KECUALI luasnya yang hanya 3.565 km2, harus diakui, data lain tentang Brunei bisa menimbulkan iri. Betapa tidak. Negara itu, yang punya cadangan devisa US$ 15 milyar, selain tidak memungut pajak pendapatan perorangan, juga memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada 200.000 rakyatnya (dua kali jumlah penonton pertandingan final Persib-PSMS di Stadion Utama Senayan, Jakarta, November 1983) secara cuma-cuma. Ladang minyak dan gas alamnya menjamin kemakmuran negeri itu sampai tahun 2000. Mau apa lagi ? Tak mengherankan bila pesta kemerdekaan Brunei, awal pekan silam, gemerlapan. Warna kuning dan merah merajai suasana, mulai dari bintang dan asesori pada busana upacara Sultan Hassanal Bolkiah sampai kepada istana yang jumlah kamarnya 1.788 buah. Hampir 10 ton bunga dan lauk-pauk diterbangkan ke ibu kota Bandar Seri Begawan, demi menghormati 4.500 tamu dan 20 kepala negara. Angka-angka itu, termasuk harga tahta yang mencapai US$ 70.000, bisa diketahui siapa saja. Secara ekonomis, Brunei sangat bersyukur karena kekayaan sumber alamnya, demikian Sultan Bolkiah yang sudah mempersiapkan rencana pembangunan lima tahun Brunei--mulai 1985. Ke dalam, diutamakan peningkatan produksi pertanian dan perumahan rakyat, sedangkan ke luar Brunei mencari kesempatan untuk investasi. Kegembiraan rakyat di kesultanan kecil itu menjadi lengkap dengan diterimanya Brunei sebagai anggota PBB ke-159. Semua sukses itu bukan tidak bergema di hati A.M. Azahari, 55, warga Brunei yang sejak 1963 bermukim di Bogor. Azahari, bekas Ketua Partai Rakyat Brune dan Perdana Menteri Negara Kesatuan Kalimantan Utara pada tahun 1960-an kini hidup sederhana dengan mengusahakan ternak ayam sebagai sumber nafkahnya. Ia tentu saja memendam "rindu tanah air" seperti diutarakannya pada Zaim Uchrowi, wartawan TEMPO, dalam sebuah wawancara, di rumahnya, di satu pelosok Kota Bogor. Kini Brunei telah merdeka. Bagaimana perasaan Anda? Sebagai hamba Allah, dan demi kehormatan raja, saya bersyukur bahwa kini Brunei telah merdeka. Hanya, Saya belum tahu apakah kemerdekaan itu juga berarti jembatan emas yang menghubung an raja dengan rakyat, dan memperkuat ikatan sejarah dengan para pejuang kemerdekaan. Bukankah Sultan menjamin adanya demokrasi? Ya. Kata demokrasi yang disebut dalam naskah proklamasi itu yang membuat saya gembira. Tmggal menunggu pelaksanaannya. Bagaimana dengan asas Islam yang dianutnya? Sejak awal perjuangan pada tahun 1950-an, kami sudah berniat menegakkan negara yang berdasar ketuhanan, yakni negara yang taat pada Allah, Rasul, Sri Paduka Baginda, dan Rakyat. Jadi, wajar bila Brunei memaklumkan diri sebagai negara Islam. Coraknya seperti Saudi Arabia. Kalau kita menguak sejarah, apa sebenarnya cita-cita Partai Rakyat Brunei (PRB) dahulu? Untuk menentang Inggris dan mewujudkan negara kesatuan merdeka, meliputi Sabah dan Serawak yang dipimpin Sultan Brunei. Dan akan dibentuk parlemen, sehingga merupakan keraiaan berparlemen. Cita-cita itu diketahui oleh Sri Paduka Baginda Haji Sir Omar Ali Saifuddin, ayah anda Sultan. Beliau, waktu itu, merestuinya. Mengapa Anda lalu memberontak? Sebelum pergi ke Filipina untuk membicarakan klaim negara itu atas wilayah Kalimantan Utara, saya menugasi pimpinan partai agar menyiapkan kongres dengan orang partai di parlemen. Ternyata, kongres itu dilarang oleh British High Commissioner tanpa penjelasan apa pun. Massa marah, dan mendesak pimpinan partai untuk berontak. Mulanya, saya menolak, sadar hal itu bisa dijadikan alasan oleh Inggris untuk menggempur partai, tapi massa mengancam: jika tidak mau memimpin pemberontakan, saya akan dicap sebagai pengkhianat. Saya dihadapkan pada fait accompli. Terpaksa saya membacakan naskah proklamasi Negara Kesatuan Kalimantan Utara tanggal 8 Desember 1962 di Manila. Adakah persiapan untuk proklamasi kemerdekaan itu? Tak ada persiapan apa pun. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang mendorong pemberontakan itu dan meretakkan hubungan saya dengan Sultan yang selalu menyebut saya dengan kata "sahabat". Sebagai PM Kalimantan Utara apa yang Anda lakukan? Atas undangan Presiden Soekarno saya berangkat ke Indonesia, Januari 1963. Setelah perjuangan militer gagal - hanya bertahan seminggu di Brunei - saya melanjutkan dengan perjuangan diplomasi. Saya protes pada PBB, sedangkan pada Pak Karno saya minta untuk tidak meneruskan rencana konfrontasi dengan Malaysia. Pak Karno marah sambil berkata, "Bagaimana saya harus membantu Anda?" Tahun 1975 saya sempat mengajukan resolusi di PBB agar rakyat Brunei diberi kesempatan menentukan nasib sendiri. Setelah pemberontakan gagal, bagaimana PRB? Walau masih dibekukan, Sultan Bolkiah masih menakui adanya PRB. Jika Sultan berkehendak untuk menghidupkannya kembali, PRB masih punya massa untuk ikut dalam kehidupan politik memajukan bumiputra. Apakah Anda bermaksud pulang ke Brunei? Kami semua ingin pulang, karena kami tak pernah berniat memusuhi Sultan. Saya juga sudah berkirim surat pada Sultan. Entah sampai, entah tidak surat itu. Kapan akan pulang? Tergantung kapan Sri Paduka Baginda menitahkan kami untuk pulang. Dan tanpa syarat. Bila tidak? (Bekas pemimpir PRB itu tidak menjawab. Ia hanya memandang dan terdiam).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini