Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Milisi Rohingya menegaskan bahwa tidak punya pilihan selain melawan Myanmar, menyusul pernyataan tanggung jawab mereka atas serangan yang melukai sedikitnya tiga tentara di Negara Bagian Rakhine pada Jumat lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataan yang diunggah ke akun Twitter pada Ahad lalu, Atta Ullah, komandan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA) mengatakan bahwa serangan di Kota Maungdaw itu merupakan jawaban atas upaya Myanmar mengusir warga Muslim Rohingya dari negara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"ARSA tak punya pilihan lain selain bertempur melawan terorisme yang disponsori negara Myanmar terhadap penduduk Rohingya demi maksud membela, menyelamatkan dan melindungi komunitas Rohingya,” kicau Ata Ullah.
Baca juga:
Dia juga mendesak dunia internasional untuk mengajak konsultasi warga Rohingya dalam semua pembuatan keputusan yang memengaruhi kebutuhan kemanusiaan dan masa depan politik mereka.
ARSA pun menolak pengaitan kelompoknya dengan grup-grup militan Islamis dan menyatakan bertempur untuk mengakhiri operasi terhadap orang-orang Rohingya.
Richard Horsey, analis independen di Yangon kepada The New York Times menyebut serangan dari ARSA selalu mendapat tanggapan massif dari tentara Myanmar.
“Belum diketahui apakah ARSA mampu melakukan pemberontakan dalam jangka panjang. Tetapi sekecil apa pun aksi mereka, memiliki dampak politik besar di dalam Myanmar,” ujar Horsey.
U Zaw Htay, mantan pejabat militer yang kini menjadi juru bicara pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, menuding serangan pada Jumat lalu untuk menghancurkan upaya repatriasi warga Rohingya berdasar perjanjian antara Myanmar dan Bangladesh.
“Kami akan memulai proses repatriasi pada 23 Januari,” ujar dia seperti dikutip The New York Times.“Tindakan ARSA adalah untuk memperlambat proses ini.”
Sebelumnya, Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing melalui akun Facebook menyebut serangan pada Jumat pekan lalu itu melukai dua tentara dan seorang sopir. Adapun 10 milisi ARSA dilaporkan terlibat dalam serangan.
Kelompok yang dikenal warga lokal dengan nama Harakah al-Yaqin, sejatinya adalah kelompok kecil dengan persenjataan minim. Namun mereka berhasil melancarkan sejumlah serangan mematikan terhadap tentara Myanmar, termasuk pada 25 Agustus lalu.
Baca juga:
Akibat serangan itu, Myanmar melancarkan operasi kontra-milisi di Rakhine yang mayoritas dihuni Muslim. Operasi militer ini menyebabkan kekerasan dan pembakaran meluas sehingga memaksa sekitar 650.000 warga, mayoritas Rohingya, mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk kampanye militer Myanmar itu, menyebutnya sebagai pembersihan etnis. Myanmar yang mayoritas penduduknya penganut Buddha membantahnya. Organisasi internasional Dokter Lintas Baas memprediksi sedikitnya 6.700 warga Rohingya, termasuk 730 anak-anak, tewas dalam operasi militer Myanmar.
Myanmar tidak memberikan hak kewarganegaraan, kebebasan bergerak, akses ke layanan-layanan seperti perawatan kesehatan kepada warga minoritas Rohingya. Myanmar menganggap mereka imigran ilegal dari Bangladesh, meski telah tinggal di Rakhine selama beberapa dekade.