DI tengah guncangan kerusuhan rasial, pemerintah Afrika Selatan kini harus pula memikirkan utang. Ahad lalu, Presiden Pieter W. Botha membekukan hampir seluruh pembayaran utang negeri ini paling tidak hingga akhir tahun. "Dibutuhkan waktu untuk menjadwalkan kembali utang bangsa ini," kata sang presiden. Seluruhnya mencapai US$ 17 milyar. Dalam tiga tahun terakhir, musim kering yang panjang dan merosotnya harga emas serta komoditi ekspor negeri tersebut menambah beban politik apartheid yang dilancarkan pemerintah. Pengangguran meliputi seperempat dari seluruh penduduk kulit hitam. Inflasi berkisar 15%. Sementara itu, pekan lalu, 60 ribu pekerja kulit hitam melancarkan pemogokan di lima tambang emas dan dua tambang batu bara. Di Johannesburg, dua penduduk kulit putih dibunuh orang-orang kulit hitam. Sebelumnya, di Desa Duncan, 18 jenazah kulit hitam korban kerusuhan dimakamkan, satu di antaranya bayi berusia 17 bulan. Keadaan darurat yang diberlakukan Botha di 36 distrik, Juli lalu, memang tidak menolong keadaan. Tahun ini saja, 17 dari 350 perusahaan AS yang beroperasi di sana menyatakan niat angkat kaki, paling tidak mengurangi kegiatannya. Di antaranya terdapat Phibro-Salomon, perusahaan ke-12 terbesar di AS, yang selama ini mengekspor permata dan logam mulia Afrika Selatan. Dari Washington, imbauan dialog nasional diumumkan departemen luar negeri AS, Jumat pekan lalu. Untuk pertama kalinya, AS menyerukan negosiasi antara pemerintah Afrika Selatan dan Kongres Nasional Afrika (ANC) - yang dibekukan pemerintah sejak 1960. "Dialog nasional itu hendaknya melibatkan Nelson Mandela," kata Anita Stockman, juru bicara deparlu. Mandela, tokoh utama ANC itu, dipenjarakan sejak 1962. ANC sendiri, hari itu juga, menyatakan rencana untuk segera berbicara dengan para pengusaha Afrika Selatan, demi menghapuskan politik apartheid. Kongres, yang kini bermarkas di Lusaka, Zambia, itu belum menentukan siapa saja yang bakal diundang. Dari pihak pemerintah, belum ada isyarat kesediaan untuk membuka dialog dengan ANC. Sebaliknya, kalangan pengusaha, yang lebih memahami krisis ekonomi Afrika Selatan, makin gencar mendorong perubahan kebijaksanaan pemerintah. "Inilah kesempatan terakhir," ujar Anton Rupert, presiden grup Rembrandt, dan satu di antara pengusaha kulit putih Afrika Selatan yang paling kuat. Menurut dia, "Kekerasan mungkin bisa ditenggang di masa lampau, tapi tidak lagi untuk masa sekarang." Di pihak lain, sejumlah pengamat AS melihat tekanan ekonomi akan lebih berperan dalam usaha mengubah kebijaksanaan apartheid pemerintah Afrika Selatan. "Kekuatan kita yang terbesar adalah tekanan ekonomi," kata Willard R. Johnson, guru besar ilmu politik Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Ia menyarankan penanaman modal asing dihentikan. Sebab, "Orang kulit putih Afrika Selatan selalu melihat penanaman modal itu sebagai semacam dukungan moral," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini