Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang diplomatik Paris-Teheran

Prancis memutuskan hubungan diplomatiknya dengan iran. gara-gara penerjemah iran, wahid gordji bersembunyi di gedung kedubes iran di prancis. dituduh terlibat dalam sejumlah aksi teror di prancis.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU malam tiba, suasananya bagaikan panggung sandiwara. Sejumlah lampu sorot berkekuatan tinggi mengguyurkan cahaya ke gedung kedubes Iran di Paris. Terang benderang. Dramatis. Sejak Jumat malam pekan lalu, gedung kedubes bertingkat empat yang terletak di Avenue D'Iena itu tampak tegang dan mencekam. Polisi berjaga-jaga di sekitarnya -- paling sedikit 180 orang -- berseragam jaket antipeluru. Terjadi pengepungan ketat, jalan-jalan diblokade, sejumlah penembak tepat tampak siaga di atas atap gedung-gedung tetangga. Saluran air bawah tanah pun, tak luput dari patroli. Tapi dari jendela gedung kedubes itu, terlihat sejumlah pria bercambang dan berkumis tebal, mengintip ke luar. Tak jelas apakah di antara mereka terdapat Wahid Gordji, penerjemah Iran yang sejak 30 Juni lalu bersembunyi di gedung kedubes itu. Ia melarikan diri dari kejaran polisi Prancis. Gara-gara kasus Gordji -- yang kemudian terkenal dengan "perang kedutaan" -- Prancis Jumat pekan lalu memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran secara sepihak. Gordji, 28 tahun, anak bekas dokter pribadi Ayatullah Khomeini, semasa "numpang hidup" di Paris dituduh terlibat dalam sejumlah aksi teror di Prancis tahun lalu. Teror itu menelan korban 31 orang tewas dan 250 cedera. Ketika pihak keamanan Prancis berusaha menciduknya, 30 Juni, Gordji ngumpet ke kedutaan. Tapi keesokan harinya Gordji muncul dan memberikan konperensi pers di sana. Pemuda yang pernah menjadi penerjemah bagi PM Jacques Chiraq ini -- ketika Wakil PM Iran, Reza Moayeri, berkunjung ke Paris, Mei 1986 -- mengaku bersembunyi di kedubes atas saran pejabat Deplu Prancis. Paris membantah dan bersikeras meminta kesaksian Gordji, dengan alasan pemuda pro-Khomeini ini tak mempunyai kekebalan hukum, karena tidak bersatus diplomat. Iran membalas dengan mengawal ketat kedubes Prancis di Teheran. Tapi lewat satu hari, pengepungan oleh Pasdaran alias Pengawal Revolusi itu dicabut. Namun, sejak detik itu trompet "perang kedutaan" dibunyikan oleh kedua pihak yang bersengketa. Pemerintah konservatif PM Jacques Chirac bersedia bersahabat dengan Teheran, tapi hal ini tidak menghalanginya untuk bersikap keras terhadap Gordji. Timbul dilema, yang tak ubahnya duri dalam daging. Iran lalu cari gara-gara. Petugas duane Prancis dituduh bertindak kasar pada diplomat Iran, Mohsen Aminzadeh. Lalu konsul Prancis, Jean Paul Torri, dituduh terlibat kegiatan mata-mata. Selain itu, dua warga Prancis yang tidak berstatus diplomat tiba-tiba dilarang meninggalkan Iran tanpa alasan yang jelas. Teheran dinilai mengada-ada. Prancis mengecam. "Pemerintah Iran hendaknya menghormati kewajibannya. Konsul Prancis mempunyai kekebalan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina, tidak seperti Gordji," kata Menlu Raimond. Iran kontan mengepung gedung kedubes Prancis, Kamis lalu. Selain itu, mereka melancarkan ultimatum, jika dalam tiga hari Paris tidak mencabut pengepungan kedubes Iran, Teheran akan memutuskan hubungan diplomatiknya. Keesokan harinya, Prancis justru mengambil sikap tegas dan putuslah hubungan kedua negara. Nasib staf kedubes Prancis di Teheran masih belum jelas Oleh Iran mereka diancam akan digiring ke pengadilan Islam. Timbul kekhawatiran, jangan-jangan mereka disandera, seperti yang terjadi dengan staf kedutaan AS di Teheran 1979. Dicemaskan juga, sandera Prancis yang ditawan di Libanon bakal mengalami nasib buruk. Ancaman datang beberapa jam kemudian: 2 di antara 5 sandera Prancis yang masih hidup akan dibunuh. Pemutusan hubungan diplomatik Iran-Prancis tampaknya tak menyelesaikan kasus Gordji yang berkembang menjadi krisis diplomatik itu. Kedua belah pihak tak mau mengalah. Di balik permusuhan itu, Prancis seperti digayut suatu ketidakpastian. Soalnya, PM Chirac berupaya membina hubungan normal dengan Iran, tapi diam-diam memasok senjata untuk Irak, musuh Iran. Untuk normalisasi itu, Iran mengajukan tiga syarat: pengembalian pinjaman US$ 1 milyar warisan Syah Iran oleh Paris, menekan gerakan pembangkang Iran di Prancis, dan menghentikan penjualan senjata ke Irak, dalam arti kemudian menjadi pemasok senjata Iran. Syarat pertama dan kedua telah disetujui Chirac, dengan pencicilan utang sebesar US$ 300 juta, sementara Massoud Rajavi, pentolan gerakan anti-Khomeini, telah ditendang dari Prancis. Untuk ini, Paris mendapat hadiah pembebasan 5 dari 11 orang sandera di Libanon. Namun, pemerintahan Chirac bersikeras menolak penjualan senjata ke Iran. Tahun-tahun terakhir ini Paris mengambil sikap pro-Arab dan, konon, Paris tak mau kalau Iran -- yang dituduh motor penggerak aksi teror di mana-mana -- keluar sebagai pemenang dari kancah Perang Teluk. Dan sejak 1977 Prancis telah memasok senjata bernilai lebih dari US$ 12 milyar ke Irak -- pemasok ke-2 terbesar setelah Uni Soviet. Iran belakangan ini memang gencar menekan Prancis dengan lagi-lagi memainkan kartu sandera. Tapi, rupanya, Paris tidak mau menukar persahabatannya dengan Iran, berapa pun harganya. Pemutusan hubungan Iran-Prancis hanya memperkuat kesan bahwa Teheran semakin terkucil dari Dunia Barat. Farida Sendajaja, Laporan Sapta Adiguna (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus