Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pemerintah Lamban, Oposisi Bergerak

Pemerintah Turki pimpinan Perdana Menteri Bulent Ecevit dianggap lambat menangani korban gempa di wilayah barat Turki dua minggu lalu. Oposisi memanfaatkan situasi itu.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari Kita Menyembuhkan Luka ini Bersama-sama". Demikian bunyi poster-poster bergambar bulan sabit ala bendera Turki di pinggiran Kota Istanbul. Inilah gaya Partai Kebajikan Islam (Islamic Virtue Party) dalam bergerak menolong korban gempa dua pekan lalu. Mereka segera mengirim makanan panas ke tenda-tenda pengungsi yang keadaannya makin parah akibat hujan deras di Avcilar. Mereka juga cekatan mengurusi penyediaan bantuan medis dan penampungan sementara di asrama mahasiswa yang kosong karena sedang musim libur. Maklum, pemerintah memang cukup lamban bereaksi. Kejengkelan warga Turki—baik korban gempa yang selamat maupun yang tinggal jauh dari kawasan bencana—terhadap pemerintah yang lamban menangani musibah di wilayah barat Turki ini mulai memuncak menjadi kemarahan. Sehari setelah gempa, ketika tenaga penyelamat internasional sudah bergerak mencari korban yang hidup atau mati, bala bantuan dari pemerintah sendiri belum terlihat batang hidungnya. Militer—notabene pendukung paham sekuler—pun tak luput dari kecaman publik karena terlambat memobilisasi bantuan. Dalam wawancaranya dengan CNN, Perdana Menteri Ecevit mengakui adanya penundaan dalam pengiriman bala bantuan pemerintah. "Tentu saja, masyarakat berhak merasa gusar dan mengajukan protes," katanya. Tapi ia juga menambahkan bahwa gempa tersebut adalah bencana alam yang datang di luar kuasa manusia. Itu bukan berarti pemerintah tinggal diam. Minggu lalu, Ecevit memecat tiga gubernur, dari daerah bencana, yang kerjanya dianggap tak becus. Sadar akan keterbatasan dana dan sumber daya, Turki juga sudah meminta negara-negara lain mengirimkan tambahan desinfektan, vaksin tetanus, tenda, lampu senter, selimut, truk sampah, dan mesin berat yang bisa dipakai untuk membersihkan reruntuhan bangunan. Bantuan internasional pun mengalir. Sekitar 33.500 tenda tahan cuaca dari Belanda dan Amerika Serikat akan didatangkan segera. Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengirim sekitar 20 ribu kantong plastik yang bisa dipakai untuk menyimpan jenazah. Sementara itu, untuk mendapatkan sekitar US$ 20 miliar yang dibutuhkan untuk membiayai proyek perbaikan, pemerintah sudah mengajukan proposal kenaikan pajak. Pajak sebesar lima persen akan dikenakan pada kelompok bisnis, wiraswasta, dan orang kaya. Biaya bulanan untuk berlangganan telepon seluler dan pajak kendaraan bermotor dinaikkan 25 persen. Proposal yang diduga banyak pengamat akan disetujui itu—karena anggota pemerintahan koalisi menduduki kursi mayoritas di parlemen—akan dibahas Oktober mendatang saat liburan musim panas berakhir. Soal gempa ini juga menyuburkan permusuhan antara warga muslim dan sekuler di Turki. Adalah Fevzi Kisioglu yang menganggap gempa ini hukuman bagi Turki. Gempa berkekuatan 7,4 pada skala Richter, yang membunuh sedikitnya 13.472 jiwa dan menyebabkan sekitar 200 ribu orang jadi tunawisma, itu adalah yang terburuk dalam sejarah Turki abad ini. Karenanya, banyak dari kaum muslim—termasuk bekas perdana menteri Necmettin Erbakan, yang digusur militer pada 1997—menuding sekularisme yang dianut pemerintah Turki sebagai penyebabnya. Seorang pekerja bangunan yang tak mau disebut namanya menyalahkan kebijakan negara yang menutup sekolah-sekolah agama, membatasi kursus pendalaman Alquran, dan melarang pemakaian jilbab di gedung-gedung milik pemerintah. Dalam lingkaran elite politik, kelompok oposisi terlihat masih menahan diri. Di parlemen, Partai Kebajikan Islam (Islamic Virtue Party), yang lahir untuk membela gerakan religius dan merupakan kekuatan politik ketiga terbesar, masih menekankan pentingnya kerja sama dengan pemerintahan pimpinan Bulent Ecevit yang sekuler. Di depan anggota parlemen, salah seorang sesepuh partai, Lutfu Dogan, mengajak semua kelompok bersatu di "masa darurat nasional". Usia pemerintahan yang baru terpilih April lalu ini tampaknya akan ditentukan oleh efektif tidaknya upaya rekonstruksi yang dilakukannya. Reputasi PM Ecevit sebagai politisi bersih bisa menjadi amunisi untuk mempertahankan kredibilitas pemerintah. Lagi pula, rakyat masih terlalu disibukkan oleh situasi darurat dan tak punya waktu untuk memusingkan politik. Dengar saja kata Hulya Bulaca, yang, meski bersyukur dapat makanan dari kelompok oposisi, tak ambil pusing dengan motivasi yang mungkin saja menyertai upaya itu. "Mana sempat kami memikirkan partai politik," katanya sambil menutup tendanya yang terkuak oleh hujan, "saat ini yang paling penting adalah keselamatan kami sendiri." Wendi Ruky (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus