JIANG Zemin bagaikan lahir dari balik kabut. Selama ini, setidaknya sampai peristiwa pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen, Beijing, Juni silam, tak banyak yang tahu karier politik bekas Wali Kota Shanghai itu. Barangkali benar bahwa kemelut politik selalu menjadi proses terbaik untuk kelahiran pemimpin-pemimpin baru. Tapi, kemunculan Jiang Zemin ke panggung Beijing? Akhir Juni, ketika terpilih sebagai Ketua Partai Komunis Cina (PKC) -- menggantikan Zhao Ziyang yang tergusur karena dianggap dekat dengan mahasiswa -- Jiang masih diragukan kapasitasnya. Tak pernah ada informasi tentang keberhasilan politik yang pernah dicapainya -- kecuali, pada 1982, terpilih sebagai anggota Komite Sentral PKC. Jiang -- lahir di Yangzhaou, Provinsi Jiangsu, Juli 1926 -- memang dikenal tak lebih dari seorang birokrat partai, dan itu pun dengan kualifikasi tidak istimewa. Namanya baru mulai jadi pembicaraan masyarakat sewaktu ia bertindak keras terhadap kerusuhan pemuda di Shanghai, Juni lalu. Lantas tampil sebagai pimpinan tingkat provinsi pertama yang menyatakan dukungan terhadap kebijaksanaan penumpasan gerakan demokrasi. Tak heran bila banyak orang kaget ketika Jiang terpilih menggantikan Deng Xiaoping sebagai Ketua Komisi Militer Pusat Panglima Tertinggi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). Maka, banyak yang menduga Jiang -- pilihan ketiga Deng (setelah Hu Yaobang dan Zhao Ziyang) dalam rangka reformasi -- tidak akan berkuasa lebih dari dua tahun. Bahkan, ada kalangan diplomat yang menyamakan nasib Jiang bakal seperti Hua Guofeng, "Putra Mahkota" pilihan Mao Zedong. Hua cuma berkuasa selama dua tahun, dan kemudian digusur Deng dari kursi Ketua PKC. Kelemahan lain Jiang yang dipersoalkan, ia tidak memiliki latar belakang militer sama sekali. Bahkan, tokoh yang fasih berbahasa Inggris itu baru bergabung ke dalam PKC pada 1946 setahun sebelum lulus dari Jurusan Mesin Listrik Universitas Jiaotong, Shanghai. Setelah itu, perjalanan kariernya tak lebih dari sebuah riwayat perjalanan khas seorang pegawai, yang sekaligus menjadi alat partai. Lepas 1949, Jiang menjadi deputi direktur pada pabrik makanan Yimin No. 1, Shanghai, lalu wakil direktur Pabrik Sabun Shanghai, dan kepala bagian mesin listrik pada Divisi Desain No. 2 Kementerian Pertama Industri Mesin Bangunan di Shanghai. Kemudian, selama setahun pada 1955, menjadi trainee pada Pabrik Mobil Stalin, Moskow. Seterusnya adalah peningkatan jabatan biasa di lingkungan pabrik dan industri. Jiang mulai meningkatkan konsentrasi dalam politik setelah 1980. Dimulai sebagai wakil ketua, merangkap sekretaris jenderal kelompok tokoh-tokoh PKC di Komisi Pemerintah untuk Ekspor, Impor, dan Investasi Asing. Lima tahun kemudian, Jiang -- wakil sekretaris PKC di Shanghai -- terpilih jadi wali kota. Maka, sebagai langkah awal, dalam pertemuan dengan para perwira senior Ahad lalu, Deng menyatakan tetap akan memikirkan segala masalah kemiliteran. Deng, seperti dikutip Kantor Berita Cina, Xinhua, antara lain mengatakan, "Kendati saya sudah meninggalkan tentara dan pensiun, secara pribadi saya tetap akan menaruh perhatian pada segala soal mengenai negara dan Partai, juga menyangkut masa depan tentara kita. Tentara dari Partai -- yang harus setia kepada Partai negara, sosialisme, dan rakyat." Dalam pertemuan itu, Deng didampingi Jiang. Deng menambahkan, kendati tidak memiliki pengalaman militer, Jiang tetap memenuhi syarat untuk jabatan Ketua Komisi Militer Pusat. "Sebab ia juga seorang yang kualifait sebagai Sekjen Partai." Dengan memilih Jiang sebagai pengganti, Deng kelihatan tetap ingin menancapkan pengaruhnya di pucuk kekuasaan. Lebih dari itu, pada dasarnya, Deng ingin menegaskan doktrin dasar PKC -- yang sejak awal sudah digariskan Mao Zedong bahwa partai adalah kekuatan yang menguasai tentara. Bukan sebaliknya. Sikap seperti ini sudah ditempuh Deng sejak awal 1980-an, ketika ia mulai memperbesar kekuasaannya, dengan menyingkirkan sejumlah perwira senior. Tampak jelas bahwa Deng tak mau terjebak oleh keadaan, seperti dialami Mao Zedong sewaktu Revolusi Kebudayaan ketika militer, di bawah kepemimpinan Lin Biao, setelah berjasa buat Mao, akhirnya menguasai mayoritas jaringan PKC. Kini, kendati tentara sudah berperan penting membersihkan para pemuda yang hendak mendongkel tokoh-tokoh tua dari kursi kepemimpinan lewat demonstrasi besar di Lapangan Tiananmen, Deng tak sedikit pun memberi konsesi. Dengan demikian, Deng sekaligus melepaskan tendangan ke samping, yang sasarannya adalah Yang Shangkun. Hampir tak ada lagi yang meragukan, Presiden Yang Shangkun, yang merangkap sebagai Wakil Ketua Komisi Militer Pusat, sudah menyiapkan diri membentuk sebuah dinasti dalam kekuasaan militer. Ia mengincar jabatan yang sekarang dipegang Jiang Zemin, sementara adiknya, Yang Baibing, sudah diupayakannya menjadi Sekretaris Jenderal Komisi Militer Pusat. Salah satu anggota Komisi adalah Chi Haotian. Maka, ada yang berpendapat bahwa dalam situasi sekarang Jiang adalah pilihan tepat sebagai jawaban kemelut perebutan kekuasaan di Beijing. Minimal ia diharapkan bisa menjadi jembatan antara kelompok reformis dan konservatif. Jiang, kendati dikenal berpikiran progresif untuk kelanjutan reformasi, adalah tetap seorang yang menganggap komunisme -- sesuai dengan penafsiran PKC -- sebagai ideologi yang mutlak. Sikap ini tampak jelas dalam pidato resmi Peringatan ke-40 berdirinya RRC bulan lalu. Ia pula yang pada awal kekuasaannya sebagai ketua partai meminta kepada para pendidik dan akademisi untuk mengajak para pemuda kembali ke jalan ideologi. Bahkan, ketika mengetahui bahwa komunisme di Eropa Timur sudah ambrol, dengan klimaks diruntuhkannya Tembok Berlin itu, Jiang tidak terusik. Ia hanya mengatakan, "Kami di RRC tetap akan berada pada jalur keyakinan kami." Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini