Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EDDY Soedjono bukan wartawan atau kolektor koran. Namun, selama hampir setahun ini, saban hari, Eddy harus melahap 13 koran yang terbit di Indonesia timur. Setelah itu, ia masih harus menimbang apakah isi koran hari itu sangat memojokkan si Anu, memfitnah si Polan, atau menjadi corong partai politik tertentu. Dalam bahasa keren, Eddy melakukan analisis isi. Kegiatan itu adalah bagian dari rutinitasnya sebagai Ketua Tim Analis Media Watch Ujungpandang (MWU).
Lembaga di atas hanya satu dari sekian pemantau media yang muncul setelah reformasi. Rupanya, euforia media massa selepas reformasi telah mendorong lahirnya lembaga-lembaga tersebut. Menurut istilah Lukas Suwarno, Ketua Pemantau Media Aliansi Jurnalis Independen (AJI), media massa bagaikan pasar bebas ide-ide dalam bentuk yang sangat purba. Segala permainan kasar hadir dalam "pasar bebas" ini selama satu tahun terakhir. Ada media yang terus-menerus menyikat Soeharto atau Megawati, memanas-manasi situasi, mengkriminalkan berita politik, atau bermain-main dengan isu yang sumir. Talking news juga merajalela. Seseorang bicara hari ini, hari berikutnya sudah menjadi headline surat kabar.
Situasi yang longgar ini seolah membuka godaan ke arah penyelewengan media yang memang punya sejumlah kekuatan dan kekuasaa--sebuah kekuasaan yang oleh Ben Bagdikian, dalam bukunya The Media Monopoly (edisi ke-5, 1997), disebut "kartel komunikasi". Kartel ini bukan saja mampu mengontrol manusia secara luar biasa melalui kata-kata dan gambar, tapi juga membuat korporasi media bisa lebih kuat pengaruhnya ketimbang pendidikan, agama, keluarga, dan pemerintah.
Beberapa pengurus pemantau media yang dihubungi TEMPO sepakat bahwa media dengan kekuatannya memang bisa menyeleweng. Untuk itu, dunia pers perlu rambu-rambu guna mengontrol diri sekaligus awas pada segala penekanan terhadap kebebasan pers. Dan masyarakat harus diberdayakan agar peka terhadap segala penyelewengan bentuk media. Lukas Suwarno dari AJI, Veven Sp. Wardhana mewakili Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Syirikit Syah dari Lembaga Konsumen Pers (LKP) Surabaya, dan Aidir Amin Daud, Direktur Lembaga Studi Informasi dan Media Massa serta membawahi Media Watch Ujungpandang, setuju bahwa pers kini cenderung sangat vokal dan berani. Namun, bagi mereka, sejauh ini pelanggaran paling umum baru sekitar perimbangan berita.
AJI dan ISAI mencontohkan koran Rakyat Merdeka yang tampil dengan judul-judul yang sangat bombastis. ISAI menyimpulkan betapa RCTI sangat memihak Golkar dalam pemberitaannya. Di Ujungpandang, MWU menemukan pola-pola pemihakan serupa. Harian Fajar dan Parepare Pos memberitakan Golkar dalam porsi besar tapi cenderung negatif. Sedangkan Pedoman Rakyat cenderung pro-Golkar. Dari Surabaya, Syirikit Syah mencontohkan Liberty sebagai majalah keluarga yang berbau "esek-esek".
Memang harus diakui bahwa cara kerja dan jangkauan para pemantau media di Indonesia masih terbatas, misalnya analisis baru dilakukan pada isu tertentu. Metode yang dipakai adalah analisis isi (jumlah berita, jumlah halaman, posisi berita, dan keragaman informasi) serta analisis wacana (apa yang sesungguhnya ada di balik berita tersebut). Dari situ, mereka menyimpulkan jenis pelanggaran yang dilakukan media. Jangkauan wilayah pemantauan juga masih terbatas pada satu-dua kota, kecuali ISAI yang mempunyai sentra di Ujungpandang, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang.
Namun, ada satu hal penting yang perlu dipertanyakan dari lembaga-lembaga ini, yakni kehadiran orang-orang pers sebagai pengelola, yang bukan saja menimbulkan tanda tanya, tapi juga ironi. Sebab, bagaimana mungkin seseorang memantau dirinya sendiri? "Kehadiran orang pers dalam pemantauan media diperlukan sebagai penyeimbang," ujar Syirikit Syah. Tapi pengamat media Ashadi Siregar menolak pendapat itu. "Kalau mau jadi pengawas media, jangan menjadi orang media. Sebab, pers yang mengawasi diri sendiri itu omong kosong," kata Ashadi. Negeri Barat yang sudah jauh lebih dulu mengenal tradisi pemantauan media dikenal amat ketat menerapkan aturan ini.
Sebenarnya, bukan lembaga pemantau media ini saja yang bisa menjadi pagar untuk para wartawan. Sebuah Kode Etik Wartawan Indonesia yang merupakan semacam pembaruan Kode Etik PWI telah diteken oleh 24 organisasi kewartawanan, 7 Agustus silam. Sejatinya, kode etik ini bukan saja harus dipahami oleh pekerja pers, tapi juga oleh lembaga-lembaga pemantau media.
Hermien Y. Kleden, Mustafa Ismail, Hardy R. Hermawan (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), Tomi Lebang (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo