Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nasib Pengungsi Rohingya di ASEAN

Pengungsi Rohingya menghadapi masalah kesehatan dan pendidikan. ASEAN diharapkan dapat menangani pengungsi dan junta militer.

3 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para pengungsi Rohingya kini menghadapi masalah kesehatan dan pendidikan.

  • Banyak negara tak memiliki kebijakan jelas dalam penanganan para pengungsi.

  • ASEAN diharapkan dapat bersikap tegas menangani para pengungsi Rohingya dan junta militer Myanmar.

“DI tengah malam, anak-anak itu menjerit karena mimpi buruk. Siksaan, kekerasan (yang dialami orang tua mereka dulu) jelas berdampak pada mereka juga,” kata Nur Hayati Ali, mahasiswa kedokteran di Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin, Amerika Serikat, mengenai anak-anak pengungsi Rohingya yang ia tangani di Muslim Community and Health Center di Milwaukee. “Pada satu titik, hal itu mulai mempengaruhi kesehatan mereka,” ujarnya, Senin, 28 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sekitar seribu keluarga Rohingya di Milwaukee, komunitas Rohingya terbesar di Negeri Abang Sam. Nur bekerja di pusat komunitas muslim itu dan menangani banyak pengungsi Rohingya. “Mereka punya banyak masalah kesehatan mental, khususnya gangguan stres pascatrauma dan depresi, depresi yang tidak ditangani, gangguan ingatan, dan, kadang-kadang, mereka lupa apa yang telah terjadi. Mereka tidak ingat siapa anggota keluarga mereka,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nur Hayati adalah gadis Rohingya yang dibawa orang tuanya mengungsi dari Myanmar ke Malaysia, lalu ke Amerika Serikat pada 2002. Saat itu Tatmadaw, militer Myanmar, menggelar operasi militer di Negara Bagian Rakhine. Mereka melakukan pelecehan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap penduduk, yang memaksa ribuan orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Ayah Nur menjadi salah satu target militer sehingga terpaksa membawa keluarga itu kabur ke luar negeri.

Kesehatan adalah barang langka bagi warga Myanmar. Bibi Nur tinggal di Myanmar, tapi kemudian meninggal karena serangan jantung dan tidak punya akses ke dokter. Kisah-kisah semacam itu mendorong Nur menjadi dokter. “Saya ingin kembali ke kamp-kamp pengungsi dan mengobati kaum saya,” ucapnya.

Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan hampir 1,5 juta orang Rohingya mengungsi dari Myanmar dalam beberapa gelombang sejak 1990-an, ketika Tatmadaw mulai menggelar operasi di Rakhine. Sekitar satu juta orang kini tinggal di beberapa kamp pengungsi di Bangladesh. Sekitar 92 ribu orang tinggal di Thailand, 21 ribu di India, dan sejumlah kecil berada di negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Indonesia.

Keterbatasan pendidikan adalah masalah lain yang dihadapi kaum Rohingya. Di Myanmar, helikopter junta militer menghujani sebuah sekolah penuh anak-anak dan guru di Desa Let Yet Kone, Sagaing, dengan peluru pada 16 September 2022. Thomas Andrews, Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar melaporkan militer menggunakan helikopter Mi-17 dan Mi-35 bikinan Rusia dalam serangan udara itu.

Sriprapha Petcharamesree, pengajar Fakultas Hukum Chulalongkorn University, Thailand, menilai Myanmar menghadapi banyak masalah dalam pendidikan. Sebab, selain banyak lembaga akademik yang tidak dapat menjalankan fungsinya, infrastrukturnya dihancurkan dengan dibom dan junta tidak mengizinkan para guru mengajar. “Menghancurkan lembaga pendidikan itu sesungguhnya telah menghancurkan masa depan bukan hanya anak-anak dan siswa, tapi juga negeri itu,” katanya dalam Myanmar Day, acara dengar pendapat publik tentang Myanmar di Artotel Thamrin, Jakarta, Rabu, 30 Agustus lalu. Sriprapha hadir secara daring dalam acara yang digelar Progressive Voice, Alternative ASEAN Network on Burma (ALTSEAN-Burma), Asian Forum for Human Rights and Development, dan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Myanmar itu.

Kamp pengungsi etnis Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, Desember 2022. Reuters/Ruma Paul

Para pengungsi Rohingya umumnya juga sulit mengakses pendidikan. Nur Hayati Sultan, perempuan Rohingya yang bermukim di Chicago, Negara Bagian Illinois, Amerika Serikat, menilai para pengungsi sebenarnya hanya membutuhkan kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan. Ketika dia bertemu dengan anak-anak pengungsi Rohingya di Aceh, misalnya, mereka tidak meminta apa-apa kecuali buku, pena, dan seragam sekolah. “Anak-anak itu sangat pintar,” tuturnya.

Nur Hayati Sultan menuturkan, dia dibawa ayahnya mengungsi ke Malaysia sebelum bermukim di Chicago. “Ketika berada di Malaysia, saya tidak dapat bersekolah,” ujarnya. Dia baru mendapatkan pendidikan ketika tiba di Amerika hingga akhirnya menjadi insinyur perangkat lunak komputer dan kini mengajar anak-anak pengungsi di Rohingya Culture Center di Chicago.

Banyak negara di Asia Tenggara tak punya kebijakan yang jelas dalam penanganan pengungsi, termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan. Negara seperti Indonesia dan Malaysia menggolongkan mereka sebagai pendatang ilegal sehingga dapat dipidana. Bahkan, dalam beberapa kasus, nelayan Aceh yang menyelamatkan kapal pengungsi Rohingya yang karam malah dipidana.

Yasmin Ullah, Ketua Dewan ALTSEAN-Burma, menyatakan para pengungsi itu sebenarnya tak ingin menjadi beban di negara lain, tapi mengharapkan masa depan yang lebih baik. “Masa depan yang lebih cerah daripada yang mereka tinggalkan, yang tak ada di negeri kami,” ucapnya. “Kami dulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin bagi kami hidup di bawah tekanan junta militer.”

Yasmin yakin banyak talenta di komunitas Rohingya yang dapat memajukan kaumnya, seperti yang ditunjukkan Nur Hayati Ali dan Nur Hayati Sultan. “Banyak orang yang perlu maju dan menyumbangkan keahliannya dan ada di sana untuk komunitas lain atau prakarsa lain untuk saling terhubung,” katanya. “Satu orang tak dapat melakukan segalanya, sebagaimana sudah kita saksikan berkali-kali.”

Yasmin tetap memandang ASEAN punya peran penting dalam penanganan krisis Myanmar. Dia mengakui Lima Poin Konsensus ASEAN, konsensus para pemimpin ASEAN untuk mengatasi krisis Myanmar, tidak menyebut masalah Rohingya secara khusus. Namun “Indonesia, khususnya sebagai Ketua ASEAN, punya sikap yang tegas dan lebih berinisiatif dibanding negara ASEAN lain, khususnya dalam masalah Rohingya, perempuan, perdamaian, dan keamanan, khususnya yang berkaitan dengan Lima Poin Konsensus.”

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan para pemimpin ASEAN akan meninjau pelaksanaan Lima Poin Konsensus, terutama oleh junta militer Myanmar, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta, 5-7 September mendatang. “Kita, Indonesia, (sebagai) Ketua ASEAN, akan memberikan laporan kepada mereka,” tuturnya, Selasa, 29 Agustus lalu.

Menurut Menteri Retno, dalam sembilan bulan ini, Indonesia sudah melakukan 145 engagement dengan hampir semua pemangku kepentingan di Myanmar. Hal ini dilakukan dengan apa yang disebut diplomasi sunyi. “Ini engagement yang paling besar, paling banyak, paling luas, komprehensif yang dilakukan ASEAN karena itulah mandat konsensus,” ujarnya.

ALTSEAN-Burma berseru agar negara-negara ASEAN menjunjung tinggi kewajiban melindungi hak asasi manusia kaum Rohingya dengan memberikan perlindungan kepada warga Rohingya pencari suaka. Negara-negara dan otoritas maritim, kata organisasi itu, harus menyelamatkan kapal-kapal pengungsi di laut dan memastikan para pengungsi tidak dikembalikan ke situasi yang membahayakan mereka.

“Semua klaim suaka harus diproses dengan baik. Deportasi terhadap pencari suaka merupakan pelanggaran terhadap norma-norma internasional dan tanggung jawab negara di bawah hukum hak asasi manusia internasional dan tak dapat dibiarkan,” ucap mereka dalam siaran pada Jumat, 25 Agustus lalu.

Organisasi itu juga meminta ASEAN bersikap tegas terhadap kekerasan oleh junta militer Myanmar, yang menjadi akar penyebab konflik di negeri tersebut. “Impunitas junta harus diakhiri agar desakan mendapatkan kewarganegaraan yang inklusif dan hak asasi manusia bagi semua orang dapat didengarkan dan direalisasi. Solusi jangka panjang yang efektif untuk Rohingya berhubungan dengan solusi jangka panjang bagi masyarakat Myanmar yang beragam,” ujar mereka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel Ahmad Fajri dan Abdul Manan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terdampar di Milwaukee"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus