SEGENGGAM emas adalah harapan. Di Gunung Pongkor, Bogor, Jawa Barat, setiap hari sekarang ini ribuan penambang emas rela menyabung nyawa untuk harapan itu. Dengan peralatan seadanya, mereka menggerus 4.058 hektare perut bumi yang ditaksir menyimpan 30-100 ton emas—walaupun, untuk mengejar emas itu, setiap bulan sedikitnya selusin orang terkubur longsoran bukit. Data Januari sampai Oktober tahun lalu saja mencatat 115 orang tewas terkubur di Pongkor. Rabu malam pekan lalu, Pongkor kembali meminta korban, 30 orang terkubur sekaligus saat dinding gunung ambrol. Toh, penggalian jalan terus demi si kuning kemilau itu.
Selain ketiban bukit runtuh, para gurandil—sebutan penduduk untuk penambang emas liar itu—mendapat ancaman yang lebih mengerikan: merkuri alias air raksa. Di Pongkor, logam yang botolnya suka diberi tanda tengkorak saking berbahayanya itu dipakai seenaknya. Bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pengikat emas itu dipakai tanpa penutup hidung dan mulut seperti di laboratorium.
Di sana, air raksa—disebut kwik oleh para gurandil—sangat gampang didapat. Kios penjual rokok pun mengecer kwik, yang biasa di tempatkan di dalam botol minuman penyegar dan dijual Rp 100 ribu per kilogram. Yang memasoknya adalah para juragan emas dari kota-kota terdekat. Di rumah para gurandil, botol kwik juga sering terlihat bersanding dengan gelas-gelas minuman, sama sekali tanpa segel penutup yang aman.
Penggunaan kwik juga sembrono. Awalnya, gurandil menggali batu di beberapa bukit, yakni di Gunung Butak, Cepu, dan Longsoran. Batuan dengan kandungan emas ini diusung ke lembah Ciguha, tempat sekitar 200 saung (gubuk) yang terbuat dari plastik bertebaran. Di setiap saung tersedia mesin penggiling sederhana yang digerakkan diesel. Bersama air dan empat kilogram kwik, batuan yang sudah ditumbuk digiling selama enam jam. Resep tambahannya, gilingan ditambah dengan segenggam semen dan segenggam daun hijau jenis apa saja. Tak jelas apa khasiat daun dan semen ini. ''Yang pasti, supaya kadar emasnya tinggi," kata Husen, seorang gurandil yang dijumpai TEMPO.
Selanjutnya, lumpur hasil gilingan—lazim disebut urat—ditampung dalam baskom besar. Penirisan dimulai. Urat disaring melalui kain parasit yang diambil dari payung. Dengan tangan telanjang, urat diperas sampai tinggal gumpalan berwarna putih kekuningan. Nah, kini melangkah ke tahap terakhir. Gumpalan batu dipanaskan sampai air raksa menguap dan tinggal lempengan emas yang siap dijual.
Saat air raksa menguap, Husen jelas menghirup uapnya karena ia bekerja tanpa mengenakan masker. Risiko berat itu diambilnya lantaran penghasilan yang bisa digaet cukup menggoda. Satu karung batuan biasanya menghasilkan 10-500 gram emas 23 karat yang dijual Rp 55 ribu per gram. Dalam sebulan, Husen bisa meraup puluhan juta rupiah. Setiap bulannya, rata-rata 600 gram emas ditambang para gurandil yang dijuluki oleh pemerintah daerah sebagai penambang emas tanpa izin (PETI) itu.
Mereka datang dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Menurut survei PT Aneka Tambang, jumlah gurandil turun-naik tak menentu. Jumlah paling tinggi tercatat sembilan ribu orang. Dan lewat kegiatan mereka inilah kawasan Pongkor itu hidup. Warung makan, misalnya, dalam sehari bisa menggaet omzet Rp 1 juta. Belum lagi jasa ojek atau jasa penyewaan mesin penggiling serta berbagai ''jasa gelap" aparat keamanan setempat.
Dari penambangan liar itu, pencemaran lingkungan jelas tak terelakkan. Kubangan tempat menampung buangan lumpur bersatu dengan sungai dan mata air. Reni, bidan Pusat Kesehatan Masyarakat Curug Bitung yang sering bertugas ke Ciguha, berkisah bahwa sebelum Aneka Tambang datang pada 1987, sungai di kawasan Pongkor masih jernih. Kemudian, penambangan liar berkembang sejak 1992 dan meledak saat krisis ekonomi mendera. Seiring dengan giatnya penambangan, air sungai menjadi kotor, warnanya cokelat kehitaman seperti oli. ''Pasti tak bisa diminum," kata Reni.
Itu akibat ratusan ton limbah lumpur ditumpahkan ke sungai dari Pongkor. Di dalamnya terangkut pula air raksa yang kemudian meresap masuk ke rantai makanan. Pisang, nanas, dan padi menyerap air yang mengandung merkuri. Ayam dan binatang ternak lain pun memakan tanaman berkandungan air raksa. Ujungnya, manusia mengonsumsi tumbuhan dan hewan yang mengandung air raksa tadi.
Departemen Kesehatan, sepanjang 1998 sampai pertengahan 1999, telah meneliti pencemaran air raksa di Gunung Pongkor. Hasilnya mengejutkan. Air sungai, misalnya, berkadar merkuri sampai 7,9 part per million (ppm)—jauh melampaui batas aman, yang hanya 0,001 ppm. Tanah sekitar penambangan juga tercemar air raksa 286,4 ppm atau ratusan kali lipat dari batas normal, yang cuma 0,625 ppm. Udang, padi, dan daun singkong yang diteliti tim Departemen Kesehatan juga tak luput dari cemaran merkuri jauh di atas ambang batas. Rambut para gurandil juga mengandung merkuri rata-rata 12,3 ppm atau enam kali lipat dari batas normal. Dan tak bisa dipastikan bahwa semua ini akibat hasil penambangan liar saja. Boleh jadi sistem pembuangan limbah Aneka Tambang ikut menyebabkan pencemaran itu.
Sudah pasti, ini bukan perkara sepele. Malapetaka seperti yang terjadi di Teluk Minamata, Jepang, bisa meledak kapan saja. Di Minamata, sepanjang 1932-1968, pabrik kimia Chisso Corp. membuang 600 ton limbah beracun methyl mercury. Aroma maut pun meruap. Awal 1953, puluhan kucing pemakan ikan berair raksa kejang lalu bergelimpangan mati. Kemudian, giliran manusia terkena akibat: kejang-kejang, polio, pikun, tremor, dan kanker, sampai perubahan kepribadian menyebar luas. Lebih dari 2.000 orang cacat seumur hidup. Tak sedikit pula bayi yang lahir dengan tingkat kecerdasan rendah.
Pongkor memang belum separah Minamata. Keluhan yang muncul di Pongkor baru sebatas alergi, gatal-gatal, atau diare. Namun, ini bukan gejala yang bisa dianggap remeh. Menurut Umar Fahmi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, wujud keracunan merkuri tidak harus sama persis dengan yang terjadi di Teluk Minamata. Keragaman gejala penyakit sangat mungkin terjadi. Umumnya, dampak merkuri yang paling awal terlihat di ujung-ujung saraf. Dan gejala ini sudah mulai diderita warga Pongkor. Seperti dicatat oleh tim peneliti Departemen Kesehatan, beberapa penduduk mengaku terserang baal (mati rasa) pada tangan, kesemutan, dan tremor alias tangan bergetar tak terkendali. Bahkan, boleh jadi temperamen tinggi warga Pongkor juga dipicu merkuri.
Jika benar merkuri sudah merasuki orang Pongkor, kerusakan lebih parah tinggal tunggu waktu. Lebih-lebih, masyarakat di sana masih jauh dari kesadaran akan kesehatan sendiri. Dan tak ada satu pun vaksin atau obat yang bisa menangkal dampak merkuri. ''Hanya bisa dicegah melalui hidup sehat," kata Umar yang juga guru besar ilmu kesehatan lingkungan di Universitas Indonesia ini.
Pongkor hanya salah satu kisah penambangan liar yang merusak lingkungan. Penambangan emas rakyat serupa ada di berbagai wilayah Indonesia. Di Sungai Mandor, Pontianak, Kalimantan Barat, misalnya, penambangan rakyat beroperasi sejak ratusan tahun lalu. Cara menambangnya pun sangat mengotori lingkungan. Tanah yang diduga berisi emas didulang dengan kain kasa di tepi sungai. Bijih emas hasil dulangan ditempatkan di dalam wadah yang berisi air raksa. Emas yang tersaring raksa diolah lagi dan air raksanya langsung dibuang ke sungai. Seperti disaksikan koresponden TEMPO Edi Petebang, para penambang tak ragu memasukkan sisa air raksa ke mulut temannya.
Entah apa rasanya sisa air raksa itu, tapi yang pasti tak juga disadari adalah bahayanya untuk dirinya, manusia di sekitarnya, dan juga lingkungan tempat hidup kita ini.
Mardiyah Chamim, Ardi Bramantyo, Hardy Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini