Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pengorbanan sang admiral

John poindexter dalam kesaksian di kongres as memperkuat keterangan north, bahwa reagan tidak tahumenahu tentang pengalihan dana hasil transaksi senjata as-iran, ke kelompok gerilyawan contra.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Oliver North "naik pang gung", kini tiba giliran John Poindexter memberikan kesaksiannya di muka Kongres AS. Mengundurkan diri tak lama setelah skandal Irangate terbongkar November silam, bekas penasihat keamanan Presiden AS itu mulai "bercerita" Rabu pekan lalu. Di luar dugaan, Poindexter ternyata memperkuat keterangan North, bahwa Presiden Reagan tidak tahu-menahu tentang pengalihan dana hasil transaksi senjata AS-Iran, ke kelompok gerilyawan Contra. Pengakuan Poindexter ini -- yang kini dianggap saksl paling penting di antara mereka yang terlibat skandal Irangate menghentikan berbagai spekulasi tentang kemungkinan "impeachment" (pengusutan Senat) terhadap Reagan. Untuk sementara Reagan "terselamatkan". Dalam situasi yang rawan itu, keterangan Poindexter setidaknya mengesankan bahwa Reagan tidak berbohong, seperti yang selama ini dicurigai orang. Citranya agak tertolong sesudah Poindexter mengaku bertanggung jawab. Untuk itu sang admiral sengaja tampil sebagai terdakwa, dengan mengucapkan "pengakuan dosa". Toh publik tidak dengan mudah percaya. Mereka menduga Poindexter sengaja "dikorbankan" untuk memikul aib skandal Irangate, yang telah mengguncang dan mencoreng nama baik pemerintahan Reagan. Dalam kesaksiannya Letkol Oliver North memikat penonton dengan senyum dan kelihaian bicara, tapi Poindexter justru tampil sebagai sosok yang serius. Ia -- dalam proses kesaksian itu -- tak pernah lepas dari pipa rokok. Dengan sikap tenang, Poindexter mengakui telah memberikan lampu hijau bagi upaya pengalihan dana ke kelompok Contra yang diajukan bekas stafnya Oliver North -- tanpa diketahui Reagan. Menurut Poindexter, Reagan sengaja tak diberi tahu, untuk melindungi Presiden AS itu dari krisis politik dan kemungkinan terjerumus dalam hal yang memalukan, jika misalnya operasi rahasia tersebut bocor. Justru itulah yang terjadi, skandal Irangate bocor juga akhirnya. Di depan tim penyidik Kongres, Poindexter terpaksa maju, setidaknya untuk menyatakan Reagan tidak terlibat. Namun, pada kesempatan yang sama, perwira tinggi ini mengemukakan hal lain yang cukup memojokkan Reagan. Katanya, Reagan menyetujui rencana operasi rahasia penjualan senjata ke Iran, semata untuk membebaskan sandera AS di Libanon, Desember 1985. Sampai saat ini Reagan membantah adanya transaksi semacam itu. Presiden bersike ras, tujuan utama penjualan senjata ialal memperbaiki hubungan dengan Iran. Sedan upaya pembebasan sandera, baru berkem bang kemudian. Dengan keterangan Poindexter pekan lalu itu, tersingkaplah kebohongan Reagan. Jelas bahwa motif utama transaksi senjata dengan Iran memang untuk membebaskan sandera, bukan untuk berbaik-baik dengan Teheran, seperti pernah dikatakan Reagan. Para pengamat berpendapat, keterangannya tentang keterlibatan Reagan telah "menjatuhkan" lagi kredibilitas sang presiden. Mereka sepakat bahwa Reagan, walaupun telah "ditolong" oleh pengakuan Poindexter, masih akan terus dibayangi oleh ketidakpercayaan rakyat AS. Mereka tidak percaya Reagan tidak tahu-menahu. Seandainya pun Reagan benar-benar tak tahu, berbagai kritik pedas masih akan ditujukan kepadanya. Reagan bisa didakwa telah mengabaikan urusan kebijaksanaan luar negeri AS. Tuduhan serupa pernah dinyatakan oleh Komisi Tower, tim penyidik kasus IranContra yang ditunjuk sendiri oleh Reagan, Februari silam. Selain itu, banyak kalangan politik dan anggota Kongres AS yang "tak habis pikir" bagaimana seorang penasihat preslden seperti Poindexter dapat memberikan lampu hijau pada keputusan sangat penting -- seperti pengalihan dana itu tanpa harus memberi tahu presiden. "Manajemen gaya Rambo" memang tampaknya mewarnai pemerintahan Reagan -- yang kini oleh mayoritas rakyat AS dianggap "tak banyak mengetahui" berbagai masalah kenegaraan. Poindexter, 50 tahun, anak seorang bankir, sejak masih muda sudah kelihatan cemerlang. Ayah lima anak ini lulus akademi AL AS di Annapolis 1958, dan meneruskan kuliahnya sehingga menggondol gelar doktor di bidang teknologi nuklir. Setelah itu ia bekerja di Pentagon sampai 1981, lalu ditarik ke Gedung Putih sebagai pembantu Richard Allen, penasihat pada Dewan Keamanan Nasional (NSC) waktu itu. Kariernya terus menanjak, hingga diangkat menggantikan Robert McFarlane sebagai ketua NSC, 1985. Selama bekerja di Gedung Putih pria pendiam ini, konon, lebih banyak berkomunikasi melalui komputer daripada bertatap muka langsung. Karena itulah, banyak dokumen rahasia Iran-Contra yang tercecer ketinggalan -- tak keburu dihapuskan -- setelah skandal Irangate terbongkar. Komisi Tower mendasarkan keterangannya, dari dokumen komputer yang tercecer. Walaupun Poindexter yakin keputusannya untuk operasi pengalihan dana itu tak menyalahi hukum -- apalagi karena uangnya berasal dari negara ketiga, bukan dari pemerintah AS -- toh ia merasa gentar juga. Soalnya, jaksa independen Laurence Walsh makin gencar menjuruskan kasus Poindexter -- beserta North dan pelaku Irangate lainnya -- ke perkara kriminal. Tampaknya, jalan ke pengadilan pidana semakin terkuak untuk sang admiral. Farida Sendajaja, Laporan kantor-kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus