Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir seluruh hidupnya, Arafat mengabdikan dirinya untuk kemerdekaan Palestina, hingga ia sempat menyebut perjuangan Palestina adalah istrinya. Ucapannya itu mungkin tak berlebihan, mengingat sejak 1969 nama Mohammed Yasser Abdul-raouf Qudwa Al-Husseinim Arafatsebagai pemimpin Al-Fatah yang menjadi kelompok terbesar dalam Palestine Liberation Organization (PLO)telah dipercaya menjadi Chairman PLO, yang kemudian menggunakan Yordania sebagai basis perlawanan melawan Israel. Dengan berbagai perbedaan dan perselisihan dalam tubuh organisasi itu, adalah Arafat yang kemudian diakui sebagai Ketua PLO yang sah di dunia internasional dan yang dianggap mewakili rakyat Palestina. Pada 1987, gerakan intifadah Palestina meledak. Gerakan melawan dengan lemparan batu ini kemudian menjadi semacam ciri khas perlawanan Palestina hingga 13 September 1993, ketika Arafat akhirnya menandatangani perjanjian damai di AS dengan Perdana Menteri Israelsaat ituYitzhak Rabin. Perjuangan Abu Ammar, demikian panggilannya di antara sahabat dekatnyatentu tak selalu disetujui berbagai pihak, termasuk berbagai kelompok di Indonesia. Ketika tahun itu Arafat akhirnya memilih memasuki jalan perundingan damai dengan Israel, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia, kecewa. Bagi sebagian orang, perjuangan Palestina adalah perjuangan agamasalah satunya karena Masjidil Aqsa, salah satu masjid suci umat Islam, terletak di Yerusalem, yang masih dikuasai Israel. Bagi Arafat, perjuangan Palestina adalah perjuangan kemerdekaan. ''Kami memang muslim, tapi 20 persen penduduk Palestina adalah Kristen," tuturnya kepada TEMPO delapan tahun silam di Jakarta. ''Tanah suci itu bukan hanya untuk muslim, tapi juga untuk Kristen. Dua orang dalam delegasi kami di Washington yang bernegosiasi dengan orang Israel adalah orang Yahudi," ujarnya. Dengan demikian, Arafat menekankan, dia tidak antiorang Yahudi, tetapi menentang Zionisme.
Jalan pikiran Arafat belum tentu disetujui semua orang. Tetapi, suka atau tidak, hingga saat ini dialah yang masih ditunjuk untuk mewakili Palestina, meski nada bicaranya kini penuh getar dan wajahnya mulai ramai oleh kerut tua; sementara regenerasi dalam tubuh organisasinya tak kunjung membentuk sosok muda yang bisa menggantikan perjuangannya kelak.
Setelah terpilih sebagai Presiden Palestinian National Authority (PA) pada awal tahun ini, tampaknya Arafat merasa harus mengejar waktu. Seperti yang diutarakan majalah Time, di usianya yang mendekati senja, Arafat tak akan mungkin meletakkan dirinya dalam sejarah sebagai pemimpin yang dikenang terlalu kompromistis hingga terkesan menjual bangsanya. Karena itu, perundingan Camp David sebulan silam menjadi perundingan yang sungguh sulit bagi Presiden Bill Clinton sebagai penengah Palestina dan Israel. Tanpa kompromi, Arafat menginginkan agar Israel memberikan seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, yang akan dijadikan ibu kota Palestina. Ia juga ingin agar kawasan yang diduduki oleh 175 ribu warga Yahudi harus dikosongkan, serta hak-hak pengungsi Palestina di kawasan Israel diberikan agar bisa kembali ke Palestina.
Pihak Israel tetap menginginkan 5 hingga 10 persen kawasan Tepi Barat karena banyaknya warga Yahudi yang bermukim di sana. Israel juga terbuka untuk membiarkan sekian jumlah pengungsi Palestina untuk kembali.
Beberapa anggota delegasi sesungguhnya bersedia memikirkan kompromi ini, tetapi saat itu Arafat tak mengenal kata kompromi.
Status Yerusalem kemudian menjadi diskusi yang paling pelik dan panas. Yerusalem adalah luka sejarah. Sepanjang abad ini Yerusalem menjadi masalah yang paling sulit bagi warga Islam, Yahudi, dan Kristen, yang sama-sama merasa memiliki sejarah di tanah itu. Arafat menolak skenario pembagian Yerusalem yang ditawarkan Presiden AS Bill Clinton. Adapun Perdana Menteri Israel Ehud Barak menyepakatinya karena secara fisik Israel tetap menguasai kota itu sepenuhnya. Dalam skenario itu, Palestina hanya akan mendapatkan hak kekuasaan di mana Barak menawarkan semacam pemerintahan kota praja di Yerusalem.
Bagi Arafat, yang sudah mengabdikan hidupnya untuk Palestina, kompromi itu adalah sebuah absurditas. Sesuai dengan perjanjian bulan September silam, negara Palestina akan diproklamasikan pada 13 September nanti, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Tak mengherankan jika pasca-Camp David, Arafat kembali rajin berkeliling sowan ke berbagai negara untuk mengumpulkan dukungan.
Kunjungannya ke Indonesiasehari sebelumnya sudah ''didahului" oleh mantan PM Israel Shimon Peresseperti biasa, untuk meminta dukungan pemerintah Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan Palestina, yang dijadwalkan bulan depan. Bersama Menteri Kabinet Al Thayeb Abdul Rahim dan Menteri Negara Hasan Asfour serta Duta Besar Palestina untuk Indonesia Ribhi Awad, Arafat mengadakan pembicaraan dengan Presiden Abdurrahman Wahid tentang penyelesaian Palestina-Israel.
Berbeda dengan berbagai dugaan pengamat serta beberapa media, Arafat tetap menekankan bahwa AS akan menjadi mediator utama dalam perundingan damai Palestina-Israel, sementara Indonesia adalah negara ''yang selalu mendukung Palestina sejak awal perjuangan kami hingga sekarang," katanya dalam sebuah wawancara khusus di kamar 1838, Hotel Borobudur, Jakarta.
Berikut adalah petikan wawancara Leila S. Chudori, Endah Ws., dan Rully Kesuma dari TEMPO dengan Arafat.
Dalam wawancara terakhir dengan TEMPO pada 1992, Anda mengatakan bahwa kita akan bertemu di Yerusalem. Melihat kenyataan sekarang, apakah Anda kecewa bahwa hal itu tidak terjadi?
Itu tetap akan terjadi, sooner or later. Mengapa Yerusalem dianggap sebagai ibu kota Palestina dan tetap akan menjadi ibu kota Palestina? Karena sejarah memulainya demikian. Yerusalem berarti Ur Salem. Ur dalam bahasa Arab berarti Madinah (kota). Jadi, Ur Salem berarti Madinah Salem , atau the city of Salem.
Anda juga harus ingat, nabi besar kita Muhammad sewaktu berangkat ke surga (saat Isra Mi'raj) juga berangkat dari Yerusalem (dari Masjid Aqsa). Dan juga, Yesus Kristus diangkat ke surga juga dari sana. Jadi, untuk kami, Yerusalem adalah kota suci sehingga saat orang-orang Israel mengklaim sebagai miliknya dan berniat mengendalikan Yerusalem, sebenarnya mereka bukan tengah bertentangan dengan saya belaka. Bukan pula bertentangan dengan rakyat Palestina, rakyat Arab, umat muslim di seluruh dunia, umat Kristen di seluruh dunia, tapi mereka bertentangan dengan kita semua. Jadi, tidak seorang pun dapat mengkhianati sejarah. Sikap saya ini sudah saya utarakan saat perundingan Camp David berlangsung. Jelas dan nyata, saya tidak bisa mengkhianati rakyat Palestina, Islam, Kristen, Arab. Sebab itu, saya tidak akan memberikan kedaulatan dari kota suci Yerusalem kepada Israel.
Anda pernah mengatakan, apa pun yang terjadi, Anda akan memproklamasikan kemerdekaan Palestina pada 13 September mendatang. Anda masih pada posisi itu meski perundingan Camp David gagal?
Itu akan bergantung pada keputusan akhir yang akan dikeluarkan Central Council pekan ini dan akan diumumkan awal bulan depan. (Central Council adalah sebuah badan yang memutuskan keputusan penting jika parlemen tak dapat dikumpulkan. Jumlah anggota Central Council 120 orang, sedangkan jumlah anggota parlemen 500 orang. Karena lebih mudah dan pragmatis untuk mengumpulkan anggota Central Council, keputusan yang harus dilakukan segera dan tak memakan ongkos biasa dilakukan badan iniRed.).
Lalu kondisi apa yang akan mendorong Anda sehingga batal atau menunda proklamasi kemerdekaan ini?
No. Saya akan tetap pada pandangan saya. Kita harus tetap memproklamasikannya. Kita sudah menundanya pada Mei 1999, saat para pemimpin dunia meminta saya menundanya hingga penyelenggaraan pemilihan umum Israel. Saya menyampaikan kepada Central Council dan mereka sepakat menerima saran para pemimpin dunia itu. Tanggal 13 September pun bukan tanggal yang saya tetapkan. Tanggal ini disepakati dalam pertemuan antara saya dan PM Ehud Barak, yang menandatangani Perjanjian Sharm El-Sheikh (4 September 1999) di Mesir. Memorandum itu disetujui bukan hanya oleh kami berdua, tetapi juga Presiden Mubarak, Raja Yordania, pemimpin negara Arab, dan Menlu AS Madeleine Albright. Selain itu, kami menerima surat jaminan dari pemerintah AS dan dari Uni Eropa.
Bagaimana seandainya para pemimpin dunia meminta Anda menundanya lagi karena satu-dua alasan?
Marilah saya beri Anda satu gambaran. Di masa lalu, saya mengunjungi Presiden Taboo Mbeki di Afrika Selatan dan mantan presiden Nelson Mandela. Salah seorang wartawan bertanya apakah dia akan mengakui Palestina merdeka. Dia menjawab bahwa mereka sudah mengakui Palestina sejak 1988, dan dia mengakui bahwa adalah Mbeki salah satu dari kepala negara yang menyarankan agar kemerdekaan Palestina diundur hingga usai pemilu Israel. Dan Presiden Mbeki menyatakan bahwa setelah penundaan itu, semua pihak harus segera menyelesaikan proses (yang tertunda) itu secepatnya dan mengenalkan negara Palestina. Itu bukan pernyataan saya, tapi pernyataan Presiden Mbeki. Jangan lupa, dia bukan hanya Presiden Afrika Selatan, tetapi juga Ketua Gerakan Nonblok dan Ketua Negara Pesemakmuran. Juga jangan lupa, perjuangan Palestina ini diakui oleh lebih dari 123 negara di seluruh dunia, yaitu negara Nonblok, Afrika, juga negara Islam, Arab, Rusia, Cina, dan juga Eropa Barat dan Timur.
Yang kami khawatirkan, jika Anda tetap memproklamasikannya pada 13 September, garis keras Israel akan menyerang engan kekerasan hingga sia-sialah upaya perundingan damai yang sudah Anda tempuh bertahun-tahun. Anda sudah siap menghadapi kericuhan yang akan mereka timbulkan?
Saya menyesalkan langkah serius yang mereka lakukan sebelum perundingan Camp David. Kericuhan juga berlangsung selama dan setelah perundingan Camp David. Mereka memaksa, menyerang menggunakan senjata berat di seluruh bagian kota. Mereka harus ingat, kami rakyat Palestina tidak akan takut dan tak akan pernah takut pada mereka. Harap diingat, perjuangan damai kami berlangsung selama tujuh tahun. Dan jauh sebelum itu perjuangan terpanjang kami sudah berjalan selama 35 tahun.
Jadi, Anda siap melakukan perlawanan senjata? Atau cukup rakyat melawan dengan intifadah?
Yakinlah, jika mereka tetap berusaha menyerang kami, rakyat kami sudah memiliki keyakinan penuh untuk melawan setiap serangan.
Bagaimana dengan peran AS, mengingat lobi Yahudi AS sangat kuat?
Saya sudah membicarakan masalah ini dengan Presiden Clinton, dan saya menulis surat kepadanya agar ia tidak melupakan langkah-langkah besar untuk mencapai perdamaian yang telah ditempuh sedari awal. Juga, jangan melupakan apa yang tertulis dalam surat perjanjian, dan tidak ragu dalam menolong kami. Tapi saya yakin dengan apa yang mereka siapkan untuk kami di masa mendatang. Saya juga yakin dengan dukungan Uni Eropa, juga dari negara-negara OKI, negara-negara Arab, serta anggota Gerakan Nonblok.
Bagaimana Anda melihat peluang dari AS untuk 13 September nanti setelah gagalnya pertemuan Camp David?
Tidak, Camp David bukan sebuah kegagalan. Saya sudah mengemukakan hal itu sejak seusai pertemuan itu. Sehari sebelum saya berangkat dari Palestina, saya menerima pesan dari Presiden Clinton, yang menjawab surat saya kepadanya. Isinya, seusai Konvensi Partai Demokratik, dia akan menyelesaikan upayanya dalam ikut mendorong proses perdamaian.
Jadi, Anda tetap menginginkan AS sebagai mediator utama?
Ya, dia tetap mediator utama. Dan pada saat saya berkunjung ke Rusia, Presiden Vladimir Putin mengatakan sebagai mediator keduanya.
Saat saya mengunjungi Prancis, Presiden Jacques Chiraq, yang juga selaku Ketua Uni Eropa, mengatakan saat ini mereka siap menindaklanjuti proses perdamaian. Demikian pula jawaban Cina. Dan juga dukungan dari negara- negara Islam. Hampir semua orang ikut mendorong proses penyelesaian damai Palestina.
Jadi, posisi Indonesia dalam kunjungan Anda kemari hanya sebatas dukungan?
Dukungan yang sangat kuat. Kami sangat berterima kasih pada masyarakat Indonesia dan kepercayaan pemerintah. Pembicaraan saya dengan Presiden Abdurrahman, Wakil Presiden Megawati, Menteri Pertambangan dan Energi Yudhoyono, serta Menlu Alwi Shihab, berakhir dengan sukses.
Sehari sebelum Anda tiba di sini, mantan PM Israel Shimon Peres juga berkunjung ke sini. Tanggapan Anda?
Kami bertemu dua hari lalu di Oslo (dengan nada semangat). Dan saat saya di bandara, karena saya harus ada pembicaraan dengan kabinet saya, maka saya tak bisa berbincang dengannya di sana. Tetapi sesudah itu, kami berbicara di telepon dan kami membicarakan beberapa hal penting. Anda harus ingat, dia adalah mitra saya dalam proses penyelesaian damai ini. Dia adalah salah satu pemimpin Israel yang mendukung usaha damai dengan Palestina. Dan jangan lupa, peran mitra saya yang lain, Yitzhak Rabin, yang menghabiskan hidupnya untuk rakyat Palestina.
Jadi, memang banyak pemimpin Israel yang sebenarnya mendukung usaha damai Palestina. Bagaimana pendapat Anda tentang kepemimpinan Ehud Barak?
Begini. Dia terpilih dan menang atas (Benjamin) Netanyahu. Dan selama ini kita tahu, Netanyahu selalu menghalangi proses damai Palestina. Ini berarti mayoritas rakyat Israel menginginkan proses damai. Semua orang harus memahami itu, termasuk Ehud Barak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo