Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Teknokrat Hukum yang Multiwajah

Mochtar Kusumaatmadja menempati posisi khusus dalam perkembangan pemikiran hukum dan pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Tokoh yang komplet sebagai pendidik, pemikir, praktisi, dan birokrat hukum.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mochtar Kusumaatmadja wafat pada 6 Juni 2021 dalam usia 92 tahun.

  • Pencapaian Mochtar yang paling monumental adalah perjuangannya mengegolkan konsep negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

  • Bagi Mochtar, hukum harus memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legitimasi kepada kekuasaan.

SAYA pertama kali bertemu langsung dengan Profesor Mochtar Kusumaatmadja sekitar awal 1988 dalam kuliah perdana hukum internasional bagi mahasiswa yang mengambil kekhususan hukum internasional (Jurusan Hukum Internasional) di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Ketika itu beliau masih menjabat Menteri Luar Negeri. Baru lima menit beliau menyampaikan kuliahnya, saya bergumam, “Inilah profesor sebenar-benarnya profesor.” Bahasanya runtut, substansinya bergizi (eruditive), dan sangat menguasai materi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesan pertama ini semakin menguat ketika pada 1993 saya sebagai dosen muda mendapat wejangan beliau mengenai kiat-kiat menjadi dosen yang sebenar-benarnya dosen. “Ingat, bagi seorang dosen yang paling penting bukan how to teach (bagaimana cara mengajar), tapi what to teach (apa yang diajarkan).” Penguasaan materi kuliah akan menuntun pada pencarian metode penyampaian yang tepat dan tidak sebaliknya.

Bagi yang belum mengenalnya, Mochtar sering dikesankan sebagai sosok yang angkuh. Bagi saya, yang pernah beberapa kali mengikuti kuliahnya pada akhir 1980-an, beliau bukan sosok yang angkuh, melainkan seorang yang sangat percaya diri. Otoritas keilmuannya, khususnya di bidang hukum internasional, menjadikannya tampil penuh percaya diri, kritis, dan korektif. Soetandyo Wignjosoebroto, koleganya dari Universitas Airlangga, Surabaya, memberikan testimoni: “Mochtar bukanlah seseorang yang berkepribadian angkuh. Walau demikian, dia cenderung mengemukakan pernyataan yang angkuh dan bernada tinggi manakala peran hukum diremehkan dalam kehidupan berbangsa. Dia sesungguhnya seorang teknokrat hukum sebagaimana halnya Widjojo Nitisastro yang seorang teknokrat ekonomi.”

Dalam satu kesempatan dialog dengan para dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada 1995, Mochtar menginterupsi pertanyaan seorang dosen muda yang dinilainya keliru. “Saya tidak akan menjawab pertanyaan Saudara, karena pertanyaannya salah. Saya tidak mau ikut-ikutan salah.” Tentu saja kami semua kaget. Tapi akhirnya kami menyadari Mochtar sedang mengajarkan sikap teliti seorang ilmuwan.

Publik mengenal tokoh yang wafat pada usia 92 tahun, Ahad, 6 Juni lalu, ini dengan tiga predikat: Menteri Luar Negeri, pakar hukum internasional, dan pakar hukum laut. Sejatinya Mochtar adalah pemikir hukum yang multiwajah. Mochtar dikenal pula sebagai peletak dasar teori Hukum Pembangunan. Menurut Mochtar, hukum harus memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legitimasi kepada kekuasaan. Di sini Mochtar memberikan formula yang tegas bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan sekaligus menepis tudingan bahwa konsep pembangunan hukum Mochtar adalah alat untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Namun, di atas itu semua, yang paling melekat kepadanya adalah kepakarannya dalam hukum internasional.

Paling tidak ada dua alasan yang mendukung penahbisan Mochtar sebagai Bapak Hukum Internasional Indonesia. Pertama, Mochtar adalah peletak dasar dan pionir dalam pengajaran hukum internasional di Indonesia pascakemerdekaan yang diterapkannya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, sehingga sampai saat ini almamaternya itu masih dianggap sebagai rujukan dalam pengajaran hukum internasional di Indonesia. Kedua, sumbangsih Mochtar di kancah internasional dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia lewat hukum internasional. Perjuangan ini berbuah manis, misalnya dalam kasus Tembakau Bremen (1959), dan tentu saja yang paling monumental adalah perjuangannya mengegolkan konsep negara kepulauan (archipelagic state) dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Kasus Tembakau Bremen dipicu oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang menasionalisasi perusahaan Belanda, khususnya perkebunan. Pihak Belanda menuntut Indonesia memberikan ganti rugi yang didasarkan atas prinsip “prompt, effective, and adequate”. Indonesia menolak dalil Belanda karena nasionalisasi tersebut dilakukan dengan tujuan mengubah struktur ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional Indonesia yang merdeka. Indonesia tidak menolak adanya ganti rugi, melainkan memodifikasi pelaksanaannya yang tidak sepenuhnya berdasarkan prinsip “prompt, effective, and adequate”, melainkan disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan negara yang melakukan nasionalisasi. Dalil Indonesia diterima oleh pengadilan Bremen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsep Wawasan Nusantara adalah kontribusi Mochtar yang sangat penting baik dari sisi keilmuan maupun konteks politik kenegaraan. Konsep ini adalah produk dari pengetahuan dan pemahaman Mochtar yang sangat komprehensif mengenai hukum laut dan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Gagasan dan pemikiran Mochtar berada dalam frekuensi yang sama dengan upaya dan kebijakan pemerintah pada saat itu dalam memperjuangkan konsep negara kepulauan.

Ada dua keputusan politik pemerintah yang sangat penting dan fundamental, yaitu, pertama, Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 mengenai perairan Indonesia. Kedua, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang substansinya merupakan penguatan dari Deklarasi Djuanda 1957. Motivasi dan substansi kedua keputusan politik pemerintah tersebut tidak bisa dilepaskan dari keikutsertaan Indonesia dalam dua Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu konferensi pertama pada 1958 dan konferensi kedua dua tahun kemudian. Mochtar menjadi anggota delegasi Indonesia pada kedua konferensi di Jenewa, Swiss, tersebut.

Mochtar menyadari konsep negara kepulauan hanya diperjuangkan oleh sebagian kecil negara, termasuk Indonesia. Sementara itu, yang menentangnya adalah negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat. Mochtar pun menyadari hukum laut itu lahir dan merupakan konsep dari Eropa Barat, sehingga konsep negara kepulauan yang diajukan oleh Indonesia akan dianggap sebagai deviasi sejarah yang tidak perlu terjadi.

Mochtar sangat gigih dan detail memperjuangkan konsep negara kepulauan di berbagai forum internasional khususnya di PBB. Misalnya ketika Mochtar meyakinkan mengenai definisi negara kepulauan kepada pimpinan Konferensi Hukum Laut ketiga di Caracas, Venezuela, pada 1974. Berikut ini paparannya: “Saudara Pimpinan... jadi negara kepulauan itu harus merupakan kumpulan pulau-pulau, kumpulan pulau dalam arti yang riil. Oleh karenanya negara kepulauan pengertiannya berbeda dengan negara yang hanya terdiri dari rangkaian kepulauan.” Sementara itu, di pihak lain, negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat cukup konsisten menolak konsep ini. Meskipun gelisah, Mochtar optimistis pada akhirnya konsep ini akan diterima. “Saya berharap saudara sependapat dengan saya. Seandainya tidak sependapat, saya berharap paling tidak saudara dapat memahaminya,” kata Mochtar ketika itu, bersikap diplomatis.

Usaha Mochtar berbuah manis dengan ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982, yang antara lain mengakui konsep negara kepulauan yang diperjuangkan Mochtar selama 25 tahun. Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Pemikiran Mochtar mengenai hukum internasional tertuang dalam buku Pengantar Hukum Internasional yang terbit pertama kali pada 1976. Buku ini menjadi sangat khusus kedudukannya karena menjadi rujukan pengajaran hukum internasional di hampir semua fakultas hukum di Indonesia sampai saat ini. Pemikiran Mochtar mengenai hukum internasional sangat fundamental dan futuristik. Hal ini bisa ditelusuri dengan menganalisis pengertian dan batasan hukum internasional yang dibuatnya. Menurut Mochtar, hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara dan negara, serta negara dan subyek hukum lain bukan negara, atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Definisi ini memperlihatkan ketajaman Mochtar dalam menangkap dan mengungkap esensi hukum internasional yang tetap berakar pada sejarah pertumbuhannya dan memprediksi perkembangannya di masa depan.

Isu fundamental lain yang diangkat Mochtar adalah perihal hukum internasional yang bersifat koordinatif karena masyarakat internasional terdiri atas negara-negara merdeka yang tidak memungkinkan saling mensubordinasi. Bukan hukum yang bersifat subordinatif. Namun perkembangan yang terjadi dalam tiga dekade terakhir, khususnya dengan munculnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), melahirkan kaidah-kaidah hukum perdagangan internasional yang memaksa negara-negara menyerahkan sebagian kedaulatan ekonominya untuk memenuhi tuntutan kaidah tersebut. Perkembangan ini mendorong Mochtar mengubah pandangannya. Karakter hukum internasional bergeser dari sifatnya yang koordinatif menjadi subordinatif.

ATIP LATIPULHAYAT (GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus