PEMERINTAH Arab Saudi demikian gusar. Ini gara-gara jaringan
televisi swasta Associated Televison Corporation (ATV), Inggris
mengudarakan film The Death of a Princess (Kematian Seorang
Putri). Pemutaran film tersebut diduga akan merembet pula ke
banyak negara lain.
"Ia hanya merupakan kisah sensasional murah khayalan televisi,"
kata Nagi Sadiq, Atase Pers, Kedutaan Besar Saudi di London. "Ia
berkedok mengemukakan pandangan jernih, namun sesungguhnya
jahat." Menlu Inggris, Lord Carrington, bisa memahami bahwa film
tersebut akan mengganggu hubungan kedua negara. Ia telah
menyatakan penyesalan mendalam kepada pemerintah Saudi. "Namun
kami tidak memiliki kckuasaan untuk mencampuri program televisi
itu, apalagi sampai melarang peredarannya," demikian pernyataan
pemerintah Inggris.
Kok Saudi gusar? Kisah The Death of a Princess diangkat berdasar
peristiwa hukuman mati yang dijatuhkan atas Putri Mashall binti
Abdul Aziz, 23 tahun, pada November 1977. Ia dituduh telah
berzina dengan lelaki bukan suaminya. Musleh al Sha'er,
kemanakan Dubes Saudi di Lbanon. Karenanya, menurut hukum agama
di Arab Saudi, Mashall harus dilempari batu hingga mati.
Sang putri sesungguhnya sudah dijodohkan orang tuanya dengan
seorang putra kerajaan. Karena dimabuk asmara tampaknya, dan
sempat melarikan diri dengan menyamar sebagai lelaki, ia lupa
daratan. Dalam film, peran Mashall dimainkan oleh bintang film
Mesir, Suzanne Abou Taleb. Film tersebut -- dibuat oleh ATV
bersama WGBH Public Broadcasting System, AS -- menelan biaya US$
430 ribu (Rp 270 juta).
Pembuatnya mengakui The Death of a Princess merupakan
rekonstruksi beberapa peristiwa di dunia Arab antara 1976-78
yang didramatisir demikian rupa. Dalam salah satu adegan
diperlihatkan Putri Mashall tergeletak setelah ditembak mati.
Sementara di dekatnya kekasihnya berlutut di depan algojo yang
mengayunkan pedang untuk memenggal lehernya.
Adegan itu tentu saja menusuk perasaan Kerajaan Saudi.
Pemerintah Saudi konon bersedia membeli seluruh copy film tadi
seharga US$ 10 juta (Rp 6,25 milyar) supaya tidak beredar.
Riyadh malahan sudah mengancam akan memutuskan hubungan
diplomatik, menghentikan suplai minyak, dan membatalkan semua
perjanjian dagangnya, demikian berita pers.
Di Inggris sendiri film tersebut memancing perdebatan. Segera
setelah tentu Lord Carrington menyatakan penyesalannya, beberapa
anggota parlemen melancarkan kecaman atas pernyataannya. Juga
koran sayap kanan The Daily Express melancarkan kritik pedas.
"Kebebasan dan kemerdekaan berekspresi dalam media di negeri ini
tidak boleh digadaikan dengan jutaan barrel minyak Saudi,
tulisnya.
Sekitar 3 tahun lalu, sesudah eksekusi dilaksanakan atas
Mashall, Daily Exress membuat gempar. Koran London itu
menurunkan tulisan panjang lebar mengenai kisah asmara sang
putri. Bahkan ia berhasil mendapat potret pelaksanaan eksekusi
di lapangan yang diambil dengan kamera seorang turis. Menlu
David Owen ketika itu juga menyatakan penyesalannya. Dan Daily
Express mengecamnya.
Sementara dengan Inggris belum beres betul, kini pemerintah
Saudi harus berhadapan dengan Negeri Belanda. Jaringan televisi
Yayasan Penyiaran Belanda (NOS) mengudarakan film tersebut
pekan lalu. Raja Khaled dari Saudi sampai mengirimkan kawat
kepada PM Andries Van Agt yang sedang berkunjung ke Indonesia.
Ia meminta agar Van Agt membloki, pemutarannya ke jaringan
televisi berikutnya. Namun berdasar hukum Belanda, perdana
menteri tidak bisa mencampuri kebijaksanaan program siaran.
Menurut produsernya, Anthony Thomas, film tersebut juga akan
diedarkan ke beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru,
Jepang, dan Amerika Serikat. Tapi Wakil PM Australia, Douglas
Anthony, buru-buru mengirimkan teleks ke seluruh jaringan
televisi Australia. Secara pribadi ia menyatakan tidak menyukai
film itu diputar.
Adakah maksud politik yang hendak dicapai dengan film itu? Koran
Al Riyadh, Arab Saudi, menuduh gerakan Zionist berada di
belakang jaringan media massa Barat tersebut. Pemerintah Saudi,
tulisnya, harus mulai memperhitungkan kembali untung ruginya
berhubungan dengan mereka (Inggris dan Belanda). "Film itu jelas
menyerang prinsip Islam, dan kepercayaan kaum muslimin," kata
Raja Khaled. "Kalian harus ingat ini menyangkut perasaan 600
juta umat Islam."
Koran Saudi menyarankan kepada pemerintahnya, agar mengambil
suatu tindakan ekonomi pada negara yang memutar film tersebut.
Kalau itu dilaksanakan, suplai minyak Inggris dan Belanda diduga
akan terganggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini