Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMARI kanan Najem Eddinn, 38 tahun, tak utuh lagi. Dua ruas jempolnya hilang, sedangkan telunjuknya kehilangan satu ruas. Perban cokelat selalu menutup jemarinya yang buntung. Ke mana pun ia pergi, Kalashnikov selalu disandangnya. "Saya masih bisa menembak dengan jari tengah," katanya Rabu tiga pekan lalu.
Dua jarinya terluka akibat ledakan mortir sewaktu bertempur lima bulan lalu di kota kelahirannya, Azaz, Suriah utara. Empat belas bulan lalu, Najem meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual buah dan sayur di Libanon dan bergabung dengan Tentara Pembebas Suriah. Ia mengaku sudah lama membenci sekte Alawi—Presiden Bashar al-Assad berasal dari suku ini—yang beraliran Syiah. "Semua posisi penting di Suriah dikuasai Alawi. Bashar membenci kami, kaum Sunni," katanya.
Kebencian terhadap rezim Bashar bukan baru-baru ini muncul. Ali Hadad, 49 tahun, asal Latakya, sudah lama mendendam terhadap ayah Bashar, Hafez al-Assad. Peternak sapi ini dipenjara 12 tahun oleh rezim Hafez karena menjadi pengikut Al-Ikhwan al-Muslimun. Pada awal 1980-an, pemerintah menangkap dan membunuh sekitar 2.000 anggota Al-Ikhwan yang menginginkan kemerdekaan. Pembantaian terjadi di Hama, 200 kilometer utara Damaskus.
Dendam kembali menyala ketika revolusi dimulai dengan unjuk rasa di Kota Dara’a pada Maret 2011. Mereka yang membenci penindasan pemerintah dan kaum Alawi bangkit. Jumlah warga Alawi kurang dari 13 persen penduduk Suriah tapi begitu berkuasa.
Mereka datang dari berbagai kalangan. Moaatze Soltan, 20 tahun, misalnya, tak melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Aleppo. Polisi menahannya 10 hari karena ia berunjuk rasa menentang pemerintah. Pemuda asal Hama ini mengaku dipaksa menyebutkan Presiden Bashar sebagai pemimpin tertinggi. Karena menolak, kepalanya dihantamkan ke tembok. Ia juga dipukuli dan disetrum.
Sejak satu setengah tahun lalu, ia bergabung dengan khatiba—grup pemberontak—Aaseft al-Shamal alias Badai Utara, yang berperang di Azaz dan Aleppo. Sebagai penembak jitu, Moaatze mengaku telah menghabisi lima tentara pemerintah. Namun ia tak bergembira. "Mereka saudara saya juga. Tapi, kalau saya tak menembak, saya ditembak," katanya.
Yahia, 22 tahun, juga tak melanjutkan kuliah di Jurusan Pertanian Universitas Aleppo. Sudah 14 bulan ini dia berperang. Sebelumnya, selama tiga hari ia dilatih menggunakan Kalashnikov. Sepuluh bulan ia bertempur di Hama, dan empat bulan terakhir di Aleppo. Gaya anak mudanya tak hilang. Rambutnya terpoles gel, dan aroma parfum meruap dari pakaian loreng cokelat yang dikenakannya. "Dari dulu saya selalu menyemprotkan parfum," kata Yahia, yang tak ingat apa merek parfumnya bisa membuat mual orang lain itu.
Serdadu oposisi juga diisi para jebolan peserta wajib militer dan desertir tentara pemerintah. Jalal Kurt Hasan, 19 tahun, dua pekan lalu bergabung dengan pemberontak. Selama satu setengah tahun pemuda asal Ar-Raqqah, utara Aleppo, ini bergabung dengan tentara Assad. Tapi penganut Sunni yang sedang menjalani wajib militer ini mengaku tak pernah menembak pemberontak. Ia justru kecewa karena komandannya menyuruh menembaki warga tak bersenjata. Tembakannya sengaja dibikin meleset.
Tak tahan berada di barisan pemerintah, Kamis malam dua pekan lalu Jalal diam-diam lari dan menelepon kakaknya yang sudah bergabung dengan pasukan oposisi. Ia dijemput, dan menjalani pemeriksaan pemberontak. Menurut Jalal, sembilan temannya lebih dulu melakukan desersi. Entah benar entah tidak cerita Jalal, Abu Ahmad, komandan khatiba Abu Jereen, yang menampung Jalal, tetap percaya. "Dia bisa membantu kami melawan tentara Assad," kata Abu Ahmad.
HAMPIR semua gerilyawan menggenggam senapan legendaris Kalashnikov asal Rusia, meski ada juga yang membawa Steyr AUG, senapan, dan pistol di pinggang. Kebanyakan mengenakan rompi—bukan antipeluru—yang di dalamnya berisi granat dan magasin. Pun senjata jarak jauh buatan FN Herstal, Belgia, serta buatan Cina ikut digunakan para penembak jitu. Mereka juga membuat pelontar mortir buatan dari pipa besi.
Komandan khatiba Aaseft al-Shamal alias Badai Utara, Qadoor Ahmad Yawrom, mengatakan para gerilyawan merampas senjata itu dari tentara pemerintah yang kalah. Ahmad sekarang selalu berpatroli dengan Toyota Hilux yang mengangkut DHSK, senapan antipesawat. Ia mengaku mendapatkan mobil itu saat bertempur di Azaz.
Mereka juga terbantu oleh tentara pemerintah yang mencari duit dengan menjual senjata. Seorang pendukung oposisi mengaku membeli senjata dari beberapa orang di Turki sekitar US$ 2.500. Setiap peluru Kalashnikov harus ditebus dengan US$ 2. "Ada pengusaha Suriah dan Arab yang mendukung gerakan kami," kata pendukung yang tak mau disebutkan namanya ini.
Dukungan dana juga berasal dari penduduk simpatisan oposisi. Abdullah, 41 tahun, warga bagian barat Azaz, mengaku meminta istrinya menjual perhiasan untuk membeli satu Kalashnikov, yang diserahkan ke pemberontak. Abdullah tak mau berperang karena empat anaknya masih kecil. Sebagian duit dari masyarakat digunakan untuk membayar "gaji" gerilyawan. Najem Eddinn, misalnya, mengaku mendapat US$ 150 tiap bulan dari komandannya di Aleppo.
Mahalnya harga peluru membuat Qadoor Ahmad selalu meminta anggotanya tak asal menembak. Tapi kadang rentetan tembakan terlontar begitu saja. Ia mengakui, sebagian besar gerilyawan tak memiliki latar belakang militer. Ahmad sendiri membuka bengkel mobil sebelum berperang. Mereka yang berpendidikan militer ikut melatih rekannya yang tak pernah memegang senjata. Ahmad mengibaratkan para pejuang Suriah seperti Ernesto "Che" Guevara dan Fidel Castro, yang bertempur membebaskan Kuba. "Mereka bukan militer, tapi bisa menang," katanya.
ABU Otman selalu ditunggu anggota khatiba Badai Utara. Setiap kali datang dengan mobil yang berganti-ganti, entah milik siapa, Otman membawa makanan dan rokok. Selasa siang tiga pekan lalu, ia membawa khobz, roti khas Suriah, dan mamunia, kuah kental manis. Pada kesempatan lain, ia membawa kebab dan Pepsi. Sebagian pemberontak berkumpul dan makan bersama dengan sendok masing-masing. Tanpa piring.
Kamis malam, Otman membawa bom besar yang gagal meledak di kawasan sekitar. Tiga orang yang menggotongnya kewalahan. "Bom ini dibeli dengan duit rakyat, tapi dijatuhkan juga untuk rakyat," kata Otman kesal. Bom itu akan dibuka, peledaknya diambil, dan dikembalikan ke tentara pemerintah melalui pelontar buatan dari batang besi. Saya sedikit cemas membayangkan malam itu lima lantai di bawah ruang saya menginap tersimpan bom.
Malam itu tak terjadi apa-apa. Ahmad Qadat asyik memutar lagu dari telepon genggamnya. Bekas mahasiswa Jurusan Komputer Universitas Aleppo itu mendapat tugas jaga malam. Teman-temannya yang sedang tak berperang tertidur di sejumlah kamar di kawasan rumah toko di Bustan al-Basha. Satu temannya mempereteli dan membersihkan Kalashnikov.
Mereka tak galau meski pesawat pemerintah berputar di langit Aleppo. Saat bunyi mortir terdengar di kejauhan, mereka tak seperti saya yang memasang telinga baik-baik. "Kun fayakun," kata Abdul Qader Haj Othman, pemberontak yang kini bersenjata kamera untuk mempublikasikan pertempuran melalui YouTube.
Toh, pemberontak tetap manusia biasa yang butuh liburan. Hampir setiap hari, ada saja tentara yang kembali ke rumahnya. Kebanyakan berasal dari Azaz, 75 kilometer di utara Aleppo. Mereka mendapat cuti per dua bulan selama 3-4 hari. Komandan Badai Utara, Qadoor Ahmad Yawrom, yang garang saat menggunakan DHSK antipesawat, juga mengaku rindu keluarganya. "Setiap menit saya merindukan mereka," kata bekas mekanik yang keluarganya mengungsi ke Turki itu.
Para pemberontak juga tak melulu serius mempertaruhkan nyawa. Kamis siang, saat berkunjung ke kawasan Kota Tua Aleppo, saya berjumpa dengan satu khatiba penjaga daerah itu. Mereka menjamu saya dengan teh hangat dan bertanya melalui sopir sekaligus penerjemah saya, Alaaeddin, mengenai dukungan Indonesia terhadap Suriah.
Saat saya berpamitan, mereka berkumpul di dekat saya. Tiba-tiba terdengar suara bom jatuh dari atas kami. Para pria berjenggot tebal itu berteriak dan lari ke berbagai penjuru, sementara saya hanya pasrah membungkukkan badan sambil menutup telinga. Tak ada ledakan. Ternyata itu hanya suara rekaman bom yang diputar melalui pengeras suara ponsel seorang pemberontak. Mereka tertawa terbahak-bahak, kemudian merangkul saya, yang masih bermuka merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo