Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mimpi Paria Eropa

Meski berprestasi untuk ukuran negara berkembang, Turki tak dengan gampang bergabung ke Uni Eropa. Fobia Islam menjadi satu penghalang utama.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Mimpi Paria Eropa
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SAMBIL menyeruput anggur merah di teras penginapan kawasan berbukit nun di atas Wina, Helmut menunjuk ke gereja Polandia di seberangnya. Pekerja sosial di ibu kota Austria itu berbicara tentang sepenggal epos sejarah 1683. Pada 321 tahun silam, di bukit sebelah timur laut Wina itu, Raja Polandia John III menghimpun angkatan perang Katolik Roma untuk menyudahi 61 hari pengepungan Wina oleh Ottoman. Itulah, menurut Helmut, yang menyelamatkan jantung Eropa dari invasi Turki.

"Saya mengenal seorang lelaki Turki. Dia punya dua istri yang sering dipukulinya," Helmut meneruskan. Gerhard, pemilik penginapan yang menjamu tamunya itu dengan anggur, menimpali, "Ini Eropa dan kita terancam kehilangan identitas karena kehadiran orang Turki dan Afrika." Helmut dan Gerhard—keduanya enggan menyebutkan nama belakangnya—termasuk dalam dua pertiga warga Austria penentang masuknya Turki ke Uni Eropa (UE).

Obrolan model Helmut-Gerhard lagi menghangat di Eropa. Maklum, pada 6 Oktober ini, markas UE di Brussel akan menerbitkan "rapor prestasi" Turki. Rapor itu disertai rekomendasi ke Komisi Eropa. Pada Desember 2004, komisi ini akan memutuskan jadi-tidaknya mereka merundingkan keanggotaan Turki di UE. Sialnya, setumpuk citra negatif telanjur mengendap di alam bawah sadar Eropa tentang negeri itu: dari soal kemiskinan, status negara muslim, sampai citra Ottoman selaku penyerbu.

Ribut-ribut di dalam negeri soal reformasi hukum pidana yang tengah berlangsung di Turki menambah amunisi baru bagi para penentang Turki di Uni Eropa. Ceritanya, Partai Islamis Keadilan dan Pembangunan—biasa disingkat AK—berniat menghidupkan kembali undang-undang pelarangan zina yang dihapus Mahkamah Agung pada 1996. Inisiatif untuk mengawal moral masyarakat ini digulirkan sepaket dengan beberapa undang-undang lain dalam perombakan kitab hukum pidana yang sudah berumur 78 tahun.

Reformasi untuk mengejar "standar Eropa" itu antara lain mencakup hukuman lebih berat pelaku penyiksaan, termasuk di markas polisi dan penjara. Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan penyelundupan manusia menjadi kosakata baru di kitab hukum pidana Turki. Reformasi juga melarang apa yang dalam tradisi Turki disebut "pembunuhan kehormatan" perempuan yang terlibat zina atau korban pemerkosaan.

Paket itu melengkapi sederet prestasi Turki, yang sejak empat dasawarsa lalu bermimpi masuk klub Uni Eropa. Dalam dua tahun terakhir, Turki mencapai hasil paling dramatis untuk ukuran negara berkembang. Deregulasi ekonomi menghasilkan pertumbuhan 8,2 persen tahun ini. Di bidang politik, pengaruh militer di pemerintahan dipreteli. Turki juga memulihkan hak-hak substansial minoritas Kurdi, yang selama ini tertindas.

Apa lacur, pemidanaan zina mengacaukan semua sinyal reformasi yang tertangkap di Brussel. Para petinggi Eropa menganggapnya sebagai isyarat kebangkitan fundamentalisme Islam. Komisaris Perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, mengancam akan menjegal penerimaan Turki di Eropa. Di dalam negeri, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan menghadapi amarah oposisi, kelompok advokasi perempuan, dan berbagai kelompok hak asasi manusia yang sudah gatal ingin negeri mereka menjadi bagian dari Eropa.

Alhasil, pelarangan zina tanggal dari agenda reformasi hukum pidana Turki. Tapi persoalan belum usai. Selain arus penyokong kriminalisasi zina kuat (80 persen dari populasi), Erdogan merasa petinggi Eropa terlalu mencampuri urusan dalam negeri Turki. Maka Erdogan bersama AK, yang berkuasa sejak 2002, menangguhkan seluruh paket reformasi hukum pidana dari agenda parlemen.

Hasilnya harus ditunggu sampai reses parlemen usai, 1 Oktober nanti. Partai Rakyat Republiken (CHP), oposisi terbesar pimpinan bekas Menteri Luar Negeri Deniz Baykal, menguasai tak sampai sepertiga (171) dari 550 kursi di parlemen. Jumlah itu memang cukup untuk meminta sidang istimewa. Tapi Deniz butuh dukungan AK untuk mengagendakan reformasi kitab hukum pidana yang sedang "istirahat". Maka jalan ke Eropa pun tersendat.

Yanto Musthofa (Guardian/Washington Post/NY Times/BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus