Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIRING keramik putih berserakan di depan satu kios di Souq al-Madina, Aleppo, Suriah, Ahad tiga pekan lalu. Pecahannya bercampur dengan puing atap toko. Dari pintu dorong yang terbuka sebagian, terlihat tumpukan piring serupa berdebu tebal. Pemiliknya entah ke mana.
Sama seperti kios itu, ribuan pintu dorong mengunci rapat kios-kios lain. Tak ada lagi transaksi di pasar yang terletak di kawasan Kota Tua Aleppo itu. Akhir September lalu, perang hebat yang terjadi di kawasan tersebut mengakibatkan ribuan kios di pasar yang dibangun pada abad ke-14 itu luluh-lantak. "Kebakaran di mana-mana," kata salah seorang Tentara Pembebas Suriah yang menemani saya masuk kawasan pasar.
Sebagian kios bernasib sial. Dinding dan pintunya jebol. Bahkan sebagian toko menyisakan pintu besi yang melengkung ke luar karena terkena panas. Di lorong pasar, abu bakaran menutup seluruh lantai, bercampur dengan bongkahan batu dan pasir. "Padahal pasar itu dulu sangat indah," kata Abdul Ablau, 50 tahun, penduduk sekitar.
Saya setuju dengan Abdul Ablau. Sebelum terbang ke Suriah, saya mencari gambar pasar yang ditabalkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, lembaga kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ini melalui Internet. Begitu bersih, dan sangat cantik. Keledai bisa masuk membawa barang dagangan.
Masuk ke pasar tertutup ini serasa berada di bawah tanah. Atap pasar yang tinggi melengkung berbentuk bulat-kerucut menyisakan lubang-lubang cahaya. Sinar matahari yang jatuh ke lantai batu seperti menghasilkan panggung-panggung teater mini di seluruh lorongnya.
Menurut situs Wikipedia, pasar sepanjang 13 kilometer ini merupakan salah satu pertemuan Jalur Sutra yang menghubungkan Timur dengan Barat. Ahli antropologi sosiokultural asal Austria, Eric Robert Wolf, dalam bukunya, Europe and the People without History, pun menyebutkan Aleppo sebagai salah satu daerah Jalur Sutra.
Pasar ini terbagi dalam beberapa wilayah dengan gaya arsitektur berbeda. Tapi kini hanya ada dua wilayah dengan pembagian berdasarkan kategori penguasanya: Tentara Pembebas Suriah atau tentara pemerintah. Di sebagian kios, para gerilyawan memiliki pos-pos kecil. Siang-malam, melalui televisi yang tersambung dengan kamera, mereka mengamati lorong-lorong yang mungkin akan dilewati tentara pemerintah.
Ketika saya berkunjung ke pasar ini, gerilyawan menutup sebagian dinding yang berlubang dengan seng. Melewati seng yang masih sedikit terbuka itu, pejuang yang mengantar saya dan Alaaeddin, sopir sekaligus penerjemah, menyuruh kami berlari. "Dua ratus meter dari lubang ini ada sniper pemerintah," katanya. Kami juga harus melewati gunungan pasir dan batu untuk menuju bagian lain pasar. Lagi, kami harus berlari cepat. Saat itulah saya merasakan betapa tak enaknya menjadi pelari terakhir.
SESUAI dengan namanya, kawasan Kota Tua Aleppo memiliki banyak bangunan kuno yang sangat menarik. Tapi perang meruntuhkan sebagian rumah dan bangunan. Atau, bangunan itu tak bisa lagi dikunjungi dengan bebas. Di bagian lain Aleppo juga berdiri Masjid Ummayad, yang dibangun pada abad ke-12. Masjid ini juga sempat rusak akibat perang pada Oktober lalu. Sayang, wilayah sekitar masjid itu dikuasai pasukan pemerintah, sehingga saya tak bisa mengunjunginya. UNESCO menyatakan lima dari enam situs peninggalan dunia di Suriah terancam hancur karena perang.
Kawasan Kota Tua menjadi salah satu garis depan pertempuran antara pasukan oposisi dan tentara pemerintah. Gang-gang sempit yang berbatu itu pun kini dijaga oleh Tentara Pembebas Suriah. Jika pertempuran memanas, mereka melarang orang melintas. Sabtu dua pekan lalu, debuman mortir terdengar. Dari kejauhan, asap hitam di kawasan ini terlihat memekati langit. Mereka melarang saya masuk lebih dalam. "Sniper di mana-mana," kata seorang gerilyawan.
Menurut Mustafa Abdullah, salah satu warga yang masih tinggal di kawasan Kota Tua, ada banyak pemandian kuno di dalam kawasan ini. Salah satunya adalah pemandian Al-Kawas, yang dibangun pada 1392 atau 814 Hijriah. Tertulis di papan namanya, pemandian tertua di dunia yang dibangun pada era Kesultanan Mamluk.
Sebuah ruangan besar di samping papan itu kini begitu kotor. Bekas lampu gantung berserakan dengan warna menghitam. Satu unit mesin cuci jumbo bertinggi dua meter dibiarkan di situ. Mungkin ini tempat mencuci pakaian dan handuk bagi para pengunjung.
Pintu masuk Al-Kawas tingginya tak sampai 1,5 meter. Saya mencoba membukanya, tapi tak bisa. Seorang gerilyawan yang berjaga di dekat situ membantu saya dan Alaaeddin mendorong pintu itu. Berhasil. Deretan bangku panjang mengganjal pintu itu. Setelah itu, jalan yang kami lalui menurun. Dari lorong depannya saja, terlihat pemandian ini unik dan mewah. Dindingnya batu liat telanjang.
Di bangsal utama, satu kolam segi delapan dengan pancuran menjadi titik pusat ruangan. Di kiri-kanan terhampar tempat duduk panjang dengan bantal tipis. Atap bangsal ini berbentuk kubah dengan ornamen mirip pucuk gunungan wayang. Sayang, lubang besar menganga di kubah putih itu. Mortirlah biang keladinya.
Al-Kawas memiliki begitu banyak lorong. Saya pikir saya akan tersesat jika terus menelusuri lorong mirip labirin ini. Di kiri-kanan lorong terdapat bak kecil dari marmer dengan tinggi tak sampai dua jengkal. Dua keran di atasnya siap mengucurkan air panas dan dingin. "Kalau mandi di sini harus jongkok," kata Alaaeddin, yang mengaku pernah mencoba mandi di sini sebelum perang. Sayang, air tak lagi mengalir. Entah di bagian mana pemandian ini—karena terlalu banyak lorong—saya melihat kolam renang yang ukurannya hampir sebesar lapangan badminton.
Menurut Mustafa Abdullah, yang tinggal di wilayah sekitar, tempat ini biasa dikunjungi turis. Selain itu, calon pengantin, baik pria maupun wanita, biasa mandi di tempat ini sebelum menikah. Bagi perempuan, pemandian dibuka hingga sore. Malam harinya giliran pria. Tentu sekarang tak ada calon pengantin datang ke sini. Di tengah perang yang mengancam entah berapa banyak lagi bangunan bersejarah di Kota Tua Aleppo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo