Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gunung Taal di Filipina pada Minggu sore meletus, menyebabkan gempa vulkanik, memuntahkan lava dan awan panas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
23.000 ribu orang telah dievakuasi. Namun, angka ini diprediksi bisa mencapai 200.000 orang. Pemerintah Filipina telah menyiapkan dana darurat sebesar US$ 50 juta atau Rp 683 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awan abu tertiup sekitar 65 km utara ke Manila, ibu kota Filipina, menurut laporan South China Morning Post, 14 Januari 2020.
Masker terjual dengan cepat setelah penduduk disarankan untuk memakainya jika mereka terpaksa keluar ruangan. Jalan-jalan yang biasanya macet, kini nyaris kosong.
Bandara ibu kota ditutup, menyebabkan pembatalan lebih dari 500 penerbangan.
Apa yang membuat Gunung Taal begitu berbahaya?
Gunung Taal adalah gunung berapi yang paling mematikan dari 21 gunung berapi aktif di Filipina, meskipun negara ini memiliki lebih dari 200 gunung berapi secara keseluruhan. Letusannya telah dicatat sejak akhir 1500-an tetapi data korban baru tercatat sejak letusan 1754 dan seterusnya. Sejauh ini, gunung berapi telah menyebabkan setidaknya 6.000 kematian. Menurut Reuters, Gunung Taal telah meletus lebih dari 30 kali dalam lima abad terakhir, dan letusan paling baru pada tahun 1977.
Menurut Dr Renato Solidum, direktur Institut Vulkanologi dan Seismologi Filipina (Phivolcs) atau Badan Vulkanologi Filipina, letusan pada tahun 1754 berlangsung selama tujuh bulan.
"Itu bisa terjadi...kami sedang memantau dengan seksama," katanya, seraya menambahkan bahwa letusan Taal lebih berbahaya daripada ledakan gunung berapi terkenal lainnya di Filipina, Gunung Mayon, karena Taal dapat meningkat lebih cepat.
Solidum menjelaskan bahwa tingkat peringatan tetap nol ketika tidak ada aktivitas.
"Kami menaikkan tingkat peringatan Taal menjadi satu pada 28 Maret 2019," katanya, seraya menambahkan bahwa tingkat peringatan Taal naik menjadi dua pada hari Minggu sebelum meningkat menjadi empat dalam hitungan jam.
Ledakan freatik yang sedang berlangsung di Kawah Utama Gunung Berapi Taal. Foto diambil dari kamera IP terpasang yang memantau aktivitas Gunung Api Taal, Minggu, 12 Januari 2020.[Facebook Philippine Institute of Volcanology and Seismology (PHIVOLCS-DOST)]
Taal sebenarnya adalah sebuah kompleks gunung berapi, yang terdiri dari Danau Taal, sisa-sisa runtuhan gunung berapi prasejarah 6.000 meter prasejarah, dengan beberapa pulau. Sebagian besar letusan berasal dari yang terbesar, Pulau Volcano, yang memiliki kawah berisi air dan pulau kecilnya sendiri, Vulcan Point. Dengan kata lain, Taal adalah sebuah pulau di dalam sebuah danau di sebuah pulau yang terletak di sebuah danau, yang lokasinya berada di pulau Luzon.
Taal dekat dengan daerah padat penduduk dan mudah diakses dari Manila. Ribuan wisatawan melakukan perjalanan untuk melihat Danau Taal dari punggungan Tagaytay yang terkenal, yang telah berkembang menjadi area perumahan eksklusif.
Phivolcs telah menetapkan Pulau Volcano sebagai "zona bahaya" tetapi ini tidak membuat penduduk yang menetap di sana resah. Pada 2007, sebuah perusahaan Korea dilaporkan berencana untuk membuka spa kesehatan di pulau itu tetapi pemerintah memblokir proyek tersebut karena terlalu berbahaya.
Skenario terburuk letusan Gunung Taal
Letusan Gunung Taal pada 1754 begitu kuat sehingga mengubah geografi daerah itu. Danau Taal adalah jalan masuk menuju ke laut tetapi letusan memblokir saluran, mengubah saluran masuk menjadi danau dan mengakibatkan air laut akhirnya menjadi air tawar.
Letusan lain pada tahun 1911 didahului oleh dua hari gempa bumi. Menurut penulis sains Maria Elena Paterno, ledakan raksasa, disusul beberapa letusan lain sehari kemudian, dapat terdengar 200 km jauhnya.
Letusan itu menewaskan 1.335 orang dalam beberapa menit.
"Di Taal, bola api merah melonjak tinggi di atas kawah," tulisnya. "Pilar besar asap dan abu naik ke langit, pecah oleh kilatan petir yang muncul tiba-tiba."
Serangkaian letusan serupa sekarang dapat menggusur ribuan, menghancurkan desa, mengirim debu ke udara, membahayakan pesawat terbang dan menyebabkan tsunami di danau yang dapat menggenangi desa-desa sekitar.
Letusan terakhir di Taal adalah peristiwa kecil yang digerakkan uap pada tahun 1977, kata Ed Venzke, manajer basis data di Program Vulkanisme Global Smithsonian Institution, dikutip dari National Geographic.
"Meskipun mungkin tidak ada letusan selama empat puluh tahun, gunung berapi itu jelas telah bergejolak untuk waktu yang sangat lama," kata Amy Donovan, seorang ahli risiko gunung berapi di University of Cambridge.
Petugas polisi menjaga jalan di dekat Gunung Berapi Taal yang meletus di Talisay, Batangas, Filipina, 13 Januari 2020. Salah satu gunung berapi paling aktif di Filipina, Taal, telah meletus lebih dari 30 kali dalam lima abad terakhir, paling baru pada tahun 1977. [REUTERS / Eloisa Lopez]
Produksi abu yang lebih besar yang sering menyertai ledakan yang lebih besar akan memperburuk masalah. Abu dapat mencemari persediaan air, merusak infrastruktur elektronik, menghancurkan pertanian, dan membunuh hewan ternak dan hewan peliharaan. Abu juga bisa membunuh orang jika mereka cukup banyak menghirupnya, tetapi orang-orang yang punya penyakit pernapasan paling berisiko, seperti juga anak kecil dan lansia.
Baik melalui campuran magma dan air yang eksplosif, atau melalui aktivitas magmatik saja, Taal sebelumnya juga telah menghasilkan awan guntur panas berkecepatan tinggi, puing-puing, dan gas bernama aliran piroklastik yang telah menewaskan ribuan orang hanya dalam waktu singkat. Boris Behncke, seorang ahli vulkanologi di Institut Nasional Geofisika dan Vulkanologi Italia, berbagi beberapa contoh di Twitter, termasuk aliran dari letusan 1911 yang menewaskan 1.335 orang di pulau tengah danau.
Skenario kasus terburuk yang masuk akal tidak hanya menampilkan aliran piroklastik, tetapi juga lonjakan abu dan gas panas di ketinggian yang, karena kepadatannya yang rendah, dapat benar-benar melambung di atas air, kata Donovan.
Terlebih lagi, jika ledakan mengeluarkan bagian dari pulau vulkanik yang kemudian jatuh ke Danau Taal, itu dapat menghasilkan tsunami yang akan membanjiri garis pantai danau. Seperti yang ditunjukkan oleh letusan di Anak Krakatau di Indonesia pada bulan Desember 2018, hanya diperlukan sedikit runtuhan vulkanik untuk menghasilkan tsunami yang mematikan.
Bahkan jika tidak ada tsunami, puing-puing yang jatuh dan gempa bumi vulkanik dapat menyebabkan gelombang aneh dan berpotensi merusak yang dikenal sebagai "seiches", jika puing-puing Gunung Taal itu memiliki energi yang cukup.