Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang (Lagi) di Balkan

Yugoslavia tak bersedia menandatangi perjanjian perdamaian Kosovo. NATO pun menghujaninya dengan rudal. Amerika dan Eropa punya musuh baru yang keras kepala seperti Saddam Hussein.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa pun yang lelah dengan peperangan akan menandatangani perjanjian ini. Tapi Yugoslavia tetap bersikeras. Setelah menjalani perundingan panjang, Yugoslavia tetap tak mau menandatangani perjanjian perdamaian Kosovo itu. Rabu pekan silam, NATO menyerang Yugoslavia dengan menggunakan 80 pesawat tempur jenis F-16, F-18, pesawat "Siluman" B-2, hingga pengebom B-52. Yang menjadi sasaran militer di tujuh kota di Yugoslavia, yakni Pristina, Kursumilija, Uzice, Danilovgrad, Novi Sad, Pancevo, dan Podgorica. Mesin perang Amerika itu bergabung dengan pesawat tempur milik Inggris, Spanyol, Portugal, dan Kanada yang berpangkalan di Italia. "Kami semua setuju tidak bisa membiarkan Presiden Milosevic melanjukan agresi tanpa mendapat hukuman," ujar Presiden Bill Clinton. Di Inggris sekutu Clinton, Tony Blair, menyatakan sekarang sudah waktunya bertindak mengakhiri agresi Serbia di Kosovo. "Ini sebuah keputusan yang sulit tapi tepat," ujar Blair. Serbuan udara yang sudah dijanjikan NATO itu disambut dengan raungan sirine selama empat jam di tengah ingar-bingar ledakan rudal Tomahawk. Di tengah malam yang gelap-gulita, karena semua aliran listrik dimatikan, hujan rudal menghancurkan barak-barak militer di Serbia, Bandara Batajnica yang merupakan bandara utama di Montenegro, dan sebuah instalasi militer terbesar di ibu kota Serbia. Sementara itu empat instalasi militer, pompa bensin, dan kawasan industri di ibu kota Kosovo, Pristina, porak-poranda dilahap api. Serangan berikutnya berlangsung lagi pada pukul 4 dinihari Kamis pekan lalu. Antrean panjang penduduk tampak di depan tempat perlindungan bom di beberapa kota. Pesawat tempur Amerika antre lepas landas dari kapal induk USS Sea, USS Gonzales, dan USS Miami, yang parkir di Laut Adriatik. USS Sea dan USS Gonzales melepas sejumlah rudal sebagai pembuka serangan gelombang kedua. Sementara ini, rencana NATO adalah melakukan serangan udara hingga beberapa hari dengan sasaran menghancurkan pertahanan udara Yugoslavia. Akibat serangan ini, tak cuma instalasi militer, tapi juga banyak fasilitas umum yang ikut hancur. Pasokan listrik dan air di Pristina luluh-lantak karena hantaman rudal. Pusat kota tampak lengang karena pemilik toko menutup dagangannya. Pemerintah Yugoslavia mengumumkan 10 orang meninggal akibat serangan itu. "Serangan ini merupakan tindakan kriminal yang tak perlu dicontoh," ujar pernyataan resmi Kementerian Pertahanan Yugoslavia. Serangan udara NATO ini, sebagaimana biasa, mendapat reaksi dari dunia internasional. Sebagai tanda protes, Perdana Menteri Rusia Yevgeny Primakov menunda kunjungannya ke Washington. Tapi Presiden Boris Yeltsin memutuskan tidak menggunakan kekuatan militer membalas serangan terhadap sekutunya itu. Takhta Suci Vatikan, Cina, Vietnam, Thailand, Irak, Iran, dan bahkan Indonesia mengecam serangan itu. "Menggunakan jalan kekerasan selalu merupakan sebuah kekalahan kemanusiaan," ujar Joaquin Navarro Valls, juru bicara Vatikan. Inilah akibat Presiden Slobodan Milosevic yang keras kepala. Penolakan untuk menandatangani kesepakatan perdamaian yang berlangsung di Prancis pekan lalu itu, menurut dia, karena ia menganggap perundingan itu adalah sebuah penipuan. Menurut Milosevic, Amerika dan Eropa sudah mendiktekan teks perjanjian itu sebelum proses negosiasi dimulai dan itu dilakukan tanpa berkonsultasi dengan Yugoslavia. Sikap Milosevic ini didukung oleh Presiden Serbia, Milan Milutinovic. "Bagaimana mungkin Anda menandatangani sebuah perjanjian bila tak satu pun pasal perjanjian itu didiskusikan dengan Anda?" ujar Milutinovic. Bahkan Milutinovic menganggap perjanjian perdamaian itu sebenarnya tidak ada, sehingga tak ada yang perlu disetujui atau ditolak. Menurut Milutinovic, mereka sudah membicarakan hal itu bersama tiga mediator, tapi para mediator selalu menolak amandemen versi Yugoslavia dan Serbia, dan hanya diminta menyetujui kesepakatan tertulis berdasarkan kerangka kerja Amerika dan Eropa mengenai otonomi Kosovo. Memang sempat terjadi sebuah kompromi yang agak melegakan, yakni terbentuknya Grup Kontak, yang berfungsi mengakhiri krisis Kosovo ini. Grup itu terdiri dari Amerika, Rusia, Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia. Perundingan terakhir di Paris berjalan lima hari, sedangkan di Ramboullet, Prancis, akhir Februari lalu, selama 17 hari. Bahkan Rusia, sekutu tradisional Yugoslavia, sudah meminta agar Yugoslavia menandatangani perjanjian perdamaian itu. Tapi, baik pemerintah Yugoslavia maupun pemerintah Republik Serbia semakin takut kehilangan kontrol terhadap republik-republik bekas Yugoslavia ini, sehingga tak ingin kehilangan Kosovo. Kehadiran pasukan perdamaian dianggap sebagai ancaman terhadap upaya mempertahankan keutuhan sisa-sisa wilayah bekas Yugoslavia. Maka, ketika muncul gerakan separatisme etnis Albania di Kosovo dengan munculnya Pasukan Pembebasan Kosovo (KLA), Yugoslavia dan Serbia bahu-membahu membasminya. Setidaknya sudah 2.000 jiwa melayang dan 400 ribu orang meninggalkan rumah sejak pasukan Yugoslavia melakukan operasi militer di Kosovo tahun lalu. Sebenarnya Yugoslavia sudah setuju Kosovo memperoleh otonomi, dan etnis Albania yang merupakan 90 persen dari dua juta penduduk Kosovo juga sudah bersedia menandatangani persetujuan itu. Tapi Yugoslavia sangat keberatan akan kehadiran pasukan penjaga perdamaian mengawasi pelaksanaannya di Kosovo. Pemerintah Yugoslavia berpendapat bahwa pasukan perdamaian itu seharusnya merupakan isu yang berbeda dalam perjanjian perdamaian itu. Tapi Washington menolaknya. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa NATO akan menempatkan 26 ribu personel militernya di Kosovo. Bagian inilah yang ditentang Serbia. Ingat, sebelumnya harapan Serbia untuk menguasai Bosnia juga sudah pupus, sehingga dendam terhadap NATO agaknya masih menyala. Eskalasi konflik militer Yugoslavia dengan etnis Albania semakin bengkak beberapa pekan lalu. Dua orang terbunuh dan empat lainnya luka parah ketika bom meledak di sebuah kafe milik etnis Albania di ibu kota Provinsi Pristina. Setidaknya empat desa dibakar oleh militer Yugoslavia di kawasan utara Drenica dan Lapastica, yang merupakan pusat gerilyawan KLA di timur laut Kosovo. Militer Yugoslavia yang mengenakan masker itu tak sungkan memberondong 16 penduduk hingga tewas di depan umum hanya untuk menghancurkan moral separatisme etnis Albania. Bahkan, pada saat NATO sedang gencar-gencarnya meluluhlantakkan sasaran militer Yugoslavia dalam serbuan gelombang kedua, kejahatan terhadap etnis Albania terus berlangsung. Dua desa etnis Albania dihujani altileri Serbia Jumat pekan lalu, dan penduduk sebuah desa tak bisa melarikan diri karena dikepung militer Serbia yang menghujani mereka dengan tembakan. Menurut Richard Halbrooke, juru runding Amerika, perdamaian sulit dicapai jika kekacauan yang dilakukan militer Yugoslavia di Kosovo terus berlangsung. Halbrooke pada saat-saat terakhir pun gagal membujuk Milosevic setelah berbicara selama empat jam pada Selasa pekan lalu. Sejak itu Halbrooke pesimistis bahwa perdamaian bisa tercapai. Padahal Presiden Clinton hanya punya satu syarat untuk mengakhiri serbuan NATO, yakni penghentian penyerbuan militer Yugoslavia ke Kosovo. Tampaknya Amerika dan Eropa mendapat musuh baru yang keras kepala setelah Saddam Hussein. R. Fadjri (sumber: Associated Press)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus