HARI pertama plebisit di Filipina, Kamis pekan silam, disambut kaum oposisi dengan aksi Lari Anggap Sepi. Berangkat dari Tarlac, kota kelahiran Mendiang Senator Benigno S. Aquino, 200 pelari menempuh jarak 120 kiloneter sebelum sampai di bandar udara Manila. Para pelari itu - yang jumlahnya kemudian jadi 500 orang, karena banyak yang bergabung di sepanjang perjalanan - di antaranya menyandang coretan berbunyi: "Anggap sepi plebisit" dan "Tiada kompromi dengan diktator". Plebisit selama dua hari, 26 dan 27 Januari, diadakan Presiden Ferdinand Marcos untuk memastikan ada atau tidaknya dukungan rakyat bagi amendemen baru UUD Filipina. Amendemen itu mencakup tiga perubahan penting, yakni pengadaan kembali lembaga wakil presiden (yang dihapuskan Marcos tahun 1972 lewat UU Darurat), penggunaan sistem baru pemilihan anggota Majelis Nasional (anggota mewakili provinsi, bukan distrik), dan reformasi tanah wilayah pemukiman kota. Tak pelak lagi, amendemen yang dimaksudkan untuk merebut simpati rakyat itu dinilai tokoh oposisi sebagai kosmetik belaka. Sebab, sang wakil presiden baru bisa dipilih tahun 1987. Tidak heran bila bekas presiden Diosdado Macapagal menyerukan boikot total. "Mengikuti plebisit bukanlah mengembalikan demokrasi, sebaliknya mengamankan kediktatoran," katanya pedas. Fred Pfeifer, pemimpin oposisi di Bacolod, lebih berani. Ia menyatakan, "Boikot terhadap plebisit dan pemilihan umum Mei nanti bisa mengurangi kepercayaan kreditor asing pada Marcos, dan pada gilirannya mempersulit pemerintah memperoleh pinjaman baru." Pendapatnya ini didukung aksi boikot 1l5.000 orang di Bacolod. Sebaliknya Kardinal Sin. Ia memperingatkan, jika aksi boikot dilancarkan juga khususnya terhadap pemilu, salah-salah akibatnya bisa menjerumuskan rakyat Filipina ke dalam kancah revolusi. Sin rupanya kurang berkenan dengan sikap para pemimpin oposisi yang bersikeras menuntut Marcos mundur agar suatu pemilu yang bersih dapat terlaksana. Adapun plebisit yang baru lalu, yang hasilnya sampai awal pekan ini belum disiarkan, belum apa-apa sudah minta korban. Sedikitnya sembilan orang - termasuk tiga pemberontak komunis dan dua petugas tewas. Yang cedera lebih banyak. Walaupun demikian, Komandan Polisi Nasional Jenderal Fidel Ramos menyimpulkan bahwa aksi kekerasan berada di bawah tingkat kecelakaan yang normal bila dibandingkan beberapa pemilu terdahulu. Tapi menciutnya jumlah korban sejajar dengan menyusutnya pemilih. Diperkirakan, paling banyak hanya 50% dari 30 Juta pemilih yang menyetorkan suaranya ke kotak-kotak pemilihan. Akibatnya, konon, 80.000 kotak suara terpaksa ditutup, padahal perbuatan memboikot plebisit diancam hukum denda atau penjara. Kuat dugaan, dua perubahan dalam amendemen, tentang wakil presiden dan sistem pemilihan, memperoleh dukungan terbanyak dari rakyat. Dipihak lain, perombakan tata guna tanah (landreform) disinyahr akan mengembalikan struktur ekonomi Filipina ke zaman penjajahan Spanyol. Dikhawatirkan, tanah-tanah yang luas, lewat landreform ini, akan berpindah ke tangan orang kaya dari kalangan Istana Malacanang. Kalau itu sampai terjadi, beban rakyat bisa lebih berat. Apalagi kondisi ekonomi di Filipina belum menentu. Antara lain karena penjadwalan kembali utang luar negeri (US$ 25 milyar) belum disepakati, dan pinjaman baru belum diperoleh. Akibat situasi tak menentu itu, pada dua bulan terakhir 1983 tercatat 64.000 orang terpaksa jadi penganggur, karena banyak perusahaan menghentikan kegiatannya. Dalam waktu dekat, diperkirakan akan menyusul 68.000 karyawan lagi dirumahkan sampai pabrik bekerja kembali. Ini tak lain karena persediaan devisa sudah amat menipis, impor bahan baku industri terpaksa dihentikan sama sekali. Tapi Presiden Marcos menganggap bertambahnya angka pengangguran hanyalah dugaan semata-mata. Padahal, data itu hasil penelitian Konfederasi Pengusaha Filipina. Guncangan apa lagi yang akan menimpa Filipina? Dewasa ini, baik Marcos maupun pihak oposisi sama-sama sibuk mereka jawabannya. Sementara inflasi melaju 26,1% angka tertinggi sejak 1975, 5.000 demonstran kembali menyerbu Makati guna menggalakkan aksi boikot pemilu. Di sela hingar-bingar itu, 42 jenderal purnawrawan menuntut agar misteri pembunuhan Benigno "Ninoy" Aquino disingkapkan secara tuntas demi pulihnya kepercayaan rakyat terhadap pihak militer. Mereka menyesalkan sekali kecenderungan menutup-nutupi kasus pembunuhan kejam itu, yang mengakibatkan "reputasi angkatan darat Filipina ternoda."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini