PABRIK tekstil bisa merepotkan banyak orang bukan hanya karena limbahnya, tapi juga debunya. Debu itu membawa penyakit yang diberi nama bisinosis, dengan gejala utamanya: sesak napas. Sejak tahun 1980, Dr. Karnen Garna Baratawidjaja, seorang ahli alergi imunologi dari Bagian Penyakit Dalam FK UI/RSCM, mengadakan penelitian mendalam terhadap sejumlah besar buruh tekstil. "Kita perlu tahu berapa besar angka bisinosis pada pekerja pabrik tekstil kita," kata Karnen. "Apalagi tekstil jadi salah satu-komoditi ekspor nonmigas yang amat penting." Sejauh ini memang belum ada penelitian semacam itu. Sementara itu, di Inggris -- yang industri tekstilnya sudah ratusan tahun -- jumlah penderitanya sempat mencapai 70 persen. Untuk penelitian, selama beberapa tahun Karnen keluar masuk 21 pabrik pemintalan dan pertenunan di Jakarta dan sekitarnya. Lelaki yang dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat 59 tahun lalu itu, meneliti saluran napas 1.625 pekerja tekstil, kemudian menuliskannya dalam disertasi doktor dengan judul Bisinosis dan Hubungannya dengan Obstruksi Akut. Bisinosis sendiri adalah gejala berupa rasa tertekan di dada ataupun sesak napas yang muncul empat sampai enam jam sesudah mulai bekerja hari Senin. Itulah sebabnya di luar negeri bisinosis sering disebut sebagai Monday fever atau Monday morning asthma. Selama ini, keluhan yang disebabkan debu kapas itu dihubungkan dengan sumbatan (obstruksi) saluran napas akut. "Dugaan bahwa obstruksi akut saluran napas adalah gejala bisinosis didukung oleh adanya sakit dada, sesak, dan batuk," kata Karnen pada promosi gelar doktornya di FK UI, Senin pekan lalu. Tapi berbekal hasil penelitiannya, Karnen membantah dugaan itu Obstruksi akut hanya ditemukan pada 1,67 hingga 2,8% karyawan, sementara bisinosis ditemukan pada 30% karyawan pemintalan dan pada 19,25% karyawan pertenunan. "Terbukti bahwa bisinosis tidak ada hubungannya dengan obstruksi saluran napas akut," kata Karnen pada TEMPO. Nah, obstruksi akut itu ternyata "cuma" bentuk penyakit asma yang mengganggu karyawan yang memang rentan terhadap serangan asma. "Ini bisa diketahui sesudah kita lakukan tes kulit dan pemeriksaan faal paru dengan spirometer," ujar Karnen lagi. Bertolak dari sini, Karnen menyarankan agar para ahli mengubah kriteria bisinosis yang selama ini digunakan. "Kriteria bisinosis yang baru hendaknya bisa menunjukkan hubungan yang jelas dengan faal paru," katanya menjelaskan. Yang juga penting, semua pemintalan dan sebagian pertenunan yang diteliti Karnen mengandung kadar debu di atas ambang yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia WHO. Di pemintalan, kadar itu jauh lebih tinggi ketimbang di pertenunan. Itulah sebabnya, risiko bisinosis karyawan pemintalan hampir 22 kali lebih besar ketimbang karyawan tata usaha, yang tak pernah menghirup debu kapas. Sementara itu, pada karyawan pertenunan, risikonya 13,8 kali lebih besar ketimbang karyawan tata usaha. Risiko terjadinya obstruksi akut pekerja pemintalan tercatat 10 kali lebih besar dari pekerja pertenunan. Ini cukup merepotkan. "Kalau karyawan tidak segera disingkirkan dari lingkungan kerja yang berdebu, obstruksi akut yang mulanya reversible (bisa pulih) akan jadi menetap dan semakin kronis, kendati penderita tidak bekerja lagi di situ," kata Karnen dengan tandas. Kronisnya obstruksi saluran napas juga berhubungan erat dengan rokok. Dari penelitiannya, Karnen mengetahui bahwa merokok tidak berhubungan dengan obstruksi saluran napas akut. "Tapi rokok jelas berkaitan erat dengan obstruksi saluran napas kronis," ujar Karnen. Dan ia menyimpulkan, karyawan perokok ternyata punya risiko 1,5 sampai 2,3 kali lebih besar untuk terserang bisinosis daripada yang tidak merokok.SB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini