INTRIK politik bukan sesuatu yang baru di Cina. Dalam novel San Guo zhi Yanyi (Kisah Tiga Negara) karya Luo Guanzhong adalah contoh klasik bahwa sejak abad kedua sebelum Masehi pun pentas politik Cina kaya dengan intrik. Maka, boleh dikata yang terjadi di Beijing kini adalah penerusan tradisi yang telah berabad-abad. Sejak demonstrasi meledak, pertengahan bulan lalu, kabar dari Beijing begitu simpang-siur. Mungkin perkembangan percaturan memang sangat cepat. Mungkin kabar burung dan kenyataan jalin-menjalin -- terutama setelah pers asing diusir dan Partai menyensor keras semua pemberitaan -- sulit dibedakan terutama bagi mereka yang berada di luar Cina. Berita terakhir dari Beijing, awal pekan ini, mengabarkan Li Peng -- perdana menteri yang diminta turun oleh demonstran -- berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya. Ia sukses menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Konon, seluruh jajaran pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat juga telah menyatakan dukungan terhadapnya tanpa reserve. Itu suatu kejutan. Soalnya, Li Peng, 60 tahun, adalah pemimpin yang kurang berakar dalam pentas politik Cina. Ia lebih banyak meniti karier sebagai administrator dan teknokrat. Lawan-lawan politiknya sering melecehkannya. Katanya, hanya karena ia anak angkat Zhou Enlai, dan berkat katrolan Deng Xiaoping, namanya melejit dengan cepat. Tuduhan itu ada benarnya juga. Karena Li Peng anak angkat Zhou, mungkin Deng merasa mesti berbuat sesuatu kepadanya. Soalnya, Deng Xiaoping punya utang budi kepada Zhou. Ia dua kali selamat dari ganyangan Mao Zedong lantaran ada juru selamat, ya si ayah angkat Li itu. Yang jelas beradanya Li di atas angin dalam beberapa hari terakhir ini pasti berkat dukungan si orang kuat Deng. Kedudukan Deng sebagai Ketua Komisi Militer dalam Politbiro memberinya peluang untuk melobi para elite militer. Jangan pula dilupakan seluruh karier Deng, walaupun pada dasarnya ia seorang sipil, sangat dekat dengan militer (lihat Pendekar Sichuan yang Naik-Turun). Tapi seberapa kuat cengkeraman Deng atas TPR susah dipastikan. Senin pekan lalu, misalnya, sepasukan tentara dengan sangkur terhunus dan dibantu mobil-mobil lapis baja memaksa masuk ke Lapangan Tiananmem. Pasukan ini tampaknya mematuhi komando Deng untuk membubarkan demonstran. Mereka berhasil menyingkirkan rintangan-rintangan. Mereka memukuli mahasiswa yang ngotot bertahan. Sekurang-kurangnya 40 mahasiswa luka-luka. Tapi, beberapa jam sebelum insiden itu, ada tanda-tanda lain bahwa pihak militer tidak begitu saja mau memenuhi perintah Ketua Komite. Tujuh perwira tinggi purnawirawan secara terbuka menyatakan tentangannya, lewat surat. Mereka, antara lain, Zhang Aiping (bekas menteri pertahanan). Selain mereka, menurut sumber yang sulit dikonfirmasikan, 100 perwira tinggi yang masih dalam dinas aktif turut membubuhkan tanda tangannya. Tapi memang hanya nama tujuh purnawirawan yang dibocorkan. Keraguan atas dukungan tentara kepada Deng -- dan karena itu juga kepada Li diperkuat oleh pernyataan Jenderal Chi Haotien, Kepala Staf Umum TPR. Lewat telepon ia mengatakan kepada para wartawan, "Kami takkan pernah menindas rakyat." Bukan rahasia lagi, Chi menentang pemberlakuan keadaan bahaya di Beijing. Jadi, ada indikasi bahwa tentara pun sebenarnya tidak monolit mendukung Deng dan Li. Bahkan sebuah analisa yang lebih berani mengatakan, kemenangan Li dan Deng belum kuat benar. Sewaktu-waktu tentara bisa memukul mereka dan merebut kekuasaan. Suatu kenyataan bahwa banyak unit tentara yang terang-terangan berpihak kepada mahasiswa dan golongan reformis. Malah ada yang mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk memaklumkan keadaan darurat di Beijing sebenarnya bukan untuk membubarkan demonstrasi mahasiswa, tapi lebih untuk mencegah pasukan di bawah komando Kowilhan Beijing agar tidak melancarkan gerakan kudeta. Buktinya, kata sumber itu, di ibu kota negara itu dihadirkan sekitar 270 ribu prajurit dari luar Ibu Kota. Jumlah itu terlalu besar hanya untuk menertibkan mahasiswa. Mestinya ada sasaran lain lagi. Dugaan ini diperkuat oleh kabar yang menyatakan bahwa Menteri Pertahanan Jenderal Qin Jiwei ditahan. Ia dituduh berkomplot dengan Zhao Ziyang untuk merebut kekuasaan dari Li Peng dan Deng. Siapa jenderal ini? Dialah bekas komandan tentara wilayah Beijing. Yang jelas, berita-berita tentang Beijing masih simpang-siur. Ini mengindikasikan bahwa keadaan masih belum benar-benar dikuasai oleh PM Li Peng dan kawan-kawannya. Untuk memperkukuh posisinya, Li harus mulai memberi konsesi kepada TPR lantaran tentara tak begitu puas dengan program Empat Modernisasi -- reformasi ekonomi yang digelindingkan oleh Deng sepuluh tahun yang lalu. Akibat reformasi itu bujet TPR, misalnya, harus mengalah terhadap proyek-proyek pembangunan ekonomi. Perkembangan hubungan antara politik dan tentara di RRC kini menunjukkan bahwa siapa pun berkuasa harus memperhitungkan pihak tentara. Dua sabda Mao, bahwa "partai mengatur bedil" dan "kekuasaan politik keluar dari laras bedil", yang kini bakal jadi kenyataan kemungkinan besar yang kedua. Kemenangan kaum komunis di negeri semilyar manusia tak lain adalah kemenangan perjuangan bersenjata. Pantaslah kalau mereka yang masih aktif dalam bidang militer setelah RRC berdiri pada 1949 selalu menuntut porsi kekuasaan lebih besar. Sampai akhir ajalnya Mao selalu mendapat kesulitan dengan para jenderal dan marsekalnya. Lalu di mana Zhao Ziyang yang menghilang sejak keadaan darurat perang diumumkan Sabtu dua pekan lalu? Kabar terakhir mengatakan ia dikenai tahanan rumah. Ia dituduh berkhianat terhadap "revolusi dan komunisme" oleh Deng Xiaoping. Apa pun yang terjadi dengan orang yang sangat pro reformasi ekonomi dan politik sekaligus ini, hari-hari terakhir ini merupakan hidup dan mati karier politiknya. Zhao, 70 tahun, yang ditangkap dan diarak sebagai pengkhianat di zaman Revolusi Kebudayaan, telah mengabdi kepada partai dan negara selama 50 tahun. Sekretaris Jenderal Partai ini pasti tak sudi kalau prestasi itu punah begitu saja. Mula-mula, di awal gerakan mahasiswa kini Zhao pun ikut dikecam. Ia dikritik karena melindungi keluarganya yang konon menggunakan kedudukannya untuk berbisnis. Harap dicatat bahwa inflasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para birokrat adalah akibat kebijaksanaan yang diujungtombaki oleh Zhao. Tapi tiba-tiba kedudukan Zhao berbalik. Ini disebabkan karena sikapnya yang cenderung toleran terhadap gerakan mahasiswa. Bahkan bekas Sekretaris Partai di Provinsi Sichuan yang memelopori dijalankannya ekonomi "kapitalistis" di Cina ini kemudian jadi idola mahasiswa. Sama dengan nasib Zhao yang bak telur di ujung tanduk adalah enam tokoh reformis lainnya -- ketujuh mereka dijuluki Qi Renbang (Kelompok Tujuh). Selain Zhao, "tujuh jagoan" itu adalah Hu Qili, anggota Panitia Tetap Politbiro Yan Mingfu, Kepala Departemen Front Persatuan Wan Jiabao, Kepala Departemen Urusan Umum Komite Sentral Du Rensheng, Direktur Pusat Riset Kebijaksanaan Pedesaan dari Komite Sentral An Zhiwen, Wakil Menteri Komisi Negara Urusan Reformasi Struktur Ekonomi dan Bao Tong, Kepala Institut Reformasi Struktur Politik. Bila mereka tergusur, akan tergusur pula 36 tokoh intelektual "Koalisi AntiPartai" yang dituduh Deng sebagai think tank Kelompok Tujuh. Termasuk ke dalam grup ini adalah ahli astrofisika Fang Lizhi, pakar ilmu politik Yang Jiaqi, dan pemikir teori kesusastraan Liu Zaifu. Lalu di mana Deng Xiaoping berdiri? Tentunya ia berada di belakang kemenangan -- setidaknya kemenangan sementara -- faksi garis keras yang juga disebut reformis-konservatif. Dan tampaknya pendekar tua inilah sandaran utama kelompok ini. Seorang ahli masalah Cina di Hong Kong punya teori lain. Konon, sudah lama Deng curiga adanya persekongkolan antara Zhao dan Menhan Jenderal Qin Jiwei. Mereka diduga menyiapkan sebuah kudeta. Untuk membuktikan kecurigaan itu Deng, melalui agen-agennya, menggerakkan mahasiswa untuk mengetahui siapa kawan siapa lawan. Terbuktilah Zhao dan Qin berpihak kepada mahasiswa persis seperti yang dicurigakan oleh Deng. Tapi seorang ahli lain tampil dengan teori berbeda. Kata dia, yang ada di belakang semuanya adalah Presiden Yang Shangkun yang sudah lama mengincar kursi ketua komisi militer. Dan Yang yang bersekongkol dengan Deng, sudah siap mengorbankan Li Peng bila ternyata demo tak juga reda dengan disingkirkannya Zhao. Skenario mana pun yang benar, kini yang terpojok adalah mahasiswa. Bagi mereka mundur kena, maju pun kena. Yang jelas, kalau keadaannya sudah reda dan ternyata Li Peng dkk. yang berkuasa, di kampus akan terjadi kampanye besar-besaran mengganyang "segelintir sabotir" yang menggerakkan mahasiswa. Pimpinan teras mereka boleh jadi dijebloskan ke kamp-kamp kerja paksa, persis seperti nasib tokoh Dinding Demokrasi Wei Jingsheng. Tapi mahasiswa telah berbulat tekad. Kata seorang pemuka gerakan mahasiswa kepada wartawan TEMPO Isma Sawitri di Beijing, dekat sebelum keadaan darurat perang dicanangkan, "Perjuangan untuk demokrasi merupakan suatu perjalanan yang panjang karena sejak dahulu di Cina tak pernah ada demokrasi. Kalau kami kalah, itu hanya suatu permulaan dari perjuangan selanjutnya di masa depan." Bagaikan kekacauan besar di dunia kangouw dalam cerita silat, guncangnya RRC kini pun memancing keluar jago-jago tua dari peristirahatannya. Begitu Zhao Ziyang dituduh berkhianat terhadap komunisme, tokoh-tokoh tua seperti Ekonom Chen Yun, Ideolog Hu Qiaomu, dan jenderal veteran Yu Qiuli ramai-ramai mengeluarkan pernyataan kutukan terhadap Zhao. Lalu apa yang akan terjadi dengan reformisme Cina di masa depan? Seperti juga dengan para mahasiswa, reformisme telah sampai ke satu titik dan tak lagi bisa kembali. Baik Deng, Li Peng apalagi Zhao, sebenarnya pro reformisme. Mereka cuma berbeda dalam cara mencapainya: dengan lambat dan satu demi satu, atau reformisme secara total dalam satu gebrakan.A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini