SEKERAT ujung jari ternyata cukup untuk menjadi bukti kunci. Ditemukan di bawah reruntuhan gedung kedutaan besar AS di Kuwait, potongan jari itu adalah milik Raad Meftel Ajeel, 25. Dari sidiknya diketahui bahwa pemuda inilah pelaku utama peledakan yang cukup menggemparkan, Desember lalu itu. Hal ihwal Ajeel dan organisasi rahasia yang bergerak di belakangnya dilaporkan Richard Harwood lewat Washington Post Service, pekan silam. Bermata sayu dan berkumis tipis, Ajeel sehari-hari bekerja sebagai sopir truk pada sebuah perusahaan dagang Kuwait. Sebagai imigran, ia baru saja bermukim di negeri kaya itu - September 1983. Dan jabatan sopir hanyalah kedok belaka. Dari pengusutan yang gencar dilakukan terungkap bahwa Ajeel anggota tim operasi peledakan. Beranggotakan 22 orang, tim ini terbagi dalam tujuh sel yang tidak kenal satu sama lain. Menjalankan tugas yang diancam hukuman mati ini bukan baru bagi Ajeel. Dia anggota Al-Daa Al-Islamiya, sebuah organisasi oposisi terlarang di Irak, yang kini mempunyal basis di Iran. Digerakkan oleh ideologi perjuangan kaum Syiah Irak, Dawa (Harapan) merupakan organisasi keagamaan yang bercita-cita melancarkan revolusi sosiai. Dalam pandangan Partai Baath, yang kini berkuasa di Irak, Daa bukan saja berbahaya, tapi mesti ditumpas. Salah seorang pemimpinnya, Baquir Sadr, dihukum mati oleh Presiden Saddam Hussein pada tahun 1980. Pada tahun yang sama, Saad Ajeel, saudara kandung Raad Ajeel, juga dijatuhi hukuman gantung. Berbekal tekad yang tidak luntur Raad Ajeel kemudian menyeberang ke Iran, bergabung dengan 1/4 juta pelarian Irak di sana. Diduga ia dibina oleh Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak yang dipimpin Hojatoleslam Mohammed Bakir Hakim (TEMPO, 11 Februari). Diselundupkan ke Kuwait dengan perahu motor, Ajeel konon tidak mengalami kesulitan berarti, meski ia membawa sejumlah besar bahan peledak dan berbagai jenis senjata, seperti peluncur roket, senapan mesin, dan pistol. Sehelai surat rekomendasi dan paspor Iran telah memunekinkan ia bergerak leluasa. Untuk peledakan 12 Desember, Ajeel membeli lima kendaraan tiga sedan dan dua truk. Lusinan tangki gas butane dan propane dlmuatkan pada kelima kendaraan itu, lalu dihubungkan ke peledak heksogen yang biasa dipakai untuk ranau atau bom. Kemampuan ledakannya dikabarkan luar biasa - dua kali lebih besar dari TNT. Tapi mengapa hasilnya kurang meyakinkan ? Konon, teknisi pengatur ledakan yang bernama Elias Fuad Saib, seorang Kristen Libanon, telah bekerja sembrono. Cuma 10 dari 45 tabung gas dalam truk Ajeel yang meledak. Kegagalan serupa juga terjadi pada kendaraan lain. Tersebut kisah, malam menjelang peledakan, lima kendaraan sudah diparkir rapi di beberapa lokasi sasaran, di antaranya gedung kedutaan AS. Seperti halnya pemboman di Museum Martir di Rangoon, peledakan di Kuwait ini juga dilakukan lewat alat kontrol jarak jauh. Ajeel bukan tidak tahu itu. Tapi rupanya ia memilih jadi pahlawan - tewas bersamasama truk yang diledakkannya tiga meter dari sasaran, sesudah menabrak pintu gerbang dan melintasi lapangan parkir. Pilihan Ajeel toh bisa dibilang tepat. Sampai kini, 18 dari 22 anggota komplotan teroris tertangkap polisi Kuwait. Menurut UU yang berlaku, mereka diancam hukuman gantung - paling ringan potong kaki dan tangan. Jenis hukuman yang disebut terakhir baru ditetaPkan 29 Desember, 17 hari sesudah peledakan terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini