Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizal Mallarangeng *)
*) Pengajar di jurusan ilmu politik, The Ohio State University, AS
PROFESOR William Liddle menolak sistem pemilihan presiden secara langsung, setidaknya untuk beberapa periode pemilu. Saya tidak sepakat dengannya, tapi saya sadar bahwa argumen-argumen dia cukup kuat dan sangat menarik. Untuk mengkritik guru besar ilmu politik kenamaan ini dengan baik, saya ingin mulai dengan menjelaskan apa yang saya sebut sebagai Hukum Liddle, Liddle's Law. Hukum ini berangkat dari sebuah teori yang diawali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, pada tahun 1950-an. Menurut Duverger, dalam karya klasiknya yang terbit tahun 1954, Political Parties, jika pemilihan langsung diadakan dan sistem pemilu diselenggarakan dengan metode mayoritas sederhana, yang akan tercipta dalam jangka panjang adalah sistem politik yang hanya akan memunculkan dua partai yang dominan. Beberapa partai kecil mungkin tetap hadir dalam sistem ini, tapi kompetisi kekuatan hanya akan terjadi di antara dua partai besar. Logikanya jelas. Dalam pemilu, setiap partai ingin menang, tapi kursi presiden atau perdana menteri hanya satu. Tidak ada partai atau kandidat yang ingin membuang banyak waktu dan biaya yang begitu besar untuk ikut pemilu jika dia tahu bahwa pada akhirnya dia akan kalah. Karena itu, partai kecil akan bergabung dengan partai lainnya yang memiliki kedekatan aspirasi, betapapun kecilnya. Penggabungan ini akan berjalan sedemikian rupa sehingga pada ujungnya yang bertarung hanyalah dua partai atau kubu besar. Teori ini kelihatannya sederhana, tetapi dalam pembuktian empiris sulit ditolak. Dengan beberapa pengecualian, semua negeri yang memakai pola pemilihan langsung dengan metode mayoritas sederhana memang hanya dikuasai oleh dua partai besar. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Di kedua negeri ini memang ada partai-partai kecil, tetapi peranannya tidak pernah penting. Dinamika politik di Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh kompetisi antara Partai Republik dan Partai Demokrat, sementara di Inggris antara Partai Konservatif dan Partai Buruh. Karena ketepatannya dalam menjelaskan realitas, banyak kalangan yang berkata bahwa teori ini adalah satu-satunya teori dalam ilmu sosial yang bersifat pasti, sebagaimana teori keunggulan komparatifnya David Ricardo dalam ilmu ekonomi. Duverger sendiri berkata bahwa teorinya itu sudah mendekati a true sociological law. Teori seperti itulah yang diadaptasi Liddle untuk membaca dan meramalkan dinamika politik kita. Pertanyaan besar yang ada di benaknya adalah, jika dua kubu besar terbentuk di Indonesia, apa garis politik dan basis ideologi yang memisahkan kedua kubu ini. Sumber-sumber mobilisasi apa yang akan digunakan partai politik dalam merebut dukungan bagi kandidatnya? Di Amerika Serikat dan Inggris garis pemisah itu berdasarkan perbedaan program dan ideologi modern. Apakah hal yang sama juga akan terjadi di Indonesia? Ternyata tidak. Setelah meneliti perilaku pemilih dalam Pemilu 1999 dengan cermat (bersama muridnya, Saiful Mujani, dan sejumlah peneliti UI, antara lain Eep Saifulloh Fatah, yang kini juga menjadi muridnya), Liddle menyimpulkan bahwa perilaku pemilih sekarang belum banyak berbeda dengan perilaku pemilih pada 1955, sewaktu pemilu pertama diadakan. Empat puluh lima tahun silam, seperti yang dikatakan Clifford Geertz, basis pertarungan antarpartai mengikuti garis primordial. Rakyat memilih tidak berdasarkan persetujuan mereka terhadap program partai secara rasional, tetapi lebih berdasarkan pada loyalitas dan identitas agama, daerah, dan suku. Sekarang, peran suku dan daerah mungkin agak berubah, tetapi peran agama tetap. Dulu dan sekarang, agama dan identitas keagamaan tetap menjadi basis mobilisasi politik dan legitimasi kekuasaan. Sebenarnya, sebagai seseorang yang menginginkan Indonesia menjadi demokratis, modern, dan makmur sekaligus, Liddle tidak menginginkan hal itu terjadi. Agama ia harapkan hanya berada di arena politik secara tidak langsung. Tapi dia seorang ilmuwan, dan karena itu ia harus mengatakan apa yang sesungguhnya akan terjadi, bukan apa yang seharusnya atau apa yang dia inginkan terjadi. Karena itulah Liddle kemudian menyimpulkan bahwa kalau pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung saat ini diselenggarakan, akan tercipta koalisi besar kaum Islam di satu pihak, dan kaum sekuler-nasionalis dan kaum non-Islam di pihak lain. Hanya dua kubu inilah yang akan mendominasi peta politik Indonesia. Kesimpulan seperti inilah yang saya sebut sebagai Hukum Liddle. Lalu apa implikasi dari hukum seperti itu? Buat Liddle, soalnya jelas: jika dua kubu besar berdasarkan garis primordial mendominasi arena politik, yang akan terjadi di masa depan adalah rangkaian kerusuhan yang dimotori oleh kaum fanatik. Pemilu akan menjadi arena pertarungan prasangka, bukan dialog untuk membela program politik yang rasional. Dan kalau sudah begitu, demokrasi Indonesia pasti akan terancam. Liddle karenanya mengusulkan bahwa sistem pemilihan seperti yang sudah kita lakukan selama ini (MPR memilih presiden) dipertahankan dulu untuk beberapa periode pemilu. Apa yang bisa dikatakan tentang analisis Liddle itu? Buat saya, pada tingkat tertentu ia sulit ditolak. Bukti empirisnya memang belum ada, karena kita belum pernah melakukan pemilihan presiden secara langsung. Namun, kita bisa mengambil sebuah model yang cukup tepat untuk "mengujinya". Sewaktu Gus Dur terpilih sebagai presiden sepuluh bulan lalu, ia dipilih secara langsung oleh sekian ratus anggota MPR. Sekarang, anggaplah semua anggota MPR ini adalah keseluruhan penduduk Indonesia. Di sini kita bisa melihat ada banyak partai plus golongan di lembaga tertinggi ini. Tapi, dalam proses pemilihan presiden, ada berapa kubu besar yang tercipta? Ada berapa kandidat yang pada akhirnya bersaing ketat? Apa garis perbedaannya? Ternyata, hanya ada dua kubu dan dua kandidat dominan (Megawati dan Gus Dur), dan garis pemisahnya persis seperti yang diramalkan oleh Hukum Liddle itu. Jadi, hukum ini benar dan posisinya dapat diangkat menjadi sebuah teori yang bisa memperkaya khazahan studi Indonesia. Namun, pertanyaan kita kemudian, kalau Hukum Liddle itu memang sulit ditolak kebenarannya, apakah implikasinya demikian pula. Seperti yang sudah saya singgung tadi, Liddle menolak sistem pemilihan langsung berdasarkan implikasi hukum itu, bukan substansi hukum itu sendiri. Apakah implikasi dualisme kecenderungan berdasarkan garis agama di negeri kita harus berujung pada pertarungan kaum fanatik dan hilangnya moderasi dan basis-basis kompromi? Apakah proses pemilu hanya akan dikuasai oleh kaum fundamentalis di kedua kubu, dan kaum moderat akan bersembunyi di sudut-sudut sejarah? Jawaban saya, tidak. Liddle hanya bisa benar jika distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita mengikuti sebuah kurva yang disebut oleh Anthony Downs, dalam bukunya yang terkenal, Economic Theory of Democracy (1957), sebagai kurva lonceng terbalik. Dalam kurva semacam ini, kaum pemilih yang berada di tengah, yaitu kaum moderat dari kedua kubu, berjumlah sangat kecil. Semakin garis kurva ini bergerak ke titik di ekstrem kiri atau kanan, semakin besar jumlah pemilih yang dicakupnya, mengikuti garis kurva yang menaik. Kurva ini mengimplikasikan bahwa setiap politisi atau kandidat dari kedua kubu hanya bisa menang dalam pemilu jika mereka bergerak menjauhi kaum moderat. Mereka harus bergerak ke titik ekstrem di kubunya masing-masing, kerena di sanalah terdapat jumlah pemilih terbesar. Politicians go where the voters are. Hal inilah yang membuat Liddle khawatir bahwa proses pemilu hanya didominasi oleh pertarungan prasangka-prasangka kaum fanatik. Buat saya, kekeliruan Liddle terletak di sini: ia menerima begitu saja bahwa kurva semacam itulah yang menggambarkan distribusi ideologi dan komposisi aspirasi dalam masyarakat kita. Kalau Indonesia hanya Maluku dan Poso, mungkin Liddle benar. Namun, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, kurva yang lebih tepat untuk digunakan adalah kurva lonceng normal. Dengan kata lain, asumsi yang digunakan Liddle sebenarnya terbalik. Dalam kurva lonceng normal, kaum ekstrem di kedua belah pihak memang ada, tapi jumlahnya relatif kecil. Kaum ekstrem semacam ini adalah, di satu pihak, mereka yang menginginkan negara Islam dan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan publik secara hitam-putih, seperti di Afghanistan di bawah kaum Taliban atau Iran di bawah Khomeini, tanpa peduli akan risiko sosial, politik, dan ekonomi yang akan mengiringinya, dan di pihak lain adalah kaum sekuler-nasionalis yang, seperti pengikut Kemal Attaturk di Turki pada awal abad ke-20, betul-betul anti-Islam dan menganggap setiap hal yang berbau Islam dan Arab pasti jelek, terbelakang, serta berbahaya. Jumlah pemilih terbesar berada di ruang tengah, menjauhi kedua titik ekstrem tersebut. Mereka, misalnya, adalah kaum Islam yang memilih PDI, tanpa peduli dengan isu-isu religius, atau pendukung Golkar yang Islam dan Kristen, atau sebagian pendukung PAN dan PKB yang memang menginginkan ekspresi keislaman yang lebih kental dalam arena publik, tetapi lebih banyak bersifat simbolik ketimbang bersifat legal-formal. Mereka inilah yang tersebar di ruang tengah di kedua kubu. Kalau saya benar, kita sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir untuk memilih presiden secara langsung. Malah, ia mungkin akan memperkuat demokrasi kita. Mengikuti implikasi yang ada pada kurva lonceng normal itu, setiap politisi dan kandidat partai yang ingin merebut kursi kepresidenan harus merebut ruang tengah, tempat sebagian besar pemilih berada. Politisi yang menjauhi mereka dan bergerak ke titik ekstrem hanya akan merugikan dirinya sendiri, persis seperti yang terjadi dalam setiap pemilihan presiden di Amerika Serikat. Politisi ekstrem akan mendapat tepuk tangan dari kaum fanatik, tetapi bukan kursi kekuasaan. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |