TIMOR Timur adalah catatan hitam dalam penerapan hak asasi di Indonesia bagi Amnesti Internasional, lembaga independen yang aktif mengawasi pelaksanaan hak asasi di seluruh dunia. Ketika Xanana Gusmao ditangkap, misalnya, Amnesti Internasional memprotes penangkapannya beserta tujuh anggota keluarga Araujo, keluarga yang rumahnya dijadikan tempat sembunyi Xanana. Tapi, buat pemerintah Indonesia, ada UU Anti-Subversi yang mengesahkan penangkapan Xanana dan keluarga Araujo. Xanana jelas sah dijaring dengan pasal 1 ayat 1 karena merongrong kewibawaan pemerintah Indonesia. Sedangkan keluarga Araujo bisa saja dihadapkan pada ayat yang mengungkit kegiatan yang menyatakan simpati kepada musuh. Dua ukuran pelanggaran hak asasi itulah yang ramai dibicarakan di Bangkok pekan lalu, yakni dalam pertemuan hak asasi yang dihadiri oleh wakil 49 negara plus 110 lembaga nonpemerintah Asia- Pasifik. Acara ini menyiapkan deklarasai hak asasi Asia, guna diusulkan dalam pertemuan internasional Lembaga Hak Asasi PBB di Wina, Juni nanti. Bagi kebanyakan negara Asia-Pasifik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati tahun 1948 oleh seluruh anggota PBB dianggap diwarnai alam pikiran Barat sehingga mengutamakan hak sipil dan politik individu. Padahal mereka yakin, hak itu otomatis terjamin jika pembangunan ekonomi berhasil. Jadi, pembangunan ekonomi itu perlu diutamakan dulu. Deklarasi Bangkok, yang akhirnya disepakati Jumat pekan lalu, juga menekankan bahwa penerapan hak asasi harus disesuaikan dengan kondisi budaya dan politik setempat. Ini penting agar: ''Kerja sama internasional didasarkan pada prinsip kesamaan dan penghargaan atas kedaulatan nasional,'' tulis Deklarasi Bangkok itu. Tak lupa diangkat kembali keinginan pemerintah negara berkembang agar bantuan luar negeri tidak dikaitkan dengan penerapan hak asasi. Untuk para pengamat Barat, Deklarasi Bangkok membuka peluang bagi pelanggaran hak asasi. Pemerintah Myanmar, misalnya, yang wakilnya merupakan salah satu yang berkeras agar kriteria hak asasi didasarkan pada budaya dan politik lokal, dituding para pengamat Barat sebagai contoh pemerintahan yang melanggar hak asasi. Pemerintah Myanmar masih menahan pemenang nobel Aung San Suu Kyi, yang empat tahun lalu memenangkan pemilu. Selain Myanmar, yang juga berkeras agar hak asasi ditafsirkan sesuai dengan budaya lokal adalah Iran, Cina, dan Indonesia. Bagi T. Mulya Lubis, aktivis hak asasi Indonesia, Deklarasi Bangkok merupakan langkah mundur. Sebab, ''Sekarang ini makin kuat kesadaran bahwa hak asasi itu bersifat universal,'' kata Mulya. Itu sebabnya ia yakin konsep Asia tidak bakal diterima di kongres hak asasi internasional mendatang. Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, misalnya, yang pertumbuhan ekonominya tidak lebih baik daripada negara Asia, siap menerima universalisme hak asasi. Universal atau tidak, tampaknya yang ditekankan oleh Mulya pantas dipertimbangkan, yakni independennya pengadilan di sebuah negara, sehingga proses peradilan berdiri di atas semua pihak, dan kesewenang-wenangan bisa dicegah. Bukankah tujuan pokok Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 bertujuan melindungi hak-hak manusia di negara mana pun? LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini