari. Mereka juga menurunkan dan mencabiki potret presiden yang digulingkan, Mayor Jenderal Jaafar Mohamad al-Nimeiri. Nimeiri sendiri bagaikan tak percaya mendengar berita itu. Penguasa yang memerintah Sudan sejak 1969 itu tengah bersiap-siap meninggalkan bandar udara Kairo, yang disinggahinya sepulang dari lawatan sepuluh hari ke Amerika Serikat ketika dibisiki oleh awak pesawatnya bahwa sesuatu terjadi di tanah air, dan ia tidak diharapkan pulang. Berembuk sebentar dengan tuan rumahnya, presiden Mesir Husni Mubarak, Nimeiri lalu diterbangkan dengan hehkopter, entah ke mana. Untuk negeri seperti Sudan, yang oleh seorang pengamat disebut sebagai "tempat krisis permanen", sebuah kudeta tak berdarah sama sekali bukan kejutan. "Daya tahan Nimeiri hanya tinggal beberapa minggu," ujar Dr. Mansour Khalid kepada majalah The Middle East, akhir bulan lalu. Khalid, kini mengasingkan diri di London setelah delapan tahun, sejak 1970, menjabat menteri luar negeri Sudan. Yang tidak diperhitungkan para pengamat hanyalah kehadiran Swareddahab, militer profesional yang pendiam itu, yang belakangan imi justru memperoleh kepercayaan besar dari Nimeiri. Dialah yang memimpln upacara sumpah setia 62.900 anggota angkatan bersenjata Sudan kepada Nimeiri di Balai Persahabatan Khartoum Mei tahun silam. Dia pula yang ditunjuk Nimeiri sebagai menteri pertahanan merangkap kepala staf angkatan bersenjata, bulan lalu, sesaat sebelum sang presiden berangkat ke AS. Melalui Radio Omdurman, Swareddahab menyebut tindakannya sebagai langkah "menyelamatkan bangsa", dan bertujuan "menegakkan Sudan yang demokratis". Ia menjanjikan "pembaruan kehidupan politik, ekonomi, dan sosial, kebebasan pers, organisasi politik, dan kehidupan beragama". Pada hari kudeta, Swareddahab membebaskan semua tahanan politik, yang konon hampir mencapai tiga ribu orang. Tetapi, ia juga mencabut konstitusi, memberlakukan undang-undang darurat, serta membubarkan kabinet, parlemen, serta Uni Sosialis Sudan, partai tunggal yang berkuasa di bawah Nimeiri. Kantor berita Sudan, Suna, memberitakan, beberapa bekas menteri dan pembantu dekat Nimeiri ikut ditangkap, dan sebagian lain dikenai tahanan rumah. Di bawah Nimeiri, yang naik tahta melalui kudeta tak berdarah pada 25 Mei 1969, Sudan memang semakin bangkrut. Dari status pengekspor, selama empat tahun belahangan ini negeri itu menjadi pengimpor sorghum, dengan jumlah utang mencapai USS 9 milyar. Negara terlebar di Afrika ini - luas 2,5 juta km persegi dan dihuni 22 juta penduduk - juga penadah utama bantuan AS, di luar Mesir. Pada tahun fiskal ini saja, Washington sudah mencadangkan USS 200 juta untuk Sudan, ditambah US$ 67 juta yang sudah dijanjikan Presiden Ronald Reagan dalam kunjungan Nimeiri barusan. Faktor yang ikut memperburuk keadaan di Sudan, terutam. dalam tiga tahun terakhir, adalah banji pengungsi. Tidak kurang dari sejuta pengungsi, separuh di antaranya dari Etiopia kini berlindung di Sudan, yang kaya biji besi dan mangan itu Pendatang lainnya dari Uganda, Chad dan Zaire. Sementara itu, di kawasan selatan, yang dihuni mayoritas Kristen dan penganut animisme, perlawanan gerilya berkobar sejak dua tahun lalu. Dari Nil Hulu dan Bahr el Ghazal, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) yang dipimpin John Garang de Mabior melebar ke Ekuatoria. Garang, bekas kolonel berpendidikan AS itu, pernah diajak berdamai oleh Nimeiri, dan ditawari jabatan wakil presiden. Tetapi, rupanya, kecurigaan SPLA terhadap dominasi utara, yang Islam, sudah telanjur parah. Apalagi setelah Nimeiri memberlakukan hukum Islam, September 1983. Ketika itu pulalah, Nimeiri berbulan madu dengan Ikhwanul Muslimun, dan menempatkan sejumlah anggota kelompok fundamentalis ini ke dalam pemerintahan. Belakangan, Nimeiri sendiri khawatir melihat Ikhwanul Muslimun yang kian kuat. la memecat 11 anggota Ikhwan dari pemerintahan. Termasuk pemimpin Ikhwan, Hassan Turabi, penasihat urusan luar negeri Sudan. Terhadap musuh politiknya yang lain, Nimeiri tak kalah ganas. Misalnya dalam menghadapi Mahmud Taha, pemimpin Persaudaraan Republiken, yang kadang-kadang mengaku sebagai Kristus yang bangkit. Taha. 76. yang mengecam hukum Islam yang diterapkan Nimeiri, digantung di depan umum setelah diadili tak sampai dua jam. Ketika itu, Washington mengirimkan protes, dan menyebut kasus ini "pelanggaran terang-terangan hak asasi manusia". Sepuluh hari sebelum kudeta, Sudan, negeri yang didiami 572 kelompok etnis itu, sebetulnya sudah diguncang krlsis. Demonstrasi, yang dlgerakkan para dokter, insinyur, dan lapisan menengah umumnya, bangkit bertubitubi. Betapa tidak. Persediaan gandum negeri itu diperkirakan akan habis Agustus nanti, sedangkan harga kebutuhan pokok melonjak 30% sampai 50% akibat penghentian subsidi pemerintah yang dikabarkan merupakan syarat AS untuk pemberian pinjaman baru. Beberapa jam setelah kudeta, Libya langsung mengakui rezlm baru Sudan, disusul Syria, Arab Saudi, Kuwait, dan Persatuan Emirat Arab. Di Washington, juru bicara Gedung Putih, Larry Speakes, mengatakan. "Kebijaksanaan AS terhadap Sudan tidak berubah."Bahkan, Mesir, yang memberi suaka buat Nimeiri, sudah menyatakan mendukung rezim Swareddahab, yang dikabarkan telah membentuk pemerintahan sementara yang terdiri dari 12 orang, di samping Dewan Militer yang beranggotakan lima orang. Siapakah Swareddahab, yang dinilai sebagai "tokoh mantap", yang tidak memerlukan pengaruh asing dalam melancarkan aksinya? Jenderal yang pantang rokok dan alkohol ini masuk akademi militer pada usia 20 tahun, dan lulus menjadi letnan dua empat tahun kemudian. Ia, kini 51, mempelajari teori militer di Inggris dan Yordania, pernah menjadi kolonel polisi, kemudian brigadir jenderal pada angkatan darat Qatar, dan baru pulang ke Sudan pada 1975. Ia dilukiskan sebagai "militer yang tegas, dan tidak dibebani ambisi politik". Swareddahab memang menjanjikan pemerintahan sipil, setelah melewati periode sementara. Ia Muslim yang taat, tapi tidak fanatik. Karena itu, tampaknya, tokoh ini bisa dlterima gerakan perlawanan di kawasan selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus