Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Damai yang bikin pusing

Tembok Berlin runtuh. Perdamaian Jer-Bar dengan Jer-Tim bisa pula bikin pusing. Akan makin banyak imigran dari Jer-Tim di Jer-Bar & perebutan lapangan kerja tak terhindarkan lagi. Menguntungkan Jer-Tim.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAPI apakah runtuhnya Tembok Berlin akan mendatangkan perdamaian yang bikin pusing? Setidaknya bagi Nyonya Frau Kauffmann dan beberapa orang Jerman Barat yang sependapat dengan dia, perdamaian itu memusingkan. Setidaknya itu akan menyebabkan makin banyak imigran dari Jerman Timur di Jerman Barat, dan perebutan lapangan kerja tak terhindarkan lagi (lihat Runtuhkan Tembok itu, Runtuhkan Bata itu...). Sementara itu, bagi Jerman Timur sendiri bisa jadi perdamaian adalah awal dari pembangunan. Sudah ada janji bantuan ekonomi dari Kanselir Helmut Kohl. Tapi di luar hubungan kedua Jerman, persoalan tak cuma berkisar pada soal ekonomi. Tembok itu sudah sejak awalnya, 1961, merupakan simbol perang dingin antara Timur dan Barat, menggarisbawahi berdirinya NATO dan Pakta Warsawa di akhir 1940-an. Pertanyaannya kemudian adalah, bila perang dingin sudah tak lagi panas, untuk apa tentara-tentara yang tergabung dalam kedua pakta militer itu. Jawaban yang mudah, tentu saja, dibubarkan. Dan Gorbachev, tokoh yang bisa disebutkan pelempar bola pertama untuk bergeraknya pembaruan dan perubahan di kubu sosialis, memang sudah mengeluarkan pernyataan belum lama ini. Kata dia, bila ada anggota Pakta Warsawa yang ingin mengundurkan diri, ia tak keberatan. Siapa tahu sebentar lagi Hungaria yang sudah tanpa "Rakyat" itu akan menjadi penulis surat mengundurkan diri yang pertama. Mungkin disusul Polandia. Negeri tersebut terakhir, yang kini dikendalikan oleh pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Solidaritas, sudah menyatakan akan mengurangi jumlah pasukannya di Pakta Warsawa. Dari kedua negeri ini Soviet sendiri sudah menarik sebagian tentaranya. Tapi masalahnya tentulah tak sesederhana merobohkan tembok dengan beliung. Seandainya pun keputusan tak sampai pada pembubaran pakta militer, hanya terbatas pada perlucutan senjata besar-besaran, ini pun sudah menjadi masalah. Kecurigaan pihak yang satu terhadap yang lain sedikit banyak tetap ada -- benarkah pihak lawan memenuhi perjanjian, atau melakukan manipulasi? Beberapa waktu lalu AS memprotes karena Soviet tetap memasang radar di kawasan Siberia yang menurut perjanjian kedua negara radar itu mesti dibongkar sudah. Sementara itu, perdamaian juga dicemaskan oleh beberapa pihak menjadi awal bersatunya Jerman kembali, dan kemudian negeri itu memutar film lama lagi, berniat mencaplok Eropa. Prancis, misalnya, belum bisa melupakan sejarah dua Perang Dunia. Negeri inilah yang pada awal-awal peperangan jadi sasaran Jerman. Orang Prancis suka mengutip kembali kata-kata sastrawan Francois Mauriac, "Saya begitu cinta Jerman, hingga saya ingin di sana ada dua buah." Dilihat dari dalam Jerman Barat sendiri, bersatunya Jerman tampaknya mungkin terjadi. Berbeda dengan kecemasan Nyonya Kauffmann, menurut tiga pol majalah The Economist, di Jerman Barat makin banyak responden yang berharap Jerman bersatu (1969 dan 1972, 78%, dan pol 1987, 80%). Meski, berdasarkan faktor-faktor luar -- seandainya Jerman bersatu lagi -- akan terjadi dalam waktu yang masih lama. Gorbachev, yang memuji keputusan Krenz membuka Tembok Berlin, tetap menyebut-nyebut soal "Eropa seperti biasanya." Ini oleh Gennady Gerasimov, juru bicara Departemen Luar Negeri Soviet, dijabarkan sebagai, sudah seharusnya Jerman tetap ada dua, karena "kedua negara tergabung dalam dua blok militer berbeda." Singkat cerita, masih ada keberatan-keberatan, apa pun alasannya, untuk adanya satu Jerman saja. Tapi perubahan-perubahan yang demikian cepat terjadi di negeri-negeri sosialis -- mewujudkan hal-hal yang dekat sebelumnya sulit dibayangkan -- bisa saja membuat Jerman bersatu. Bila ini terjadi, bukannya tak mungkin akan mendorong cepatnya perubahan di Cekoslovakia, Rumania, dan Bulgaria (Bulgaria tampaknya sudah mulai berubah). Dan itu tentulah mempengaruhi Ekonomi Regional Eropa 1992. Tapi keadaan yang dibayangkan oleh Sersan dalam drama Bertolt Brecht itu tampaknya masih sulit terwujud. Masih ada sumber konflik Timur-Barat di Korea, Amerika Latin, dan mungkin RRC. Selain itu, sumber konflik yang lain masih juga hidup di Timur Tengah. Dan potensi konflik bisa saja tumbuh di Jepang, yang mulai menyimpan suara-suara agar negeri ini mendirikan industri militer. Bedanya, barangkali, konflik di sejumlah tempat ini masih bisa dilokalisasikan. BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus