Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal pelaksana pemilu, akhirnya pemerintah mau juga mendengar tuntutan publik. Personel Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mewakili pemerintah ternyata diisi tokoh masyarakat dan kampus. Kalaupun ada "orang pemerintahan", itu hanya Anak Agung Oka Mahendra, mantan politisi dari Golkar yang kini adalah staf ahli Menteri Kehakiman. Empat tokoh lainnya adalah Adnan Buyung Nasution, Adi Andojo, Afan Gaffar, dan Andi Mallarangeng. Ditambah 48 wakil partai peserta pemilu, awal Maret lalu KPU itu pun terbentuk. Dan melalui proses pemilihan yang ramai tapi demokratis, pemimpin KPU pun terpilih. Rudini sebagai ketua, Buyung dan Harun Al Rasyid jadi wakilnya.
Bagaimana tanggapan masyarakat? Menurut hasil jajak pendapat TEMPO, mayoritas responden menyatakan percaya terhadap KPU dengan komposisi seperti itu. Lembaga itu diyakini mampu menyelenggarakan pemilu yang lebih jujur dan adil ketimbang sebelumnya. Maklum, pada praktek terdahulu, Lembaga Pemilihan Umum (LPU)--nama lembaga ini sebelumnya--tak lebih dari mesin pencetak suara bagi Golkar. Cuma, karena baru pertama kali KPU punya susunan seperti ini, meski jumlah suara miring amat sedikit, kalangan yang masih meragukan kemampuan komisi ini juga cukup besar.
Selain soal figur, komposisi hak suara di lembaga itu juga sempat mencuatkan kekhawatiran adanya dominasi pemerintah. Menurut ketentuan, wakil pelat merah yang cuma lima orang itu berhak mengantongi 50 persen suara. Berimbang dengan total hak suara 48 orang wakil partai. Tapi, dari jajak pendapat ini, dengan komposisi wakil pemerintah dan hak suara seperti itu, cuma sedikit yang menyatakan KPU tak akan sanggup bersikap independen terhadap "salam tempel" pemerintah. Meski demikian, toh suara yang ragu-ragu hampir sama besar dengan kalangan yang meyakini kemandirian KPU.
Figur rupanya menjadi faktor yang amat menentukan bagi kepercayaan publik. Hal ini diperteguh dengan pandangan responden yang menaruh kepercayaan pada kepemimpinan Jenderal Purnawirawan Rudini. Ada dua alasan utama. Pertama, mantan Menteri Dalam Negeri yang merangkap Ketua LPU itu dinilai memiliki segudang pengalaman dalam menangani urusan coblosan. Jam terbang jadi sangat berharga di tengah waktu persiapan pemilu yang amat mepet ini. Kedua, suaranya didengar cukup lantang dan kritis terhadap pemerintah. Sementara itu, di mata kalangan yang menolak, Rudini adalah bagian dari kecurangan pemilu pada zaman Orde Baru. Ia juga dinilai belum teruji komitmennya sebagai tokoh reformasi.
Lepas dari penilaian negatif itu, seharusnya sekaranglah saat yang tepat bagi sang Jenderal untuk menebus "dosa lembaga" yang pernah dipimpinnya tujuh tahun silam. Di samping itu, juga ada keuntungan lain. Rudini seharusnya tahu persis di mana dan bagaimana menutup segala jenis akal-akalan dan celah kecurangan pada pemilu terdahulu.
Tentang "pasukan" yang dipimpin Rudini ini, TEMPO Interaktif sudah mendahului membuat jajak pendapat. Hasilnya, sebagaimana yang dimuat dalam rubrik Indikator (TEMPO, 29 Maret 1999), hampir sama. KPU mendapat kepercayaan dari masyarakat dan dinilai akan bisa netral menyelenggarakan pemilu.
Bagaimana dengan pelaksana di daerah? Bukan rahasia lagi, pada pemilu terdahulu, kecurangan gila-gilaan justru terjadi di tingkat ini. Suara Golkar digelembungkan secara sistematis oleh aparat lokal, mulai dari gubernur dan panglima militer sampai lurah dan hansip. Saat ini, KPU mulai membentuk panitia pemilihan dari tingkat provinsi sampai ke tingkat desa. Komposisi anggotanya sama dengan Komisi: wakil partai dan pemerintah. Dalam hal ini, lagi-lagi responden bersikap optimistis. Mereka yakin bahwa panitia pemilihan yang tak lagi dikangkangi birokrasi itu dapat memangkas kecurangan di tingkat daerah.
Masyarakat telah memberikan kepercayaannya dan tentu saja itu tidak gratis. Ada sebuah harga yang harus dibayar Komisi: pesta demokrasi yang tak lagi penuh kecurangan.
Karaniya Dharmasaputra
INFO GRAFISAlasan Rudini bisa dipercaya? | Ya | 50% | Tidak | 29% | Ragu-ragu | 21% | | Alasan Rudini tidak bisa dipercaya? | Berpengalaman | 44% | Cukup kritis terhadap pemerintah | 43% | Sebagai wakil partai | 19% | Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | | Alasan Rudini tidak bisa dipercaya? | Bagian dari rezim Orba | 59% | Bukan tokoh reformasi | 37% | Figur militer | 8% | Tidak tahu | 1% | Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | | Apakah KPU bisa independen? | Ya | 43% | Tidak | 17% | Ragu-ragu | 40% | | Kecurangan di daerah bisa dipangkas | Ya | 58% | Tidak | 11% | Ragu-ragu | 31% | | Apakah KPU mampu menyelenggarakan pemilu lebih jurdil? | Ya | 54% | Tidak | 12% | Ragu-ragu | 34% | | |
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 508 responden di lima wilayah DKI pada 16--22 Maret 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel I>(sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo