Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mundur runyam, maju pun benjol

Para mahasiswa pengunjuk rasa sebagian besar dari universitas rakyat & putra-putra pejabat. kendati diancam tindak kekerasan, mereka enggan meninggalkan tiananmen, beijing. deng xiaoping dkk diminta mundur.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI minggu ketujuh, mahasiswa yang menduduki Lapangan Tiananmen di pusat Ibu Kota Beijing, tampaknya, belum akan menyerah meski intimidasi terus berlangsung dari pihak pemerintah. Kamis pekan lalu, misalnya, PM Li Peng, yang sebelumnya diduga keras mengundurkan diri, mendadak muncul di layar TV. Katanya, "Pemerintah masih kuat dan sanggup mengendalikan situasi." Maka, acara dansa-dansi yang digelar para demonstran di Lapangan Tiananmen tak berlanjut. Sementara itu, para ahli kesehatan mengatakan bahwa kondisi di Tiananmen makin tak sehat. Para demonstran yang berhari-hari "berumah" di lapangan itu menjadikan salah satu tempat yang jadi sasaran turis tersebut kotor. Tapi selama angin tetap bertiup dingin masih diharapkan kesehatan para mahasiswa tak terancam. Sebagian mahasiswa dari luar Beijing mulai akhir pekan lalu sudah pada naik kereta api yang sudah mulai jalan, pulang. Toh, mereka yang tetap tinggal menyatakan tak akan mundur. Mereka merencanakan akan tetap melakukan aksi duduk sampai 20 Juni nanti, ketika Kongres Rakyat Nasional dibuka. Bila tak sekarang, lewat Kongres itu mahasiswa berharap keadaan darurat perang, yang diumumkan oleh Li Peng Sabtu pekan lalu, bisa dicabut. Untuk sementara mahasiswa harus menelan kabar pahit. Sekjen Partai Zhao Ziyang dan sejumlah tokoh reformis dikabarkan dikenai tahanan rumah. Bahkan Wan Li, Ketua Kongres Rakyat Nasional, yang Kamis pekan lalu mendadak pulang ke Beijing di tengah lawatannya ke Washington, yang semula diharapkan bakal bisa menyelesaikan kemelut ini, gagal. Tokoh yang semula dikenal sebagai pro Zhao itu, setelah mendapat desakan dari pihak Li, menyatakan mendukung keadaan bahaya. Dengan kata lain, ia berpihak kepada Deng dan Li. Tapi semangat para mahasiswa tetap tinggi. Minggu pekan ini bahkan mereka berani berpawai, keluar ke jalan-jalan sekitar Tiananmen. Sementara itu, rekan-rekan mereka di Shanghai, untuk kesekian kalinya, turun ke jalan dengan tuntutan yang masih sama: mundurnya Deng dan Li Peng, dijalankannya reformasi politik. Tapi jangan harap berita-berita mahasiswa masuk surat kabar Cina. Li Peng ingin menjalankan sensor pemberitaan secara ketat. Ia membentuk semacam badan sensor, dan memanggil para pemimpin redaksi, dan mengumumkan sejumlah hal yang tak boleh diberitakan. Umpamanya, berita-berita adanya para penentang keadaan darurat perang dilarang. Dilarang pula mewancarai mahasiswa. Sementara itu, Deng membentuk Lembaga Pimpinan Nasional untuk Mencegah Kerusuhan (LPNUMK) dalam Komisi Militer Pusat. Deng langsung memimpin lembaga itu, sedangkan yang ditunjuk sebagai pelaksana sehari-hari adalah Presiden Yang Shangkun. Nah, lewat lembaga itulah Deng langsung mengendalikan para komandan divisi, Pangkowihan, dan Pangdam. Sedangkan untuk mengawasi apakah keadaan darurat di Beijing efektif, Deng membentuk Markas Komando Undang-Undang Darurat, yang dipimpin oleh Li Peng. Dari markas itulah Li mengawasi semua ulah demonstran, petugas keamanan, dan anggota partai. Sungguh runyam bagi Zhao dan kawan-kawan. Keberadaan dua lembaga baru itu, plus tim sensor khusus, membuat mereka kehilangan ruang gerak. Semua pernyataan politik harus lewat ketiga saluran itu. Untuk semua itu, Deng harus membayar mahal. Para jenderal itu mau memenuhi permintaan Deng, kabarnya, setelah syarat yang mereka ajukan disetujui. Yakni peran politik lebih besar seperti sebelum Revolusi Kebudayaan, kenaikan anggaran militer, dan Deng harus kembali kepada Marxisme-Leninisme ortodoks. Maka, hari Jumat pekan lalu, suasana perang mengepung Beijing. Bayangkan, sekitar 300 ribu prajurit dari berbagai penjuru bergerak ke sana. Padahal, sudah ada 160 ribu prajurit yang beroperasi di dalam kota. Rakyat ternyata tak tinggal diam. Ratusan ribu orang memenuhi setiap sudut jalan, sehingga pasukan baru itu tak bisa menembus pusat kota. Para prajurit bersenjata lengkap yang juga siap dengan berdrum-drum gas air mata itu tak melakukan perlawanan. Mereka seperti terkesima pada sanjungan dari para pencegat. "Tentara di pihak rakyat!" Kodam Beijing juga ikut beraksi, secara tak langsung memihak mahasiswa. Kodam paling elite itu tak mau menyuplai makanan dan minuman kepada para prajurit pendatang. Maka, banyak di antara mereka yang harus berpuasa, menunggu ransum dari markas masing-masing. Lucunya, ada yang menerima ransum kendati itu bisa berarti kena hukuman kurungan. Tak pelak, banyak pengamat menyatakan bahwa kemenangan Li cuma sementara. Dukungan resmi para jenderal kepada pemerintah sebenarnya cuma basa-basi. Mereka tahu, penggunaan kekerasan akan membuat pertumpahan darah. Bagi mereka, itu tak boleh terjadi. Tapi di mana semangat inti mahasiswa yang konon akan tetap bertahan di Tiananmen itu? Yang pertama, menurut pengamat RRC Lee Feighon dari Colby College, Maine, di AS, adalah Universitas Beijing. Universitas paling prestisius di Cina itu dikenal sangat kurang dekat dengan partai. Kampus yang lebih dekat ke Barat inilah, menurut Feighon, yang menjadikan gerakan mahasiswa sekarang jadi besar dan panas. Pusat semangat kedua ada di Universitas Rakyat. Kampus yang ini memang kurang tenar dibandingkan Universitas Beijing. Tapi di sinilah sebagian besar anak pejabat pemerintah dan Partai dididik, termasuk seorang cucu Mao Zedong. Di univeritas ini sebuah jurusan bernama Departemen Sejarah Partai, jurusan yang tak ada duanya di semua universitas di seluruh Daratan Cina. Di sinilah semua ihwal Partai dipelajari. Dan dari sinilah, menurut ahli dari Colby College itu, ide demonstrasi muncul. Di Departemen Sejarah Partai itulah mula-mula terjadi mogok kuliah. Memang, mula-mula direncanakan hanyalah sekadar gerakan protes untuk memperbaiki Partai. Sebagai anak-anak pejabat mereka tahu bahwa di pemerintahan dan partai korupsi merajalela, dan birokrasi menghambat kemajuan. Tapi kemudian, entah bagaimana awalnya, protes jadi mendasar melawan Partai. Bisa jadi itu karena mereka mendapat reaksi keras dari Deng Xiaoping. Seperti diketahui, pada 27 April Deng mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan melakukan tindakan keras bila mahasiswa tak juga mengakhiri aksinya. Dasar anak-anak muda pernyataan Deng dijawab dengan pawai keliling kota di esok harinya. Pawai ini, sebagian besar mahasiswa dari Universitas Rakyat, behasil menembus blokade polisi yang menjaga Lapangan Tiananman. Itulah awal berumahnya mahasiswa di lapangan itu. Bila mereka lalu nekat, karena ada semangat dorongan dari rakyat. Kabarnya begitu mereka mematahkan penjagaan polisi, rakyat rakyat bersorak menyambut mereka sebagai pahlawan. Maka, ransum makan pun datang bergiliran. Lalu mereka yang anak pejabat menelepon orangtuanya, mengatakan bahwa bila tentara menembaki mereka, artinya menembaki mereka juga. Apakah para orangtua itu tega mengucurkan darah anaknya sendiri? Itulah salah satu sebab tentara tak juga bertindak, selain bahwa Deng dkk pun menjaga suasana karena waktu itu akan ada kunjungan Presiden Soviet. Lain daripada itu, ada dukungan dari seberang. Sejumlah mahasiswa dan siswa di Hong Kong ikut-ikutan melancarkan demonstrasi. Para demonstran itu menyuarakan dua tujuan: mendukung para demonstran di RRC dan menuntut perombakan konstitusi yang akan berlaku di Hong Kong, setelah dikembalikan ke RRC pada 1997 nanti, menjadi lebih liberal. Tak cuma unjuk rasa, mereka pun akhir pekan lalu membuka sebuah konser musik untuk menyumbang rekan-rekan mereka yang pada tidur di Tiananmen. Syahdan, semangat di Tiananmen tetap terjaga. Awal pekan ini diperkirakan sekitar 50.000 mahasiswa dan simpatisannya beramai-ramai mencoba menegakkan patung kertas Dewi Kemerdekaan. Mereka seperti tak peduli akan kecaman yang semakin keras dari radio Beijing. Untuk pertama kalinya, setelah sekitar dua tahun tak terdengar kutukan terhadap "burjuis liberal" dari radio di RRC, awal pekan ini kecaman itu terdengar kembali. Posisi mahasiswa kini memang terpojok, setelah para pendukung mereka tampaknya dijatuhkan oleh kelompok garis keras. Sementara itu, menurut Reuter, tersebar kabar di Tiananmen bahwa Presiden Yang Shangkun menyatakan, "Tak ada jalan mundur bagi kami." Seorang mahasiswa di Tiananmen yang datang dari Suzhou, di Cina bagian timur. mengatakan, "Perjuangan untuk demokrasi dan kemerdekaan tak harus diakhiri hanya karena kami capek." Adakah sebuah tindak kekerasan akan terjadi dalam waktu dekat ini? Sesuatu yang pasti tak diharapkan oleh dunia internasional, di kala sejumlah negeri sosialis mulai menegakkan demokrasi.Praginanto (Jakarta) & Yusril Djalinus (AS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum