Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Matinya Putri

Film the death of a princess. diangkat dari peristiwa hukuman mati putri mashall. diputar di inggris dan akan diputar di negara-negara eropa. protes negara arab dengan ancaman tindakan ekonomi. (ln)

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Arab Saudi demikian gusar. Ini gara-gara jaringan televisi swasta Associated Televison Corporation (ATV), Inggris mengudarakan film The Death of a Princess (Kematian Seorang Putri). Pemutaran film tersebut diduga akan merembet pula ke banyak negara lain. "Ia hanya merupakan kisah sensasional murah khayalan televisi," kata Nagi Sadiq, Atase Pers, Kedutaan Besar Saudi di London. "Ia berkedok mengemukakan pandangan jernih, namun sesungguhnya jahat." Menlu Inggris, Lord Carrington, bisa memahami bahwa film tersebut akan mengganggu hubungan kedua negara. Ia telah menyatakan penyesalan mendalam kepada pemerintah Saudi. "Namun kami tidak memiliki kckuasaan untuk mencampuri program televisi itu, apalagi sampai melarang peredarannya," demikian pernyataan pemerintah Inggris. Kok Saudi gusar? Kisah The Death of a Princess diangkat berdasar peristiwa hukuman mati yang dijatuhkan atas Putri Mashall binti Abdul Aziz, 23 tahun, pada November 1977. Ia dituduh telah berzina dengan lelaki bukan suaminya. Musleh al Sha'er, kemanakan Dubes Saudi di Lbanon. Karenanya, menurut hukum agama di Arab Saudi, Mashall harus dilempari batu hingga mati. Sang putri sesungguhnya sudah dijodohkan orang tuanya dengan seorang putra kerajaan. Karena dimabuk asmara tampaknya, dan sempat melarikan diri dengan menyamar sebagai lelaki, ia lupa daratan. Dalam film, peran Mashall dimainkan oleh bintang film Mesir, Suzanne Abou Taleb. Film tersebut -- dibuat oleh ATV bersama WGBH Public Broadcasting System, AS -- menelan biaya US$ 430 ribu (Rp 270 juta). Pembuatnya mengakui The Death of a Princess merupakan rekonstruksi beberapa peristiwa di dunia Arab antara 1976-78 yang didramatisir demikian rupa. Dalam salah satu adegan diperlihatkan Putri Mashall tergeletak setelah ditembak mati. Sementara di dekatnya kekasihnya berlutut di depan algojo yang mengayunkan pedang untuk memenggal lehernya. Adegan itu tentu saja menusuk perasaan Kerajaan Saudi. Pemerintah Saudi konon bersedia membeli seluruh copy film tadi seharga US$ 10 juta (Rp 6,25 milyar) supaya tidak beredar. Riyadh malahan sudah mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik, menghentikan suplai minyak, dan membatalkan semua perjanjian dagangnya, demikian berita pers. Di Inggris sendiri film tersebut memancing perdebatan. Segera setelah tentu Lord Carrington menyatakan penyesalannya, beberapa anggota parlemen melancarkan kecaman atas pernyataannya. Juga koran sayap kanan The Daily Express melancarkan kritik pedas. "Kebebasan dan kemerdekaan berekspresi dalam media di negeri ini tidak boleh digadaikan dengan jutaan barrel minyak Saudi, tulisnya. Sekitar 3 tahun lalu, sesudah eksekusi dilaksanakan atas Mashall, Daily Exress membuat gempar. Koran London itu menurunkan tulisan panjang lebar mengenai kisah asmara sang putri. Bahkan ia berhasil mendapat potret pelaksanaan eksekusi di lapangan yang diambil dengan kamera seorang turis. Menlu David Owen ketika itu juga menyatakan penyesalannya. Dan Daily Express mengecamnya. Sementara dengan Inggris belum beres betul, kini pemerintah Saudi harus berhadapan dengan Negeri Belanda. Jaringan televisi Yayasan Penyiaran Belanda (NOS) mengudarakan film tersebut pekan lalu. Raja Khaled dari Saudi sampai mengirimkan kawat kepada PM Andries Van Agt yang sedang berkunjung ke Indonesia. Ia meminta agar Van Agt membloki, pemutarannya ke jaringan televisi berikutnya. Namun berdasar hukum Belanda, perdana menteri tidak bisa mencampuri kebijaksanaan program siaran. Menurut produsernya, Anthony Thomas, film tersebut juga akan diedarkan ke beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Amerika Serikat. Tapi Wakil PM Australia, Douglas Anthony, buru-buru mengirimkan teleks ke seluruh jaringan televisi Australia. Secara pribadi ia menyatakan tidak menyukai film itu diputar. Adakah maksud politik yang hendak dicapai dengan film itu? Koran Al Riyadh, Arab Saudi, menuduh gerakan Zionist berada di belakang jaringan media massa Barat tersebut. Pemerintah Saudi, tulisnya, harus mulai memperhitungkan kembali untung ruginya berhubungan dengan mereka (Inggris dan Belanda). "Film itu jelas menyerang prinsip Islam, dan kepercayaan kaum muslimin," kata Raja Khaled. "Kalian harus ingat ini menyangkut perasaan 600 juta umat Islam." Koran Saudi menyarankan kepada pemerintahnya, agar mengambil suatu tindakan ekonomi pada negara yang memutar film tersebut. Kalau itu dilaksanakan, suplai minyak Inggris dan Belanda diduga akan terganggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus