Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pertemuan kedua pemimpin Kim Jong Il (Korea Utara) dan Kim Dae Jung (Korea Selatan) itu kini jelas kedua negara berada di ambang pencaharian identitas. Sesungguhnya saat masih berbentuk Kerajaan Choson (abad ke-14 sampai awal abad ke-20) hingga terpisah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan, kuku kaki negara besar seperti Cina, Mongol, Uni Soviet, Jepang, dan Amerika Serikat tertancap begitu dalam di tanah semenanjung yang terletak di jantung Asia itu. Namun, toh hingga tahun 1948, Semenanjung Korea memiliki wajah yang sama: sebuah negara yang membangun diri dari hinaan jajahan Jepang dan penuh sesak oleh nasionalisme. Kalahnya Jepang pada Perang Dunia II telah membuat warga Korea yang dijajah sejak tahun 1592 itu kembali menjadi kawasan yang lezat bagi intervensi pihak asing. Sejarah mencatat, telah terjadi 9.000 kali invasi tentara asing ke Korea.
Setelah tanggal 15 Agustus 1948 Korea bagian selatan memproklamasikan dirinya sebagai Republik Korea dengan Syngman Rhee sebagai Presiden dan sebulan kemudian Korea bagian utara menyatakan dirinya sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) dengan Kim Il Sung sebagai pemimpin nasional, identitas semenanjung yang terbelah dua itu menjadi jelas, tegas, dan nyata: kapitalis di bawah belaian AS dan komunis di bawah perlindungan Uni Soviet. Dalam kehidupan sehari-hari, warga Korea Selatan menamakan negaranya sebagai Tae Han; sementara warga Korea Utara tetap menggunakan nama tradisional Korea: Choson, yang berarti tanah di pagi yang teduh. Nama Korea yang lebih sering digunakan orang asing berasal dari dinasti Koryo di masa lalu.
Dengan nama dan ideologi yang berbeda, sejarah bergulir membentuk kedua negara sesuai dengan keinginannya masing-masing dan memisahkan jutaan keluarga dengan sebatas garis merah perbatasan. Korea Utara menjadi sebuah negara yang tertutup, misterius, reklusif, memiliki instalasi senjata nuklir dan dengan kegiatan intelijen yang intens. Dengan pendapatan per kapita US$ 1.000, banjir besar yang melanda seluruh negeri (1996), 2,3 juta penduduk yang mati kelaparan serta hantaman krisis moneter, Pyong Yang tak mungkin lagi menolak bantuan negara-negara yang selama ini ada dalam daftar "musuh": Korea Selatan, AS, dan Jepang. Setahun silam Kim Jong Il mengizinkan pemeriksaan senjata nuklir dengan "barter" bantuan makanan bagi warganya yang kelaparan. Ini adalah gejala bahwa sang pemimpin menyadari tak mungkin ia terus-menerus bermusuhan dengan Seoul.
Sementara itu, Korea Selatan sebetulnya tumbuh dan berkembang melesat bagai meteor. Setelah luluh-lantak akibat Perang Korea tahun 1950 hingga 1953, Seoul berbenah diri dengan program ekonomi yang ambisius. Dengan sistem pasar bebas, Korea Selatan, yang menyadari absennya kekayaan alam di negerinya, memulai kebijakan yang menekankan pertumbuhan ekonomi berdasarkan orientasi ekspor. Kebijakan yang dimulai tahun 1964di bawah tangan besi militeristik Park Chung Heememang dianggap berhasil membawa negara itu menjadi salah satu NIC (new industrialized countries) bersama dengan Taiwan, Hong Kong, dan beberapa negara Amerika Latin seperti Brasil. Para pengamat ekonomi terangsang dengan perkembangan unik Korea Selatan di mana mereka biasa mengategorikan dunia sebagai kelompok Dunia Pertama (negara Barat), Dunia Kedua (negara sosialis), dan Dunia Ketiga (negara berkembang). Korea Selatan menjadi unik karena mereka mampu mendekati tradisi negara industri dalam komposisi ekspor, tapi yang membuat mereka tetap memiliki "wajah" negara berkembang adalah karena upah buruh yang sangat rendah.
Perkembangan ekonomi yang pesat itu memakan ongkos di bidang sosial dan politik, karena masyarakat Korea Selatan hidup di bawah rezim militer yang represif. Pada saat di bawah pemerintahan militer Park Chung Hee itulah berbagai organisasi buruh dan pers Korea Selatan memperlihatkan giginya. "Tahun 1975 adalah saat kami ingin membuka kediktatoran pemerintah melalui media," tutur Seng Yu Bo, bekas wartawan Dong-A Iilbo, harian terbesar di Korea Selatan, yang kini menjabat pemimpin LSM Citizens Coalition for Democratic Media (CCDM). Akibat pemberitaan itu, pemerintah menekan para pemimpin media untuk memecat 138 wartawan harian Dong-A dan 33 wartawan harian Chosun. Setelah itu, 15 wartawan ditahan, termasuk Seng Yu Bo, yang saat itu bekerja sebagai reporter Dong-A. "Tentu saja undang-undang yang dijadikan dasar adalah UU Keamanan dan UU Antikomunis," kata Yu Bo kepada TEMPO di kantornya yang sederhana di kawasan Donggyo-dong, barat Seoul.
Tahun 1980, terjadi penangkapan 1.000 wartawan harian dan televisi Korea Selatan. "Ini gerakan pembersihan wartawan yang dianggap antipemerintah," ujar Yu Bo. Pada masa-masa itulah, banyak wartawan membuat brosur di bawah tanah untuk tetap memberi informasi kepada masyarakat tentang situasi politik yang tengah terjadi. Kelompok CCDM yang didirikan Yung Bohampir mengingatkan kita kepada Aliansi Jurnalis Independendidirikan pada 1985, antara lain, untuk menjawab persoalan informasi dan pemberitaan yang simpang-siur, selain pembelaan terhadap wartawan yang ditahan.
Ongkos lain dari 40 tahun pemerintahan rezim militer (Park Chung Hee dan Chun Doo Hwan) itu adalah dengan kolusi antara pemerintah dan gurita konglomerat chaebol, yang hingga kini masih menjadi "warisan" persoalan yang membelit pemerintahan Kim Dae Jung. Meski pendapatan per kapita Korea Selatanyang juga dihantam krisis ekonomi selama dua tahunmencapai US$ 12.600, persoalan pemberantasan chaebol yang berkolusi masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit. "Pemerintah Kim Dae Jung memang berupaya memerangi chaebol, tetapi upayanya kurang keras dan tegas," tutur Jungkeun Lim, dosen Universitas Sungkonghoe yang juga aktivis People's Solidarity for Participatory Democracy (PSDP). Itulah sebabnya LSM tempat dia berkiprah memiliki departemen yang cukup besar dan rinci yang khusus menangani masalah chaebol. PSDP adalah satu dari lima jaringan LSM terbesar di Korea Selatan yang sangat berpengaruh.
Tetapi, dengan berbagai warisan persoalan ekonomi dan politik dari rezim sebelumnya, harus diakui Korea Selatan adalah sebuah negara dengan infrastruktur yang kuat dan sumber daya manusia yang tangguh, sehingga mampu melalui krisis dengan baik. Masyarakatnya yang homogensehingga tak perlu menghadapi problem kerusuhan etnis macam Indonesiadan modal awal saat negara itu dibangun, membuat Korea Selatan lebih siap menghadapi kemungkinan reunifikasi dengan Korea Utara, yang agaknya bukan hanya diinginkan kedua pemerintahan, tetapi juga masyarakatnya.
Bukti bahwa bagaimana Korea Selatan menjadi negara dengan sistem yang sudah berjalan lancar terlihat dari peran organisasi buruhnyasalah satu yang terbesar dan terkuat di duniadan LSM-nya yang berpengaruh. Salah satu contoh kecil adalah bagaimana kelompok PSDP yang bukan hanya mempersoalkan kolusi chaebol, tetapi juga memiliki divisi yang sibuk mengadakan demo perihal remeh-temeh, seperti pembebasan pembayaran uang registrasi handphone (masyarakat Korea Selatan mendapat handphone gratis dari pemerintah) hingga persoalan harga listrik. Begitu kuatnya tekanan LSM terhadap keputusan pemerintah hingga tuntutan persoalan keseharianyang bisa memakan waktu tahunan di tanah air kitacukup makan waktu seminggu dengan mengadakan demonstrasi dan peliputan media. "Hanya dalam waktu beberapa hari, pemerintah menghapus kewajiban membayar registrasi bulanan handphone."
Kini, Korea Selatan tampak siap melangkah ke sebuah fase yang baru: bertemu dengan "saudara kembarnya" setelah terpisah 52 tahun. Rencana ini bukan hanya karena membuat begitu banyak keluarga yang terpisah bisa bersatu, tetapi sebagai sebuah simbol independen Korea yang tidak direcoki oleh intervensi asing. Pemerintah Korea Selatan memperkirakan ada sekitar 7,6 juta penduduk di Selatan yang memiliki keluarga di Utara dan tak bisa berjumpa hanya karena larangan saling menginjak "tanah musuh". Berbeda dengan persatuan Jerman yang dihadapi dengan agak risi dan beban ekonomi (di pihak Jerman Barat), tampaknya rencana persatuan kedua Korea ini akan menjadi gambaran wajah baru Korea Selatan.
Leila S. Chudori (Seoul)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo