Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Ankara—Turki kembali memperpanjang status pemerintahan dalam keadaan darurat selama tiga bulan lagi pada Senin lalu, hampir setahun setelah diberlakukan setelah kudeta militer yang gagal pada Juli 2016.
Seperti dilansir Reuters, Selasa 18 Juli 2017, pemerintah meminta parlemen memperpanjangnya untuk ke empat kali dan proposal tersebut disetujui oleh majelis. Partai AK yang dipimpin Presiden Tayyip Erdogan memiliki suara mayoritas di parlemen.
Berbicara di parlemen, Wakil Perdana Menteri Nurettin Canikli mengatakan keadaan darurat telah membantu menciptakan lingkungan hukum yang perlu untuk membersihkan jejaring Gulen.
Baca: Turki Tangkap Pemimpin Redaksi Cumhuriyet Tanpa Jelas Alasannya
"Semua yang berada di tingkat tinggi negara telah dipecat, tetapi masih ada orang-orang yang bersembunyi," kata Canikli.
Perpanjangan status pemerintahan darurat itu berlangsung setelah acara-acara pada akhir pekan yang diselenggaraan untuk menandai kudeta gagal yang menewaskan sekitar 250 orang, sebagian besar warga sipil yang tak bersenjata.
Sejak keadaan darurat diberlakukan pada 20 Juli 2016, lebih 50 ribu orang telah ditangkap dan 150 ribu pegawai pemerintah dipecat. Para penentang Erdogan menyatakan operasi itu telah mendorong Turki ke arah pemerintahan yang otoriter.
Pemerintah menegaskan bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk menghadapi tantangan keamanan yang dihadapi Turki dan mengikis hingga ke akar-akarnya para pendukung Fethullah Gulen, ulama yang berkedudukan di Amerika Serikat (AS) yang dikatakan berada di balik usaha kudeta itu. Gulen telah membantah keterlibatannya.
Baca: Terkait Kudeta Gagal, Turki Adili Jurnalis Kenamaan
Dalam serangkaian acara yang diikuti masyarakat untuk mengenang mereka yang meninggal dalam usaha kudeta gagal itu dan merayakan mereka yang berhasil menggagalkannya, Erdogan meningkatkan kutukannya terhadap Uni Eropa dan mengatakan ia akan mengembalikan hukuman mati jika parlemen menyetujuinya.
Hubungan Turki dengan Barat terganggu ketika negara Eropa mengecam operasi pembersihan politik itu. Sebanyak 7.000 personel polisi, pegawai negeri dan akademisi lagi dipecat pekan lalu, demikian keputusan yang dipublikasikan pada Jumat lalu.
REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini