Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jurnalis Al Jazeera Tulis Pesan Terakhir Sebelum Tewas Ditembak Israel

Jurnalis Al Jazeera menulis surat terakhir sebelum tewas dibunuh oleh Israel saat meliput perang Gaza. Apa isinya?

26 Maret 2025 | 20.00 WIB

Petugas memadamkan mobil pers milik televisi Al-Quds Al-Youm yang terbakar dalam serangan Israel di sekitar rumah sakit Al-Awda, Nuseirat, Gaza tengah, 26 Desember 2024. Menurut petugas medis dari otoritas kesehatan Gaza, serangan ini menewaskan lima jurnalis saluran televisi Al-Quds Al-Youm. REUTERS/Khamis Said
Perbesar
Petugas memadamkan mobil pers milik televisi Al-Quds Al-Youm yang terbakar dalam serangan Israel di sekitar rumah sakit Al-Awda, Nuseirat, Gaza tengah, 26 Desember 2024. Menurut petugas medis dari otoritas kesehatan Gaza, serangan ini menewaskan lima jurnalis saluran televisi Al-Quds Al-Youm. REUTERS/Khamis Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rekan kerja Hossam Shabat, jurnalis Al Jazeera berusia 23 tahun, mengunggah pesan terakhir usai kawannya itu tewas setelah ditembak Israel. Shabat tewas saat meliput perang di Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usai tewasnya Shabat, rekannya mengunggah "pesan terakhir" jurnalis Palestina itu di akun X miliknya. Shabat telah berdedikasi mewartakan kekejaman Israel selama 18 bulan dalam mendokumentasikan dampak genosida terhadap warga Gaza yang terkepung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Ini adalah tim Hossam, dan kami akan membagikan pesan terakhirnya," tulis teman Shabat di X pada awal postingannya. "Jika Anda membaca ini, itu berarti saya telah dibunuh, kemungkinan besar menjadi sasaran, oleh pasukan pendudukan Israel," kata pesan yang ditulis sebelumnya oleh Shabat.

Shabat, yang terbunuh pada hari Senin, mengatakan, sebagai mahasiswa ia mendedikasikan 18 bulan untuk mendokumentasikan kengerian di Gaza utara, bertekad untuk mengungkap kebenaran. Dalam unggahannya, ia mengatakan selama pelaporannya ia selamat dari pemboman harian dan bertahan hidup selama berbulan-bulan dalam kelaparan.

"Saat semua ini dimulai, saya baru berusia 21 tahun — seorang mahasiswa dengan impian seperti orang lain. Selama 18 bulan terakhir, saya telah mendedikasikan setiap momen hidup saya untuk rakyat saya. Saya mendokumentasikan kengerian di Gaza utara menit demi menit, bertekad untuk menunjukkan kepada dunia kebenaran yang mereka coba kubur. Saya tidur di trotoar, di sekolah, di tenda — di mana pun saya bisa. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Saya menahan lapar selama berbulan-bulan, tetapi saya tidak pernah meninggalkan keluarga saya," kata Shabat dikutip dari TRT.

"Demi Tuhan, saya telah memenuhi tugas saya sebagai jurnalis," ujarnya.

Bertaruh Nyawa Saat Meliput Perang Gaza

Shabat mengatakan ia mempertaruhkan nyawanya setiap hari saat meliput perang di Gaza. "Tidak ada yang mengenal Gaza seperti kami, dan tidak ada yang memahami kompleksitas situasi seperti kami. Jika Anda peduli dengan apa yang terjadi di Gaza, Anda harus memperkuat suara warga Palestina. Kami tidak membutuhkan wartawan Barat untuk menceritakan kisah kami, kami mampu menceritakan dan melaporkan kisah kami sendiri."

Pesan terakhir Shabat mencerminkan keyakinan jurnalis tersebut terhadap perjuangan Palestina. Ia menyerukan kelanjutan advokasi kisah Gaza secara global.

"Demi Tuhan, saya telah memenuhi tugas saya sebagai jurnalis. Saya mempertaruhkan segalanya untuk melaporkan kebenaran, dan sekarang, saya akhirnya merasa tenang, sesuatu yang belum pernah saya rasakan selama 18 bulan terakhir. Saya melakukan semua ini karena saya percaya pada perjuangan Palestina. Saya percaya bahwa tanah ini milik kita, dan merupakan kehormatan tertinggi dalam hidup saya untuk mati membelanya dan melayani rakyatnya."

"Saya meminta Anda sekarang, jangan berhenti bicara tentang Gaza. Jangan biarkan dunia mengalihkan pandangan. Teruslah berjuang, teruslah ceritakan kisah kami, hingga Palestina merdeka." "Untuk terakhir kalinya, Hossam Shabat, dari Gaza utara," dia mengakhiri suratnya.

Israel Sengaja Menyasar Jurnalis

Mobil yang ditumpangi Shabat menjadi sasaran Israel di Beit Lahiya, kata para saksi. Peristiwa itu juga menewaskan sahabatnya Mohammed Nidal. Ia dibunuh beberapa jam setelah Israel membunuh jurnalis Mohammad Mansour.

Tentara Israel pada hari Selasa mengakui pembunuhan Shabat. Namun mereka mengklaim keliru bahwa koresponden saluran Al Jazeera Mubasher yang berbasis di Qatar, adalah penembak jitu dari kelompok perlawanan Hamas. Klaim ini dibantah keras oleh wartawan Palestina.

Jonathan Dagher, kepala bagian Timur Tengah dari lembaga pengawas media Reporter tanpa Batas, mengatakan tuduhan tersebut tidak dapat membenarkan pembunuhan Shabat. Tuduhan tersebut didasarkan pada dokumen yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa jurnalis itu memiliki afiliasi dengan Hamas.

Sebelum Shabat, Israel telah membunuh 208 pekerja media sejak perang di Gaza meletus pada Oktober 2023. Tel Aviv telah melarang jurnalis asing masuk ke Gaza, sehingga reporter lokal harus meliput genosida tersebut. Seringkali mereka mempertaruhkan nyawa dan harta bendanya. 

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce menyatakan Hamas yang bersalah dalam pembunuhan jurnalis oleh Israel. Ia menghindari pertanyaan apakah itu kejahatan perang.

Jeremy Scahill, seorang jurnalis di DropSite News, mengatakan Israel telah menempatkan Shabat dalam daftar incaran dan membunuhnya. "Mereka melancarkan kampanye propaganda tercela untuk membenarkan pembunuhan Hossam, seperti yang telah mereka lakukan terhadap para dokter, pekerja PBB, dan anak-anak," tulis Scahill di X. 

Pilihan editor: Iran Berterima Kasih RI Konsisten Dukung Palestina

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus