Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penyerbuan militer Israel ke kantor biro Al Jazeera di Ramallah, Tepi Barat yang diduduki Israel, "merupakan contoh penyensoran".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini adalah contoh pelanggaran kebebasan pers dan bagaimana Israel mencegah seluruh dunia untuk mengakses informasi penting", tambahnya, seperti dikutip Al Jazeera, Rabu, 25 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini terjadi di atas serangan terhadap jurnalis di Gaza," katanya, dengan mencatat bahwa lebih banyak jurnalis yang terbunuh di sana dibandingkan dengan konflik-konflik lainnya.
Catatan Kebebasan Pers Suram di Israel
Selain Al Jazeera, kantor berita Amerika Serikat, Associated Press (AP), juga pernah menghadapi penyitaan oleh Kementerian Komunikasi Israel, meski peralatan-peralatan yang disita dikembalikan setelah Pemerintahan AS ikut campur.
Namun, penyitaan peralatan tersebut menyoroti kekhawatiran di kalangan institusi media asing yang beroperasi di Israel tentang kemungkinan menjadi target karena diduga membahayakan keamanan negara di bawah undang-undang media baru yang kontroversial.
Asosiasi Pers Asing di Israel, yang mencakup perwakilan dari sebagian besar institusi media asing, mengatakan: "Langkah yang diambil oleh Israel (menyita peralatan agensi) adalah tak dapat diterima."
"Catatan Israel di bidang kebebasan pers sangat suram selama periode perang Gaza," kata asosiasi tersebut dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Anadolu Agency.
Pernyataan itu menjelaskan: "Sepanjang konflik, Israel telah mencegah jurnalis asing untuk mengakses Gaza secara independen, dan sekarang Israel telah mengambil langkah mundur dari cita-cita demokrasi yang diklaimnya."
Mengapa Israel melarang jurnalis asing melaporkan?
Diberitakan Times of Israel awal tahun ini, Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa militer Israel boleh terus melarang jurnalis asing untuk mengakses Jalur Gaza. Hanya warga Gaza atau koresponden yang ditemani oleh tentara yang dapat melaporkan dari dalam daerah kantong tersebut.
Dalam putusannya, hakim Pengadilan Tinggi Ruth Ronen, Khaled Kabub, dan Daphne Barak-Erez menerima sikap Kementerian Pertahanan bahwa kunjungan yang dikawal tersebut merupakan langkah yang tepat untuk kebebasan pers mengingat "kekhawatiran keamanan yang ekstrem saat ini dan ancaman keamanan konkret yang menyertai pemberian izin masuk bagi jurnalis independen."
Putusan itu menyatakan bahwa mengoperasikan penyeberangan perbatasan bagi jurnalis asing akan menimbulkan beban yang tidak semestinya pada sumber daya IDF di masa perang.
Penyeberangan Erez, yang sebelumnya digunakan oleh para jurnalis, rusak parah pada 7 Oktober dan masih belum dapat dioperasikan, menurut tentara.
Mereka juga mengutip kekhawatiran bahwa mengizinkan wartawan asing untuk bergerak di sekitar Gaza secara independen dapat membahayakan pasukan atau menyebabkan posisi mereka terancam.
Asosiasi Pers Asing, yang telah mengajukan petisi untuk memaksa Pasukan Pertahanan Israel membuka penyeberangan ke Jalur Gaza agar wartawan non-Israel dapat masuk, mengecam keputusan tersebut pada hari Selasa, dengan mengatakan bahwa "larangan terhadap akses pers asing yang independen ke Gaza ... [belum pernah terjadi sebelumnya]."
Mengapa Israel takut mengizinkan wartawan asing masuk ke Gaza?
Dalam editorialnya, Haaretz pada 11 September 2024, mempertanyakan: Mengapa Israel takut mengizinkan wartawan asing masuk ke Gaza? Apa yang disembunyikan?
Surat kabar itu menyebutkan sebelas bulan perang, bisa dikatakan bahwa situasi yang digunakan Israel untuk membenarkan pelarangan media dari Gaza sudah tidak berlaku lagi, dan mereka harus mengizinkan masuknya jurnalis asing agar bisa meliput perang dengan baik.
Sebagai akibat dari kontrol Israel atas penyeberangan perbatasan, yang semakin ketat sejak perebutan Rafah, tidak ada wartawan asing yang bisa menginjakkan kaki di Jalur Gaza tanpa persetujuan negara.
Menurut Haaretz, larangan masuk bagi wartawan asing tanpa pengawalan dari Unit Juru Bicara IDF sangat merusak kemampuan untuk melaporkan secara independen dan juga hak publik di Israel dan di seluruh dunia untuk mengetahui apa yang terjadi di Gaza.
Peran seorang jurnalis adalah berada di lapangan, berbicara langsung dengan orang-orang dan tidak hanya melalui juru bicara atas nama kepentingan pribadi, merasakan atmosfer dan melaporkan berbagai peristiwa. Tidak ada perbandingan antara pelaporan tanpa perantara di lapangan dengan pelaporan melalui pihak ketiga, wawancara melalui telepon, dan analisis yang dilakukan dengan bantuan gambar diam atau video.