Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemenangan Semu Pengemudi London

Mahkamah Agung Inggris menetapkan pengemudi Uber sebagai karyawan. Uber wajib membayar upah minimum dan tunjangan libur pengemudi. 

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengemudi taksi uber dan taksi konvensional London, saat melintasi Gedung Parlemen Inggris, di London, September 2017. REUTERS/Eddie Keogh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Agung Inggris menetapkan pengemudi Uber sebagai karyawan, bukan pekerja lepas.

  • Uber wajib membayar upah minimum dan tunjangan libur para pengemudi.

  • Perusahaan taksi berbasis aplikasi itu dituduh membelokkan putusan pengadilan.

TOPIK terhangat di kalangan pengemudi taksi Uber di London sekarang adalah soal kompensasi atas masa cuti dan libur mereka selama ini. Mereka saling bertanya dan mencocokkan nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan taksi berbasis aplikasi itu dan jumlah yang dibayarkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sebuah forum online pengemudi Uber Inggris, seseorang dengan nama akun Nino555 mengatakan para pengemudi menerima 5.100 pound sterling atau sekitar Rp 102,4 juta sebagai pembayaran selama dua tahun ke belakang. "Saya bersama mereka sudah empat setengah tahun. Jika tanggal mundurnya adalah empat tahun, saya akan ditawari 10 ribu pound sterling. Sedikit kesal, sih, tapi saya senang dengan tawaran itu," tulisnya seperti dikutip Wired pada Senin, 7 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengemudi lain yang menggunakan nama NeroHertz mengatakan mereka menerima 4.000 pound sterling. "Mereka hanya mengirimi saya angka-angka sebagai tawaran, bukan rincian lengkap bagaimana bisa begitu," katanya.

Sejak pertengahan Maret lalu, Uber menawarkan sejumlah kompensasi atas masa cuti dan libur kepada para pengemudinya yang selama ini tidak ada dalam skema upah. Langkah ini adalah bagian dari pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Inggris yang mengukuhkan putusan Pengadilan Tenaga Kerja London atas gugatan dua pengemudi Uber, James Farrar dan Yaseen Aslam, pada 2016.

Dalam putusannya, Mahkamah menegaskan bahwa pengemudi Uber tergolong karyawan, bukan pekerja lepas seperti yang selama ini diklaim Uber. Menurut Mahkamah, layanan transportasi antara pengemudi dan penumpang melalui aplikasi Uber dikendalikan dengan sangat ketat oleh Uber. "Satu-satunya cara mereka (pengemudi) dapat meningkatkan penghasilan adalah dengan bekerja lebih lama sambil terus-menerus memenuhi standar kinerja Uber," ucap majelis hakim yang dipimpin Presiden Mahkamah Agung Lord Reed of Allermuir. Dengan demikian, Mahkamah menyatakan pengemudi Uber harus mendapat hak-hak sebagai karyawan, seperti upah minimum, tunjangan cuti, dan tunjangan hari libur.

Mahkamah juga menetapkan waktu yang dihabiskan oleh pengemudi tidak terbatas selama mereka mengangkut penumpang, sebagaimana diklaim perusahaan taksi daring yang didirikan Garrett Camp dan Travis Kalanick itu. Waktu kerja mereka, menurut Mahkamah, mencakup masa ketika pengemudi masuk ke aplikasi dan menunggu order.

Ini kemenangan pertama para pengemudi taksi daring Inggris dalam sengketa dengan Uber. Kemenangan kedua adalah ketika Uber mengakui serikat pekerja para pengemudi. Pada akhir Mei lalu, Uber memutuskan bekerja sama dengan GMB, salah satu serikat pekerja terbesar di Inggris. Dalam perjanjian mereka, GMB akan mewakili sekitar 70 ribu pengemudi anggotanya untuk merundingkan kesejahteraan para sopir Uber. Namun pengemudi Uber harus menjadi anggota GMB bila ingin kepentingannya diwakili serikat tersebut.

Dalam perjanjian dengan Uber, GMB akan merundingkan sejumlah hal, termasuk upah minimum, tunjangan libur, dana pensiun, dan asuransi kesehatan. Pemimpin GMB dan Uber juga akan bertemu setiap tiga bulan untuk membahas berbagai masalah pengemudi.

Namun dua kemenangan tersebut baru tampak manis di awal. Serikat pekerja mengklaim Uber telah membelokkan putusan Mahkamah. "Mahkamah Agung memutuskan bahwa pengemudi harus diakui sebagai pekerja dengan hak atas upah minimum dan tunjangan libur yang diperoleh pada waktu kerja dari log on hingga log off, sementara Uber hanya berkomitmen pada hak-hak ini selama (pengemudi) mengantar penumpang," tutur Farrar dan Aslam. "Ini berarti pengemudi Uber masih akan mengalami kurang bayar hingga 40-50 persen.

Dalam sebuah pesan kepada para pengemudi, Uber berjanji membayar mereka setidaknya 8,72 pound sterling atau sekitar Rp 175 ribu per jam selama mereka membawa penumpang. Angka ini merupakan upah minimum nasional yang berlaku di Inggris. Uber juga berjanji membayar 12,07 persen dari upah pengemudi sebagai tunjangan hari libur mereka dan mengatur skema pensiun.

"Ini kembalinya sejumlah arogansi bahwa (Uber) merasa mereka dapat membuat keputusan berdasarkan interpretasi mereka dan berharap dapat lolos begitu saja dan tidak ada yang akan menentangnya," kata Steve Garelick, pejabat regional GMB.

London adalah pasar terbesar Uber di Eropa dengan sekitar 45 ribu pengemudi dan 3,5 juta penumpang yang menggunakan aplikasinya. Penghasilan rata-rata pengemudi Uber adalah 17 pound sterling per jam di London dan 14 pound sterling per jam di seluruh Inggris.

Pengacara yang mewakili 4.000 pengemudi dan mantan pengemudi yang menggugat Uber mengatakan tuntutan mereka akan terus berlanjut meskipun ada pengumuman tersebut. Nigel Mackay, salah satu pengacara dari firma hukum Leigh Day, mengatakan klaim mereka akan berlanjut kecuali Uber memberikan kompensasi penuh atas hak para pengemudi. "Mereka (Uber) menyangkal keputusan itu tidak berdampak apa-apa. Sulit menerima apa yang mereka katakan atau percaya bahwa mereka akan sepenuhnya mematuhi hak pengemudi," ucapnya.

Serikat Pekerja Independen Inggris telah mendesak kantor Pendapatan dan Bea-Cukai Kerajaan Inggris (HMRC) agar menyelidiki pembayaran surut atas tunjangan libur pengemudi dan memaksa Uber menjamin upah minimum berlaku segera setelah pengemudi masuk ke aplikasi. Sejauh ini belum ada penyelidikan yang dilakukan. Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri, yang menangani kasus ketenagakerjaan Uber, mengatakan mereka sedang menunggu rincian lengkap dari rencana Uber, tapi menilai perubahan status pengemudi menjadi pekerja itu sebagai "langkah positif".

Ini bukan pertama kalinya bisnis Uber tertimpa masalah di Inggris. Pengawas transportasi ibu kota negeri itu, Transportasi untuk London (TfL), sudah dua kali mencabut izin operasi Uber di kota tersebut dengan alasan keselamatan. Uber baru mendapatkan izin operasi di London untuk 18 bulan pada September tahun lalu.

Perubahan status pengemudi ini diperkirakan akan mengubah peta bisnis taksi online di negeri itu. "Di tempat-tempat Uber tak bisa menghindar dari memberikan keuntungan kepada pengemudinya, diprediksi biaya Uber naik hingga 30 persen," ucap Pinar Ozcan, profesor kewirausahaan dan inovasi di Saïd Business School Oxford University, kepada CNBC.

"Orang bisa mengatakan hal ini akan menempatkan taksi dan Uber pada ranah kompetisi yang sama dengan perbedaan di antara keduanya semata hanya pada teknologi dan bukan pada celah hukum," tutur Ozcan. "Ini akan membuat Uber menyesuaikan strategi pertumbuhan dan keluar dari pasar yang kurang menguntungkan."

Bank of America memperkirakan pembayaran surut hak-hak pengemudi Uber Inggris akan menelan biaya lebih dari US$ 500 juta. "Dengan asumsi kenaikan 8 persen biaya untuk pengemudi Inggris, secara hipotetis biayanya menjadi US$ 132 juta untuk tahun fiskal 2021 atau US$ 105 juta untuk 9,5 bulan yang tersisa," kata analis di bank itu dalam catatan risetnya. "Uber tampaknya akan menutup biaya itu dengan menurunkan insentif pengemudi di Inggris."

Perjuangan para pengemudi Uber di Inggris tampaknya memang belum berakhir. Serikat Pengemudi dan Kurir Aplikasi (ADCU), yang didirikan James Farrar dan Yaseen Aslam, berencana menggugat Uber di Pengadilan Tinggi. Gugatan ini menjadi upaya mereka menguji model bisnis Uber di London, yang mereka klaim telah mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan memungkinkan Uber menghindari pajak bernilai miliaran dolar.

IWAN KURNIAWAN (Wired, CNBC, BBC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus