Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Larangan Hijab di Negara Bagian India

Sejumlah pelajar muslim dilarang masuk sekolah karena mengenakan hijab. Komisi Pemantau Perkembangan Sekolah mengklaim larangan itu untuk menertibkan seragam sekolah.

5 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelajar muslim India memprotes larangan hijab di sekolah.

  • Presiden Cina Xi Jinping mendukung Rusia menentang perluasan keanggotaan NATO.

  • Junta militer Myanmar menjalankan wajib militer untuk merekrut tentara baru.

India

Kontroversi Larangan Hijab

SEKITAR 25 pelajar muslim dilarang masuk sebuah sekolah pra-universitas pemerintah—setara dengan sekolah menengah atas di Indonesia—di Distrik Udupi, Negara Bagian Karnataka, India, karena mengenakan hijab pada Kamis, 3 Februari lalu. “Kami bertahun-tahun mengenakan hijab di sekolah, tapi aturan ini dipaksakan dalam sehari,” kata seorang pelajar muslim kepada The Indian Express.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Larangan hijab itu diterbitkan oleh Komisi Pemantau Perkembangan Sekolah pimpinan Halady Srinivas Shetty, anggota parlemen Kundapur dari Partai Bharatiya Janata, dengan alasan menertibkan seragam sekolah. Pada Rabu, 2 Februari lalu, Shetty menggelar pertemuan dengan orang tua siswa mengenai aturan ini, tapi para orang tua menolak dengan alasan anak-anak mereka berhak mengenakan hijab di sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari yang sama, Pengadilan Tinggi Karnataka mulai menyidangkan petisi yang diajukan seorang siswa Udupi yang meminta larangan hijab dicabut. Menteri Pendidikan Karnataka, Bellur Chandrashekharaiah Nagesh, mengatakan lembaga pendidikan tidak boleh menjadi medan perang dua komunitas. “Ini tempat suci dan setiap siswa harus merasa setara. Karena kasus ini sudah masuk pengadilan, mari kita lihat apa hasilnya. Laporan akhir akan diserahkan dan ditindaklanjuti pada tahun ajaran berikutnya,” tuturnya.


Cina

Xi dan Putin Menentang Perluasan NATO

PRESIDEN Republik Rakyat Cina Xi Jinping dan Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin menentang perluasan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam pernyataan bersama mereka pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing, Jumat, 4 Februari lalu. “Kedua pihak menentang perluasan lebih lanjut NATO dan menuntut Aliansi Atlantik Utara meninggalkan pendekatan perang dingin yang diideologikan untuk menghormati kedaulatan, keamanan, dan kepentingan negara lain,” demikian pernyataan kedua pemimpin yang dirilis Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping bertemu di Beijing, Cina, 4 Februari 2022. Sputnik/Aleksey Druzhinin/Kremlin via REUTERS

NATO pimpinan Amerika Serikat hendak memasukkan Ukraina sebagai anggota aliansi mereka. Rusia menentang rencana ini dan menerjunkan ribuan tentara untuk pelatihan militer di dekat perbatasan Ukraina. Amerika, yang menilai penempatan pasukan itu sebagai ancaman bagi perdamaian dunia, meminta Dewan Keamanan PBB menggelar rapat mengenai hal tersebut, tapi Cina menentangnya.

Cina sekali lagi meminta semua pihak tetap tenang, tidak melakukan apa pun yang memperburuk ketegangan atau meningkatkan krisis, dan menyelesaikan perbedaan mereka dengan benar melalui konsultasi dengan pijakan yang sama atas dasar saling menghormati dan sepenuhnya mempertimbangkan masalah keamanan masing-masing,” ujar Zhang Jun, perwakilan tetap Cina di PBB, seperti dikutip Xinhua.


Myanmar

Junta Jalankan Wajib Militer

JUNTA militer Myanmar akan menjalankan wajib militer berdasarkan Undang-Undang Dinas Militer Rakyat. “Ini wajib bagi semua orang. Jika negara tidak punya kemampuan pertahanan, kita akan menghadapi kekalahan. Jika demikian, negara lain tak akan menghormati kita,” ucap Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta, dalam rapat Dewan Administrasi Negara—nama resmi junta—di Naypyitaw pada Rabu, 2 Februari lalu, seperti dikutip Myanmar Now.

Undang-undang tahun 2010 itu mewajibkan anggota masyarakat mengikuti wajib militer hingga tiga tahun. Masa tugas ini bisa diperpanjang sampai lima tahun dalam keadaan darurat nasional. Aturan itu tak pernah dijalankan selama satu dekade. Yee Mon, Menteri Pertahanan Pemerintahan Kesatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan Myanmar, menyatakan militer sedang berupaya mendapatkan pasukan baru setelah setahun kehilangan banyak tentara.

Lebih dari 2.000 tentara, termasuk ratusan perwira, membelot dan bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil yang menentang junta dalam 10 bulan pertama sejak kudeta militer berlangsung pada 1 Februari 2021. Menurut NUG, ribuan tentara tewas dalam perang melawan kelompok perlawanan bersenjata sejak April 2021.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus