Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu Jejak Bom Kuningan

Polisi berusaha menguak jaringan bom Kuningan dari pengakuan seorang sopir, ayah empat anak yang sopan.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Satu Jejak Bom Kuningan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kampung Cisuren tenggelam dipeluk malam. Kesenyapan merangkak pelan-pelan, juga di desa-desa lain di sekitar perkebunan teh Pasir Nangka, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat. Warga berkemul selimut, lelap usai digedor aktivitas harian. Di luar, udara dingin dan titik-titik embun jatuh satu-satu. Jarum jam di dinding rumah Ibu Umi, 72 tahun, menunjuk angka 22:30. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar jerit burung malam.

Mendadak, bergaris-garis cahaya menelusupi sela pepohonan. Disusul deru kendaraan roda empat yang kian jelas. Mendecit, menggeram di halaman rumah ibu tua tadi. Terdengar langkah-langkah kaki bersepatu berderap, pintu mobil dibanting nyaring, dan ketukan keras di pintu. Buyar sudah lelap tidur Ibu Umi. Tangis Ruwaida, cucu Ibu Umi yang baru satu tahun, memecah hening malam. Seisi kampung jadi kehilangan rasa kantuknya.

Kamis malam dua minggu lalu itu, sebuah rumah di kampung terpencil Cianjur tadi kedatangan tamu yang jarang: rombongan dengan lima mobil sekaligus. Menjelang tengah malam, mobil-mobil ini menurunkan isinya: para petugas kepolisian dari Detasemen Antiteror 88 bersama petugas kepolisian setempat.

Ibu Umi gugup, warga kalut. Apalagi petugas kemudian meminta tujuh orang yang namanya disebut, termasuk Ibu Umi, supaya masuk ke mobil. Tanpa banyak cing-cong, warga patuh dan malam itu pula mobil meluncur menempuh jarak ratusan kilometer menuju Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta.

Adalah Agus Ahmad Hidayat, 31 tahun, yang membuat Ibu Umi dan enam kerabat desanya digelandang polisi. Agus ditangkap polisi beberapa hari usai bom melantak halaman depan gedung Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Bom itu menewaskan sembilan orang dan mencederai fisik, juga mental, lebih dari 150 orang lainnya. Saat diperiksa polisi, Agus menyebut-nyebut nama Kampung Cisuren. Ia mengaku pernah membawa dua buruan utama Mabes Polri, Dr. Azahari dan Noordin M. Top, ke rumahnya di kampung ini. Rumah itu berjajar dengan rumah Ibu Umi—yang tak lain adalah ibu mertua Agus.

Ke rumah ini pula, menurut Agus kepada polisi, ia pernah membawa bahan-bahan pembuat bom: TNT, potasium klorat, sulfur, dan bubuk aluminium. Akibat pengakuan Agus, tujuh warga Cisuren tadi diboyong ke Jakarta untuk ditanya polisi. Usai pemeriksaan, menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung, polisi semakin yakin Agus adalah salah satu tersangka bom Kuningan.

Agus bukan warga asli Cisuren. Dia berasal dari Kampung Cijujung, Desa Kademangan, Kecamatan Mande, Cianjur—sebuah wilayah yang berbatasan dengan waduk Jatiluhur di Purwakarta. Sejak delapan tahun lalu Agus menikahi anak Ibu Umi, Nur Asiah, 32 tahun, dan keduanya menetap di Cisuren. Pernikahan keduanya membuahkan empat anak, termasuk si bungsu Ruwaida yang usianya baru setahun.

Warga sekitar tak banyak yang mengenal dekat sosok Agus. Soalnya, Agus tak menetap di Cisuren. Pekerjaannya sebagai sopir di perusahaan ekspedisi CV Sajira Media Karsa membuat Agus jarang berada di kampungnya. Pekerjaan itu mengharuskan Agus tinggal di Jakarta dan, dengan pertimbangan ekonomi, meninggalkan anak istrinya di Cianjur. Dua minggu sekali barulah Agus pulang ke rumah ibu mertuanya di Cisuren.

Di rumah ibu mertua inilah, kabarnya, bahan peledak bom yang telah memporandakan Kuningan itu pernah disimpan. Persisnya di kamar belakang bagian rumah. Asep Hilman, kakak ipar Agus, mengaku pernah melihat bungkusan besar itu. "Tapi tak ada yang tahu apa isinya, barangkali buku-buku atau barang yang harus dikirim Agus," ujar Asep. Suatu malam, menurut Asep, ada dua orang yang datang bersama Agus. Belakangan, ketika gambar Azahari dan Noordin disebar ke mana-mana, Asep mengaku ada kemiripan wajah antara keduanya dan tamu adik iparnya malam itu.

Keesokan harinya, usai menginap semalam, dua tamu dan bungkusan itu pun berlalu bersama Agus yang mengendarai mobil bak terbuka. Di Jakarta, Agus sendirian mengontrak rumah di daerah Cakung, Jakarta Timur, sejak Agustus lalu. Empat hari sebelum bom meledak, Agus membawa istrinya ke rumah kontrakannya itu. Selain Agus, ada sembilan karyawan CV Sajira yang juga mengontrak di tempat ini. Semua karyawan ini ikut diangkut polisi saat Agus diciduk.

Dalam pemeriksaan polisi, Agus sempat mengaku bernama Heri—aktor terakhir yang diduga pembeli mobil boks putih (yang meledak di Kuningan) di ruang pamer Wisma Ratu, Bekasi. Hanya, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar meragukannya. "Walaupun mirip, ada bentuk wajah yang berbeda antara Agus dan Heri," kata Da'i. Wajah Heri diperoleh lewat sketsa yang dibuat polisi atas dasar keterangan penjual mobil di show room.

Cerita Agus, jika semua keterangan polisi dan sumber Tempo ini benar, mulai menguak misteri kelompok Azahari, dia yang dituding "otak" bom Kuningan. Heri dan Agus tak lain adalah murid hasil rekrutmen Rois, tangan kanan Noordin. Selain dirinya, Agus menyebut nama empat orang yang juga direkrut—yakni Irun, Igun, Ibnu, dan Izal. Dua yang pertama, menurut Agus, sudah punya brevet sebagai pengebom dan dua lainnya sedang bersiap guna mendapat brevet serupa. Tak hanya menyebut nama, Agus juga memberi polisi daftar alamat, termasuk tempat kelompok ini berlatih di suatu lokasi di Sukabumi, Jawa Barat. Maka, Kamis minggu lalu, polisi berhasil membekap Irun. Dari pemeriksaan, Komjen Polisi Suyitno menyebut bahwa Irun bersama Rois dan Noordin berperan sebagai perekrut anggota baru. Irun sendiri mengaku berhasil merekrut lebih dari sepuluh orang baru dalam jaringan mereka.

Dari pemeriksaan, polisi yakin memiliki bukti kuat peran dan keikutsertaan Irun dalam peledakan bom Kuningan. "Irun ikut membantu membawa bahan peledak dari Cengkareng ke Jawa Barat," kata Suyitno. Selain itu, menurut Suyitno, Irunlah yang menitipkan surat milik Igun yang diberikan lewat tangan Rois. Isi surat ini adalah kesiapan Igun untuk mati berjihad, sekaligus mohon doa restu atas segala aktivitasnya dan permohonan agar semua utangnya dilunasi. Berdasar surat siap mati ini, polisi sedang mencocokkan DNA yang ditemukan di lokasi kejadian dengan keluarga Igun.

Dengan ditangkapnya Irun, total tersangka bom Kuningan menjadi lima orang. Sebelumnya, UB, IS, dan DN terlebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Tiga orang ini sudah lebih dulu ditangkap karena kasus bom Marriott. Dari pemeriksaan, ketiganya diidentifikasi mengetahui rencana bom Kuningan, juga tahu tempat penyimpanan bahan peledaknya. Nama Agus, menurut sumber di kepolisian, pertama kali muncul dari ketiga orang ini.

Kini polisi bergerak dengan menyusuri keterangan demi keterangan mereka yang tertangkap. Tim Kobra, sejak Sabtu dua minggu lalu, bergerak menyisiri wilayah timur Jakarta menuju Cikampek dan Purwakarta. Di Cikampek inilah Irun dibekuk. Sedangkan tim lainnya menelisik lokasi pelatihan di Sukabumi. "Mereka sedang menunggu waktu untuk menangkap yang besar," ujar sumber Tempo di kepolisian.

Ya, polisi menunggu, begitu pula Ruwaida. Bayi setahun itu menanti ibunya pulang dengan isak dan tangis yang kerap memecah sunyi muram rumah Ibu Umi. "Kasihan Ida, tiap hari nangis memanggil-manggil ibunya," tutur Asep. Sedangkan sang nenek, yang selama ini jadi sasaran gelendotan kemanjaan Ruwaida, lebih banyak meringkuk di dipan. Di salah satu bilik kamar rumahnya, sosok ringkih Ibu Umi tergolek lemah.

Usai diinterogasi polisi, menurut Asep, ibunya langsung syok . Di usia senjanya itu, Ibu Umi masih harus menghadapi proses pemeriksaan yang melelahkan. Lebih pahit, ia harus menerima kenyataan: anak dan menantunya dikaitkan dengan teror bom. Ibu Umi, seperti juga keluarga yang lain, tidak pernah bisa membayangkan bahwa di balik sosok Agus yang sopan dan menyayangi empat anaknya itu terdapat "sosok lain"—sosok yang mungkin punya andil meledakkan Kuningan.

Agus Hidayat, Yophiandi, Martha Warta (Jakarta), Deden Abdul Azis (Sukanagara, Cianjur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus