Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nasib anak hitam

Pembunuhan di atlanta, negara bagian georgia, yang menjadi sasaran terutama anak negro. timbul keprihatinan yang meluas ke pelbagai negara bagian yang lain. (ln)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBUNUHAN di Atlanta, negara bagian Georgia seolah jadi kegemaran. Terutama anak Negro digemari kaum pembantai. Kaum kulit putih menyadari bahwa kejadian yang sama bisa saja terjadi terhadap keluarganya. Sampai pekan lalu, lebih 20 anak Negro yang hilang telah ditemukan mayatnya di berbagai tempat. Sedang 2 orang lagi yang hilang pada awal Maret masih belum dijumpai. Peristiwa ini sebenarnya ditakuti sejak Juli 1979. Namun belakangan ini masyarakat Amerika semakin cemas. Belum jelas apa motif pembunuhan ini. Kalangan pejabat di Atlanta menduga aksi ini mempunyai pola tertentu. Dan yang paling dikhawatirkan ialah kalau pola ini merembet jadi aksi rasial atau pun pembalasan dendam. Anehnya sasaran pembunuhan ini adalah anak-anak yang berumur di bawah sepuluh dan belasan tahun yang menetap di daerah miskin. Misalnya, Patrick Rogers, 17 tahun, ditemukan sudah tak bernyawa di Sungai Chattahoochee, barat laut Kota Atlanta. Ia datang dari suatu keluarga miskin yang pecah rumah tangga. Sehari-harinya ia dikenal sebagai orang yang suka mencari kerja yang aneh-aneh. Orang yang mengenalnya menyebutnya sebagai 'anak jalanan' karena sering berada di Pusat Perbelanjaan Moreland. Meskipun Rogers menguasai karate yang -- menurut kakaknya -- 'lebih dari sekedar bisa mempertahankan diri', ia ternyata tak mampu melawan si pembunuh. Lebih aneh lagi sebagian besar korban berasal dari wilayah dalam radius 5 km dari Pusat Perbelanjaan Moreland. Aaron Jackson Jr, 9 tahun, beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan juga berada di Moreland. Begitu juga dengan Aaron Wyche, 10 tahun, yang mayatnya ditemukan dekat jembatan kereta api Moreland Avenue. Mereka terbunuh sekitar November dan Desember lalu. Reaksi terhadap peristiwa ini ternyata begitu besar. Di berbagai kota di AS berlangsung kampanye pengumpulan dana untuk membiayai penyelidikan dan membantu keluarga korban. Di Colombus, Ohio, suatu usaha mengumpulkan dana sebesar US$ 10.000 ternyata berhasil mendapat US$ 35.000. Usaha serupa ini adalah biasa dalam masyarakat Negro. "Kami cukup mengatakan ada seseorang yang mati di Atlanta, dan kami mendapat sumbangan," kata Clifford Tyree, penggerak pengumpulan dana di Columbus. Tak hanya itu. Penyanyi terkenal Negro, Sammy Davis Jr, bersama Frank Sinatra mensponsori malam amal di Civic Center, Atlanta. Mereka berhasil mengumpulkan US$ 263.000. Masih ada lagi usaha anak-anak sekolah Michigan menyisihkan uang saku 75 sen dollar 'untuk menolong menemukan pembunuh anak kulit hitam'. organisasi Wanita Kulit Hitam di Ohio mendesak penduduk memakai pita hijau sebagai tanda keprihatinan terhadap pembunuhan anak-anak Negro di Atlanta itu. Warna hijau adalah simbol kehidupan. Dan Perhimpunan Nasional Memajukan Kaum Kulit Berwarna (NAACP) menghimhau rakyat dari berbagai kepercayaan agar mengadakan doa bersama di suatu gereja besar di Atlanta. Bahkan Coretta Scott King -- janda tokoh hak sipil yang mati dibunuh, Martin Luther King Jr -- menyerukan diadakannya gerak jalan di seluruh Arnerika dengan tuntutan 'hentikan pembunuhan.' Seruan ini mendapat sambutan yang cukup besar. Di Harlem, 10 ribu orang Negro berpawai menuju Adam Clayton Powell Boulevard. Di bawah sinar lampu jalan mereka beriring sambil memegang erat-erat tangan anak-anak mereka. Seolah ingin menjauhkan anak mereka dari bahaya maut yang terjadi ribuan km dari tempat itu. Aksi solidaritas ini paling tidak mengesankan bahwa kaum kulit hitam di Atlanta tidak lagi berjuang sendirian dalam menghadapi pembunuh yang kejam. Apalagi Presiden Ronald Reagan mengumumkan bantuan US$ 1,5 juta kepada Atlanta untuk biaya pengusutan. Dan di berbagai negara bagian berdiri Komite Melindungi Pemuda Atlanta. Namun pernyataan pasrah terdengar juga dari berbagai gereja. Dalam khotbahnya di Katedral St. Paul, Cambridge, Pendeta Leroy Atles berkata, "Apa yang bisa kita buat?" Dengan nada yang agak tinggi ia meneruskan, "Kita hanya bisa berdoa dan berpuasa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus