Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Senyap yang Menyergap  

Setelah setahun perilisannya tertunda, A Quiet Place II menjadi salah satu film pertama yang kembali mengisi layar bioskop pada era pandemi. Sekuel kedua dari John Krasinski yang meneror dengan kesenyapan. Lebih cepat, lebih menyergap.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Emily Blunt, Noah Jupe, Millicent Simmonds dalam A Quiet Place II. Imdb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG yang wajar-wajar saja di sebuah kota kecil Amerika Serikat. Jalanan sedikit lengang karena keramaian sedang terpusat di lapangan baseball tempat tim remaja sedang bertanding. Ayah-ibu, kakak-adik, dan kerabat duduk menyemangati di bangku penonton. Setiap orang di kota itu tampaknya saling mengenal dan menyapa dengan hangat. Samar-samar ada tanda yang mengisyaratkan bahwa bahaya segera menyeruak, seperti siaran berita tentang peristiwa gawat di Cina dan sinyal radio yang hilang tiba-tiba. Namun tentu tanda-tanda itu awalnya terasa tak bermakna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komunitas ini baru gempar ketika seberkas bola api raksasa melintas di atas mereka. Begitu kentara di langit tengah hari yang terang-benderang. Meski tak mengerti apa dan bagaimana, kerumunan di lapangan baseball itu segera bubar. Tiap keluarga bergegas mencari jalan pulang. Perhatian kita barang tentu akan terpusat pada tokoh utama film ini, keluarga Abbot: Lee (John Krasinski), Evelyn (Emily Blunt), dan tiga anak mereka: Regan (Millicent Simmonds), Marcus (Noah Jupe), serta Beau (Cade Woodward).

Emily Blunt dalam A Quit Place II. IMDB

Tak perlu menunggu lama hingga teror itu datang. Kita segera bertemu muka dengan monster-monster mengerikan, seperti laba-laba seukuran rumah yang menyeruduk secepat mobil balap. Adegan awal kedatangan monster ini mengesankan. Sutradara Krasinski menyuguhkan sekuens panjang dari sudut pandang sejumlah karakter berbeda untuk menunjukkan bagaimana chaos mematikan itu mengobrak-abrik setiap sudut kota tanpa putus. Penentu keselamatan bukanlah seberapa cepat seseorang dapat berlari atau seberapa kuat dapat melawan, melainkan seberapa mampu dia menahan diri untuk tak mengeluarkan suara sehalus apa pun.

Teror hari pertama itu langsung dipercepat pada empat ratusan hari kemudian. Tepat pada momen film sebelumnya, A Quiet Place pertama, berakhir. Keluarga Abbot sudah kehilangan Lee dan Beau, tapi telah bertambah dengan kehadiran seorang bayi merah. Sementara film pertama adalah perkara bagaimana keluarga ini membangun tatanan hidup tanpa suara di rumah mereka untuk bertahan dari serangan monster, A Quiet Place Part II menyuguhkan tantangan berbeda. Keluarga Abbot harus melakukan perjalanan meninggalkan rumah mereka, mencari tempat aman baru di tengah dunia mati itu.

Djimon Hounsou dalam A Quiet Place II. Jonny Cournoyer/Paramount Pictures

Film kedua ini sepertinya mensyaratkan penonton sudah menyaksikan film sebelumnya sehingga langsung dapat menyelam pada bagian terbaru perjalanan keluarga Abbot. Kita tak disuguhkan penjelasan, misalnya, ke mana sosok ayah atau mengapa Regan membopong mikrofon dan pengeras suara ke mana-mana (penonton sebelumnya mestilah tahu bahwa Lee tewas mengorbankan diri untuk keluarganya dan peralatan yang dibawa Regan adalah senjata rahasia yang mereka kembangkan pada film pertama).

Karena tak ada waktu terbuang untuk berbagai cerita latar belakang, film ini berjalan lebih cepat dan mendesak. Situasi asing di ruang terbuka yang harus dihadapi keluarga Abbot juga menambah ketegangan dibanding latar sebelumnya yang lebih banyak terjadi di rumah. Deretan mobil di jalanan yang ditinggalkan dengan pintu terbuka, sepatu-sepatu yang berserakan, atau kerangka yang tak bergerak dari posisi terakhir mereka diterkam monster menguarkan kepedihan akan sebuah kota yang dilumat maut sekaligus potensi suara keras yang akan membahayakan tokoh utama cerita.

Horornya pun lebih terang-terangan. Sosok monster, yang pada film pertama lebih sering dimunculkan dalam wujud lesatan yang tak dapat diikuti mata, kini muncul begitu jelas dan mendetail. Gerakan setiap tentakel berlendir menjijikkan di bagian kepala mereka disodorkan ke depan hidung kita.

Di pertengahan cerita, muncul tokoh baru yang menemani keluarga Abbot. Emmet (Cillian Murphy) adalah sahabat lama keluarga. Dia diperkenalkan sekilas pada adegan awal di lapangan baseball. Pada kemunculan berikutnya, Emmet nyaris tak dapat dikenali karena jenggot lebat dan motifnya tak dapat terbaca. Ada sedikit tarik-ulur klise untuk mencoba menempatkan Emmet dalam posisi abu-abu: akankah dia menjadi penolong atau justru menjadi tokoh antagonis berbahaya.

A Quiet Place II juga terasa lebih menarik karena ada sebuah tujuan yang hendak dicapai, yaitu pencarian koloni baru. Kendati tujuan itu cukup umum dalam film-film apokalips, Krasinski cukup berhasil membangun antisipasi. Masih seperti racikan sebelumnya, hal terbaik dalam film ini hadir dari teror yang dihasilkan dari perpaduan kesenyapan yang membuat telinga terasa pekak dan kengerian jika kesunyian itu pecah sedikit saja.

Meski tiap karakter tampak lebih siap dan sigap karena sudah mengenali titik lemah para monster, tetap ada peluang maut datang jika salah melangkah sedikit saja. Ada adegan-adegan yang menempatkan para tokoh pada situasi tanpa belas kasihan yang akan menggelitik setiap saraf kita. Masih ingat, kan, bagaimana Evelyn menginjak paku mencuat di film pertama? Adegan yang sepadan dengan itu muncul juga pada film ini.

John Krasinski dan Emily Blunt saat proses syuting A Aquiet Place II. Jonny Cournoyer/Paramount Pictures

Pola kebanyakan film horor ketika setiap karakter tampaknya begitu ingin memisahkan diri dari kelompok agar mendapat teror tersendiri terjadi pula di film ini. Pada satu titik, jalan cerita bercabang tiga. Regan dan Emmet mencari secercah harapan akan keberadaan kelompok penyintas lain. Adapun Evelyn harus kembali ke kota untuk mengambil suplai oksigen dan obat-obatan. Sementara itu, Marcus dan bayi berdiam di bungker persembunyian. Masing-masing menghadapi situasi berbahaya.

Yang menjadikannya menarik adalah runutan adegan yang disusun paralel sehingga tiap bahaya yang sedang dihadapi satu grup dibuat seolah-olah berkaitan dengan situasi di grup lainnya. Misalnya, keselamatan Marcus di bungker sangat tergantung pada aksi Regan di stasiun radio. Ini mengisyaratkan betapa kuatnya ikatan keluarga Abbot meski saling berjauhan. Cukup mengharukan.

A Quiet Place II seharusnya dirilis pada Maret 2020, sebelum “semua ini” terjadi. Tak seperti sebagian besar produksi sinema masa pandemi yang memilih saluran alternatif seperti layanan streaming, film ini menanti-nanti saatnya dapat tayang di bioskop kembali. Memang teror sunyi ini tak akan terasa demikian menghujam jika hanya disaksikan dari gawai atau layar laptop kecil di kamar kita. Momen yang dinanti itu akhirnya tiba setelah penantian setahun, meski pandemi masih belum jelas juga ujungnya.

Seperti dapat diduga, kehadiran A Quiet Place II di bioskop menarik cukup banyak penonton. Meski begitu, tak perlu khawatir kekhidmatan menonton film ini akan terganggu bunyi kunyahan popcorn atau suara kresek kantong keripik penonton lain. Dalam bioskop era pandemi, masker harus selalu terpasang dan makanan-minuman (seharusnya) tak diperbolehkan.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

A Quiet Place Part II

Sutradara: John Krasinski
Penulis skenario: John Krasinski
Pemain: Emily Blunt, Millicent Simmonds, Cillian Murphy, Noah Jupe, John Krasinski

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus