Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Perang Dagang Amerika -- Cina, Dulu Versus Eropa dan Jepang

Amerika telah terlibat perang dagang setidaknya tiga kali sebelum dengan Cina.

27 April 2018 | 18.01 WIB

Ilustrasi persaingan ekonomi AS dan Cina. Stansberrychurchouse
Perbesar
Ilustrasi persaingan ekonomi AS dan Cina. Stansberrychurchouse

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Washington - Istilah “perang dagang” muncul di berbagai pemberitaan media massa global dan lokal selama dua bulan terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ini dipicu ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina terkait kegiatan ekspor - impor kedua negara, yang cenderung menguntungkan Cina hingga sekitar US$375 miliar atau sekitar Rp5200 triliun per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

 

"Pada 1930an AS pernah mengeluarkan kebijakan tarif untuk proteksi pabrik domestik," begitu dilansir CNBC pada awal April 2018.

CNN melansir istilah perang dagang berarti situasi kompetisi antar-negara yang ditunjukkan dengan satu negara mengenakan hambatan perdagangan berupa kenaikan tarif atau pembatasan kuota terhadap produk impor dari negara lain. Ini menimbulkan aksi balasan dari negara yang merasa dirugikan.

 

 

Pernyataan Presiden AS, Donald Trump, pada Maret 2018, yang mengenakan kenaikan tarif impor 25 persen dan 10 persen atas produk baja dan aluminium, memicu terjadinya ini.

Cina membalas, seperti dilansir Reuters, dengan menaikkan tarif impor untuk produk pertanian AS dengan kisaran sama. Dan ini melebar ke ribuan daftar produk antarkedua negara seperti elektronik, komponen mobil hingga pesawat terbang.

Presiden Donald Trump, bersama dengan Presiden Cina, Xi Jinping saat kunjungannya ke Cina. scmp.com

Ini bukan pertama kalinya AS terlibat perang dagang. Pada 1930 an, Amerika juga melakukan kebijakan proteksionis. Kongres membuat peraturan soal tarif yang dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Ini dilakukan untuk melindungi pabrik-pabrik di AS yang kalah bersaing dengan pabrik dari berbagai negara untuk menjual produk di pasar AS sendiri.

Negara-negara Eropa yang terkena imbas undang-undang itu lalu membalas mengenakan pajak tinggi untuk berbagai produk impor asal AS. “Bukannya membangkitkan ekonomi, ini malah memperparah Great Depression (era Depresi Besar). Ini membuat AS semakin sulit untuk keluar dari krisis ekonomi saat itu,” begitu dilansir CNBC pada awal April 2018.

Perang dagang ini meluas dengan munculnya berbagai retorika nasionalistik dari berbagai tokoh di berbagai negara hingga akhirnya berdampak terjadinya perang bersenjata dengan dimulainya Perang Dunia II pada 1940an.

AS juga kembali terlibat perang dagang dengan Jepang pada era 1980 an dengan mengenakan tarif tinggi untuk sejumlah barang impor pada era Presiden Ronald Reagan. Ini seperti produk baja dan mobil dari Jepang, yang laku keras di AS. Sejumlah pabrik baja AS menjadi tutup.

“Defisit perdagangan AS dengan Jepang naik dari US$9,1 miliar (sekitar Rp126 triliun) menjadi US$37 miliar (sekitar Rp513 triliun) dari 1979 sampai 1984,” begitu dilansir Japan Times.

Untuk menghindari berkembangnya perang dagang ini, negara-negara menyetujui aturan yang lebih ketat oleh World Trade Organization.

Komoditas baja kembali menjadi ‘bintang’ pada perang dagang antara AS dan Eropa pada 2002. Saat itu, Presiden George W. Bush, mengenakan tarif hingga 30 persen untuk impor baja. “Tapi tarif itu segera dicabut hanya dalam waktu dua tahun dari rencana tiga tahun karena mendapat ancaman dari rekan bisnis perusahaan Eropa,” begitu dilansir CNBC.

Bekas Menteri Perdagangan, Carlos Gutierrez, era Presiden Bush senior, mempertanyakan upaya pemerintahan Trump saat ini untuk menyelamatkan industri baja dan aluminium. Pada awal Mearet, Trump mulai mengumumkan kenaikan tarif impor baja dan aluminium sekitar 25 dan 10 persen untuk melindungi para pekerja pabrik baja dan aluminium di AS.

Menurut Gutierrez dalam wawancara dengan CNBC, serapan tenaga kerja kedua industri ini telah menurun sejak puncaknya pada 1953.

“Berpikir kita akan bisa mengembalikan industri ini ke masa jayanya agak naif,” kata Guiterrez, yang sekarang menjabat sebagai ketua Albright Stonebridge Group. “Mengapa mencoba mengembalikan industri yang telah turun selama beberapa dekade dan bukanya menciptakan industri baru.”

Belakangan Cina dan AS menjajaki pertemuan untuk membahas tarif impor kedua negara untuk menghindari melebarnya perang dagang, yang bisa berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi global.  

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus