Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah dari Wilayah Bendera Tiga Bintang Merah

Di kawasan utara Damaskus hingga perbatasan Suriah dengan Turki, daerah-daerah peperangan menyebar. Tapi pengaruh Tentara Pembebas Suriah (FSA) lebih kuat di sana. Bendera resmi "merah-putih-hitam berbintang dua hijau" digantikan simbol pembebasan—seperti yang digunakan ketika Suriah memerdekakan diri dari Prancis—"hijau-putih-hitam dengan tiga bintang merah". Dalam konflik yang berlangsung hampir 20 bulan ini, pasukan perlawanan yakin, bila sudah berhasil menguasai Aleppo, sasaran berikutnya adalah Ibu Kota, yang berjarak sekitar 300 kilometer ke selatan. Stefanus Teguh Edi Pramono dari Tempo mereportase dari titik-titik panas.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DISTRIK Salaheddin, Kota Aleppo, Suriah, bagai tak bertuan, Sabtu siang dua pekan lalu. Tak ada lagi penduduk yang tinggal di sini. Sebagian gedung jebol, hasil perang hebat sejak Ramadan lalu. Hanya sampah dan reruntuhan bangunan memadati jalan. Cengkeraman musim dingin dalam sebulan terakhir menambah getir kawasan ini.

Menjelang asar, gaung tembakan memecah sepi. Tiga laki-laki menggenggam Kalashnikov berlari dari salah satu markas Tentara Pembebas Suriah di jalan yang saya lewati dua menit sebelumnya. Di dekat Bundaran Salaheddin—luasnya mungkin hanya sepersepuluh Bundaran Hotel Indonesia—ketiganya berbelok ke timur dan menghilang. Kalashnikov kian ramai terdengar.

Dentum mortir meramaikan pertempuran. Ledakannya menggelegar di langit biru kawasan itu. Entah di mana peluru kaliber besar yang dilontarkan pasukan pemerintah Suriah itu mendarat, tapi ledakannya menyayat telinga dan menciutkan nyali. Saya yakin, rompi antipeluru seberat sembilan kilogram yang membebat badan tak berfaedah banyak jika mortir meledak di samping saya.

Melalui radio panggil, Abdul Nasar, yang berjaga 50 meter dari Bundaran Salaheddin, mendengar laporan dari garis depan pertempuran. Ia melarang saya dan Abdo Ibrahim, sopir sekaligus penerjemah saya, melangkah lebih jauh. "Terlalu berbahaya. Ada mortir dan sniper," katanya dalam bahasa Arab.

Seorang gerilyawan berlari ke arah kami. Ia berteriak, temannya terluka. Abdul Nasar memerintahkan rekan di dekatnya menjemput pejuang yang terluka. Dengan kecepatan penuh, mobil pikap yang dikemudikannya berlari di antara reruntuhan gedung. Tak lama, mobil itu kembali ngebut lewat depan kami, menuju Dar al-Shifaa, rumah sakit gawat darurat bagi pasukan penentang Presiden Bashar al-Assad di Aleppo.

Dari arah Bundaran Salaheddin, seorang pemberontak berjalan lamban menyandang dua Kalashnikov. Tangannya menyeret rompi antipeluru yang berlumur darah. Sambil menahan tangis, dia bercerita, temannya terkena ledakan mortir. Belum selesai ia berbicara, ledakan artileri kembali terdengar. Kali ini lebih keras, pertanda jaraknya lebih dekat. Saya dan Abdo memutuskan pergi. Ketika mobil kami keluar dari Salaheddin, saya menoleh ke belakang. Asap hitam mengepul di antara gedung bertingkat.

Tiga jam sebelumnya, pertempuran juga terjadi di Distrik Bustan al-Basha. Seorang pemberontak dari khatiba—grup pejuang—Ar Arar al-Sham meminta kami menunggu sejenak di markasnya. Menurut dia, pertempuran terjadi di dekat sebuah gereja yang telah porak-poranda, tempat yang akan saya kunjungi, sekitar 200 meter dari markasnya.

Berkali-kali letusan senapan penembak jitu terdengar. Artileri tak mau ketinggalan berpesta. Ledakannya menggetarkan gedung pertokoan dan apartemen yang sebagian besar tak utuh lagi. Kian lama, frekuensinya meningkat. Gerilyawan tadi menggelengkan kepala, tanda saya tak bisa melihat gereja itu. Ia bahkan meminta kami segera meninggalkan wilayah itu

Perang terulang di Kota Aleppo. Tiga pekan lalu, saat saya pertama masuk Aleppo, suara dar-der-dor tak banyak terdengar. Mungkin karena pemerintah dan pemberontak menyepakati gencatan senjata selama libur Idul Adha empat hari. Selepas hari raya kurban itu, terjadi eskalasi pertempuran.

Di tengah riuh tembakan, saya melihat seorang gerilyawan tertidur dengan selimut menutup hingga ke leher. "Semalam tentara Bashar mengerahkan tank. Dia bertempur semalaman," kata rekannya. Mungkin hanya tidur yang bisa membuat pemuda itu melupakan keganasan perang di Aleppo.

n n n

TAK ada lagi sekolah di utara Suriah. Sebagian gedung sekolah tinggal puing. Anak-anak berkeliaran di jalan. Mungkin bocah-bocah yang berpakaian tebal dekil itu tak peduli. Di Kota Azaz, empat rongsokan tank milik pemerintah yang belum disingkirkan dari masjid utama menjadi pengganti taman bermain. Sejumlah anak asyik bergelantungan di laras meriamnya.

"Sejak Februari, sekolah ditutup. Dan sejak saat itu saya tak pernah lagi melihat murid-murid saya," kata Abdullah, 60 tahun, guru sekolah dasar. Abdullah sempat mengungsi ke Aleppo saat perang besar dimulai di Azaz pada awal tahun ini. Ia sempat mendapat kabar, kakak-adik yang menjadi muridnya malah tewas saat mengungsi ke Anadan, kota kecil dekat Aleppo.

Bukan cuma sekolah, sebagian besar rumah dan gedung remuk, yang lain rata tanah. Di tembok yang tersisa, tercoret beragam grafiti, dari slogan perjuangan "menang atau mati", ungkapan religius seperti "kita manusia pilihan Allah", hingga makian terhadap Bashar al-Assad.

Semuanya bermula dari unjuk rasa menentang Bashar al-Assad, yang dimulai pada Maret 2011 di Kota Dara’a, seiring dengan revolusi Musim Semi Arab yang menggulingkan pemerintahan di Tunisia, Mesir, dan Libya. Sikap represif pemerintah yang menewaskan para demonstran memunculkan perlawanan bersenjata di hampir semua kota di Suriah.

Di wilayah utara yang dikuasai pemberontak, foto presiden berusia 47 tahun itu lenyap dari kantor pemerintah. Bendera merah-putih-hitam dengan dua bintang hijau yang penggunaannya diputuskan presiden sebelumnya yang juga ayah Bashar, Hafez al-Assad, tak lagi dikibarkan. Hanya ada bendera hijau-putih-hitam dengan tiga bintang merah. Bendera yang digunakan saat perjuangan melawan penjajahan Prancis ini menjadi simbol perlawanan oposisi yang tergabung dalam Tentara Pembebas Suriah.

Dalam perjalanan menuju Aleppo, dengan mobil van Asia buatan Korea yang dikemudikan Abdo Ibrahim, saya melihat lambang bendera tiga bintang tertempel di mana-mana, dari rumah penduduk, kendaraan, hingga tembok masjid. Tentu saja, di pos pemeriksaan milik pemberontak di jalan keluar-masuk kota, bendera serupa berkibar.

Para pemberontak hampir selalu memeriksa semua kendaraan yang melintas. Mereka menghalangi jalan dengan tumpukan batu. Abdo mengucap "assalamualaikum" setiap kali berjumpa dengan mereka. Terkadang ia menunjukkan secarik kertas bercap pusat media Azaz, yang menjadi surat izin kami memasuki kawasan pemberontak.

Tak sulit mendapatkan surat izin itu. Cukup menyerahkan paspor di kantor imigra­si di perbatasan Bab al-Salama, petugas imigrasi yang tak bertanya apa pun—bahkan melihat muka saya pun tidak—langsung memberi cap di lembaran visa. Pusat media di perbatasan akan memberikan surat izin bercap bendera tiga bintang bagi para jurnalis. Itu saja. Jauh lebih mudah ketimbang menunggu visa selama tiga bulan lebih di Kedutaan Besar Suriah di Jakarta. Di setiap pos pemeriksaan, kertas sakti itu membuat kami bebas menuju Aleppo, satu setengah jam dari Azaz.

Kini jalan di utara Suriah begitu lengang. Lampu pengatur lalu lintas tak menyala lagi. Tak ada lagi truk besar yang mengangkut barang-barang dagangan dari arah Turki menuju Suriah di jalur yang saya lewati. "Dulu di sini selalu ramai kendaraan," kata Abdo Ibrahim. Begitu juga dengan bus antarkota tak lagi berseliweran. Jalan hanya dilintasi sepeda motor, dengan penumpang tanpa helm, bahkan kebanyakan tak berpelat nomor. Mobil pribadi yang lewat tak seberapa jumlahnya, juga angkutan seperti mobil kami, yang berkapasitas 18 orang. Satu angkutan bisa dijejali 25-30 penumpang.

Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan bentangan tanah luas yang terlihat hingga cakrawala tak lagi ditanami pohon zaitun, anggur, atau sayuran. Hanya tiang listrik dan rumput liar yang mengakar. "Kalaupun ada lahan di Suriah ditanami, itu hanya milik orang sangat kaya," kata Qanan Bkour, 28 tahun, petani di desa kecil dekat Marea. Lahan satu hektare yang biasa ditanaminya dengan tomat dan kentang kini menganggur.

Qanan menjual traktor untuk membantu menghidupi istri dan satu anaknya. "Kini tak mungkin menggunakan traktor karena harga bensin mahal," katanya. Harga bahan bakar itu melonjak tajam dari 50 pound Suriah atau sekitar Rp 7.000 per liter menjadi 110 pound atau sekitar Rp 15 ribu. Berbeda dengan di Libya yang pasokan bahan bakarnya tetap terjamin meski sedang perang, semua pompa bensin di seluruh utara Suriah tutup, bahkan musnah terkena mortir dan bom.

Tapi tak sulit mendapat bensin. Menjual bensin dan rokok menjadi pekerjaan favorit di kawasan utara. Dalam rentang seratus meter, seperti di Souran, kota kecil dekat Azaz, misalnya, bisa ada 3-10 penjual bensin. Salah satunya Ahmed Ali, 20 tahun. Corong dan jeriken bensin menggantikan buku kuliahnya di Jurusan Sastra Arab Universitas Aleppo.

Ahmed takut kuliah lagi karena tiga bulan lalu polisi menahannya selama dua pekan. Musababnya, kartu identitasnya menyebut Marea—salah satu basis pemberontak—sebagai tempat lahir. Ia harus menjaga drum bensin yang dibawa ayahnya dari pusat penjualan bensin di Manbij, Aleppo. "Apa lagi yang bisa saya kerjakan? Tak ada pekerjaan lain," kata Ahmed, yang mengenakan sweater dan jins kumal.

Perang di negeri ini juga mengakibatkan pabrik-pabrik tutup. Di kawasan indus­tri Sheikh Najjar, Aleppo, ataupun di pinggiran Kota Albab, udara begitu bersih. Tak ada lagi asap pabrik dan buruh bekerja. Di sebagian besar wilayah utara Suriah, listrik hidup-mati bergantian selama tiga jam. Terkadang, setrum tak mengalir lebih dari tiga jam.

Berbeda dengan di Albab yang relatif tak menghadapi perang kota lagi karena sudah dikuasai gerilyawan, di dalam Kota Aleppo, hanya sedikit toko buka. Abu Omar, penjual mebel di Jalan Asha, Aleppo, mengeluh duit yang diperolehnya kini tak seberapa. "Dulu sehari bisa dapat 3.000 lira. Tapi sekarang siapa yang mau beli kasur dan lemari?" katanya.

Pertempuran di Aleppo memang baru terjadi pertengahan tahun ini. Tapi setiap hari selalu ada korban perang. Dokter di Rumah Sakit Dar al-Shifaa Osman Hajj, Aleppo, mengaku biasa menangani 140 orang tiap hari. Paling parah saat Ramadan lalu. "Ada 70 orang tewas akibat ledakan bom di permukiman sekitar sini," katanya. Rumah sakit itu pun lima kali diserang dengan mortir dan bom.

Dalam hitungan bulan, kota terbesar di Suriah ini tak lagi terawat. Jalan begitu kotor. Rongsokan bus, truk, dan tank menghadang di sejumlah ruas jalan yang penuh lubang. Bahkan penduduk enggan menyingkirkan bangkai kucing yang terlindas kendaraan. Sampah menggunung di mana-mana, termasuk di Taman Al-Sakhour. Taman yang dulu dipenuhi pengunjung itu kini sepi, hanya dilintasi orang yang berjalan terburu-buru.

Sabtu sore dua pekan lalu, di taman ini, tatkala dingin kian menjajah Aleppo, Fakhry, 17 tahun, penduduk sekitar Taman Al-Sakhour, menggergaji batang pohon yang lapuk. "Tak ada uang untuk beli kayu. Padahal kami harus memasak dan mengusir dingin," katanya. Sebagian penduduk kawasan itu menebangi pohon yang menjulang. Mereka mengambil kayu yang masih melimpah. Bahkan bangku taman, perosotan dan ayunan, serta kanopi di taman ini hanya menyisakan besi berkarat.

n n n

GELOMBANG pengungsi tak terhindarkan dari berbagai penjuru Suriah. Lembaga urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), akhir September lalu, memperkirakan jumlahnya mencapai 700 ribu orang, tersebar hingga ke negara lain, seperti Turki, Libanon, dan Yordania. Sebagian wilayah di Aleppo seperti Salaheddin, Bustan al-Basha, dan kota lain, misalnya Marea serta Azaz, minim penduduk.

Di Bab al-Salama, dekat Kota Azaz, paling tidak ada 6.000 pengungsi yang menempati 500-an tenda. "Setiap hari jumlahnya bertambah. Minimal 50 pengungsi baru datang ke sini," kata Ismail al-Snne, salah satu pengungsi yang juga menjadi penanggung jawab wilayah timur pengungsian di perbatasan. Di sini, satu tenda pengungsi bisa diisi 10-15 orang dari satu keluarga.

Mereka yang mengungsi ke Turki juga terus berdatangan. Kebanyakan kalangan berduit yang membawa kendaraan. Di Kota Kilis yang berbatasan langsung dengan Suriah, warga Suriah terlihat di mana-mana. Yassir Shada, 40 tahun, membawa istrinya, Jhanim, dan dua anaknya ke Kota Kilis. Pengusaha properti ini kembali meninggalkan rumahnya di kawasan elite Kafer Hamra, Aleppo, Selasa dua pekan lalu.

Padahal belum ada sebulan Yassir kembali lagi ke Aleppo setelah mengungsi empat bulan di Turki. Tapi bom yang menghancurkan rumah tetangganya sehari sebelumnya membuat Yassir kembali menge­pak koper. "Cukup. Saya tak akan kembali sebelum Bashar jatuh," katanya.

Sabtu malam dua pekan lalu, dari perbatasan saya memandang ke arah Kota Kilis yang penuh lampu kota. Terangnya begitu kontras dengan Kota Azaz yang gelap.


20 Bulan Dibakar Konflik

PROFIL

Republik Arab Suriah

  • Merdeka dari Prancis pada 17 April 1946
  • Ibu kota: Damaskus
  • Presiden: Bashar al Assad
  • Perdana menteri: Wael Nader al-Halqi
  • Penduduk: 22,5 juta
  • Perbatasan: Libanon dan Laut Mediterania di barat, Turki di utara, Irak di timur, Yordania di selatan, dan Israel di barat daya.
    Bashar al-Assad, 47 tahun, memimpin Suriah menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad. Hafez berkuasa selama 29 tahun hingga meninggal pada 2000. Keluarga Assad berasal dari etnis Alawi, yang menganut Syiah.
    Partai Ba,ath menguasai pemerintahan dan parlemen; 135 dari 250 anggota parlemen berasal dari partai sosialis ini.
    Alawi, etnis minoritas yang jumlahnya 12 persen dari populasi Suriah, menguasai posisi-posisi penting di pemerintahan. Secara tradisional, mereka tinggal di pegunungan Alawi di sepanjang pesisir Mediterania, seperti Latakia dan Tartus. Mereka juga tinggal di Homs dan Hama.
    Maret 2011, pecah pemberontakan di Suriah, efek domino dari Musim Semi Arab sejak Desember 2010 yang berawal dari Tunisia lalu merembet ke Mesir, Libya, Yaman, dan Bahrain. Lebih dari 35 ribu orang tewas di Suriah.
    Rezim Assad bertahan karena dukungan Cina dan Rusia, yang memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Suriah adalah pembeli utama senjata Rusia.
    Pasukan Garda Revolusioner Iran ikut bercokol di Suriah. Iran menganggap Suriah sebagai poros utama perlawanan terhadap Barat dan negara-negara Sunni, seperti Arab Saudi dan Qatar. Poros lainnya adalah Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina.
    Tentara Pembebas Suriah (FSA), kelompok oposisi utama Suriah, mengklaim menguasai sejumlah kota penting, seperti Aleppo, Idlib, Homs, dan Hama, serta sebagian wilayah Damaskus.
    Suriah menjadi tempat lalu lintas minyak dan gas di kawasan itu. Pada Juli 2011, Iran, Irak, dan Suriah menandatangani perjanjian pembangunan pipa gas senilai US$ 10 miliar. Pipa akan menghubungkan ladang gas di Iran dan Irak dengan pelabuhan-pelabuhan di tepi Laut Mediterania, seperti Baniyas, Latakia, dan Tartus. Tujuannya, melancarkan ekspor ke Eropa.
    Amerika Serikat berkepentingan terhadap situasi di Suriah karena negara itu berbatasan langsung dengan Israel. Karena itu, Amerika bersikap jauh lebih berhati-hati ketimbang menghadapi situasi di Libya.

    Naskah: Sapto Yunus (Pelbagai Sumber)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus