Profesor Jeffrey Alan Winters bukanlah sosok terlampau istimewa. Tapi nama pakar Indonesia dari Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat, ini belakangan meroket ke seantero dunia. Itu bukan karena analisis yang mencorong ihwal babak-belurnya perekonomian dan krisis politik di sini, melainkan lantaran ?jasa? Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Sebuah ?jasa? yang, ironisnya, berawal dari ketersinggungan Ginandjar atas tudingan bermain kotor di Freeport, tambang terbesar di dunia, di Irianjaya.
Memang Winters juga tidak gratis menikmati popularitas dadakan ini. Profesor berusia 38 tahun yang punya panggilan kesayangan ?Jupri??begitu ia dipanggil saat tinggal di Yogyakarta pada 1980-an?ini terpaksa berurusan dengan aparat penegak hukum gara-gara gugatan Ginandjar. Pekan lalu, Winters, yang tak menduga bakal menghiasi kepala berita media massa di Jakarta, resmi menjadi tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik pejabat negara. Winters tak bisa cuma berlenggang meluncurkan dua bukunya, Power in Motion dan Dosa-Dosa Politik Orde Baru, tapi juga harus memenuhi panggilan Markas Besar Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Sebenarnya tak ada gebrakan baru yang digeber polisi ataupun jaksa. Dua puluh satu pertanyaan yang diajukan tim penyidik kepolisian tidak bergerak jauh dari pemberitaan media sejak kasus ini meledak, Oktober tahun lalu. Tapi bunga-bunga yang menyertai kasus Winters-Ginandjar makin semarak. Seorang pria yang mengaku bernama Samsudin, yang berpihak pada Amerika Serikat, mengingatkan bahwa ada 20 hunter?di lain waktu menyebut sniper atau penembak jitu?yang siap menghabisi Winters. Dan informan ini bukan orang awam. Buktinya, ?Dia tahu nomor telepon langsung Duta Besar Stapleton Roy, tidak melalui operator,? kata Winters. Dengan beragam warna ini, kasus Winters menjadi kian gayeng. Ia pun sampai dikawal khusus petugas berpakaian preman.
Sekarang mari kita napak tilas bagaimana kasus unik ini bermula. Senin, 12 Oktober 1998, pukul 10.00-12.00 WIB, Winters menjadi tamu konferensi pers yang digelar Bank Dunia di Galeri Cemara, Jakarta. Bank Dunia, saat itu, sedang disorot karena dugaan keras kebocoran dana ?bantuan? untuk Indonesia. Tak tanggung-tanggung, nilai kebocorannya sampai US$ 10 miliar (hampir Rp 90 triliun) atau 30 persen dari total bantuan. Nah, sebagai lembaga donor paling bergengsi, Bank Dunia berkepentingan untuk cuci tangan. Tim evaluasi dan antikorupsi segera dibentuk. Nominasi ketuanya adalah Ginandjar Kartasasmita, yang justru menjadi pintu pertama pencairan utang Bank Dunia ketika ia menjabat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dalam kesempatan tanya jawab, seorang wartawan bertanya kepada Winters apakah Ginandjar layak memimpin tim yang akan meneliti ke mana larinya uang Bank Dunia. Winters spontan menjawab, ?Saya kira tidak pantas.? Ketimbang memilih Ginandjar, Winters lebih suka memilih ?orang yang tanpa question mark di kepalanya? (TEMPO, 26 Oktober 1998). Sebagai dasar argumentasi, ada dua alasan yang dikutip Winters?pria lajang yang fasih berbahasa Indonesia dan juga sedikit Jawa itu. Yang pertama adalah laporan akhir tahun 1996 dari Econit, lembaga riset pimpinan ekonom Rizal Ramli, yang membeberkan secara detail kerugian sistem bagi hasil dalam Kontrak Karya (KK) II Freeport, 1988, 15 tahun sebelum ?sewa tambang? yang pertama berakhir. Yang kedua adalah tulisan investigasi tentang Freeport di koran ekonomi bergengsi Asia Wall Street Journal (AWSJ) edisi 29 September 1998. Secara gamblang, AWSJ menyebut keterlibatan Ginandjar, Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, memuluskan KK II, yang dilansir setelah Freeport menemukan Grasberg. Harta karun berupa bukit tembaga, emas, dan perak ini bernilai US$ 60 miliar. Hebatnya, Grasberg ini berupa tambang terbuka, sehingga tak perlu teknik dan ongkos pengeboran yang melangit.
Singkat kata, Grasberg akan mendongkrak Freeport dari perusahaan kelas menengah menjadi pemain tambang papan atas?peluang yang ?bodoh? bila dilewatkan begitu saja. Tapi, untuk mengelola harta karun Grasberg, Freeport membutuhkan modal awal. Masa kontrak yang tinggal 15 tahun mempersulit Freeport meraih kredit baru. Apa akal? James Moffet, Presiden Komisaris Freeport, melobi Ginandjar. Mereka cepat akrab: main golf, makan di restoran, dan saling mengunjungi. Ginandjar mengakui, ?Moffet teman bertualang yang menyenangkan.? Akhirnya, KK II digenggam Freeport, dengan sejumlah syarat.
Salah satu syarat itu adalah pengalihan 10 persen saham Freeport Indonesia (FI) dari Freeport McMoran menjadi milik nasional?tanpa dijelaskan maksudnya: pengusaha nasional, BUMN, atau pemerintah. Tanpa tender yang jelas, entah apa alasannya, saham tiba-tiba jatuh pada Aburizal Bakrie, bos kelompok bisnis Bakrie. Sumarlin, Menteri Keuangan saat itu, berdalih bahwa tak ada satu pun pengusaha yang berminat mendapat ?rezeki nomplok? ini.
Seusai pertemuan di Galeri Cemara, dengan berlenggang kangkung, Winters tinggal landas. Ia pulang tanpa sadar meninggalkan bom waktu. Setiba di rumahnya, di Chicago, 15 Oktober, Winters mendapati ratusan lembar faksimile?yang menghabiskan bundelan kertas mesin faks?datang dari berbagai penjuru dunia. Semua memberitakan perang antara Winters dan Ginandjar. ?Oh, my God,? teriak Winters, yang baru mafhum betapa serius situasi yang ia hadapi. ?Saya merasa tertipu,? kata Winters, yang merasa Indonesia sudah memasuki zaman reformasi?tapi ternyata kelakuan para pejabatnya masih ala Orde Baru.
Sepanjang minggu setelah pertemuan Cemara, suasana Jakarta bertambah panas. Para petinggi kelabakan seperti kebakaran jenggot. Ginandjar merasa terhina dan mengajukan gugatan atas nama pejabat negara, Kamis, 15 Oktober. Kepada TEMPO, Ginandjar membantah telah memberikan katebelece untuk Ical Bakrie, menekan Freeport, apalagi menerima imbalan. ?Satu sen pun tak saya terima. Coba saja cek,? katanya. Beberapa anggota DPR meminta Winters dipanggil untuk mengklarifikasikan ucapannya. Sementara itu, Menteri Kehakiman Muladi marah besar. Katanya, ?Saya tidak terima. Itu harus ditindak yang namanya Winters. Itu sombong orang itu.? Presiden Habibie juga tak mau kalah bereaksi. ?Winters menghina pemerintah Indonesia,? ujarnya.
Kasus Winters-Ginandjar pun memasuki babak baru, yaitu proses menuju pengadilan. Tapi, seperti biasa, pemerintah berkutat di wilayah pinggiran. Sosok Winters terus disorot. Sedangkan inti persoalan, benar-tidaknya kongkalikong Ginandjar-Freeport-Bakrie, (sengaja) tidak disentuh. Dan karena Winters ada di Amerika, jauh dari jangkauan para pejabat yang marah, persoalan tambah lama tambah dingin. Reda. Ginandjar pun, untuk sementara, aman menjalankan tugasnya.
Jauh di Chicago sana, Winters tak tinggal diam. Ia makin serius mempelajari kasus Freeport. Ada beberapa bukti kunci yang dia yakini sebagai titik terang patgulipat dalam perusahaan yang dipimpin James Moffet ini. Perpanjangan kontrak karya, misalnya, dilakukan tanpa didukung alasan kuat. Secara resmi, alasan Freeport adalah agar perusahaan ini bisa menghimpun modal guna meneruskan penambangan Grasberg. Padahal, ?Bisa saya buktikan, keuangan mereka sudah cukup. Mereka berbohong,? kata Winters.
Winters juga memperluas jaringan investigasi. Ia lalu bekerja sama dengan wartawan dari beragam media. Bertumpuk data valid, termasuk tentang harta Keluarga Cendana di lima benua, sudah di tangan. Winters juga berharap kejaksaan mau memanfaatkan data investigasi ini?sesuatu yang terasa ?musykil?. Yang pasti, sejauh ini, Winters tak dihargai sebagai sumber informasi. Ia justru ?dikaruniai? status tersangka. Kejaksaan, seperti dituturkan Jaksa Agung Andi Ghalib, akan meminta bukti ihwal korupsi itu dari Winters, termasuk berapa persisnya kerugian negara dan dalam bentuk apa. ?Kalau tidak bisa membuktikan, berarti Winters telah memfitnah,? kata Ghalib kepada Edy Budiyarso dari TEMPO. Poin fitnah-memfitnah inilah yang kini telah menjadi rancu. Menurut Loebby Loqman, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, status Winters sebagai pemberi informasi seharusnya justru dilindungi. Sumber informasi, laporan Econit dan AWSJ, yang seharusnya ditelusuri. Ginandjar idealnya diperiksa pengadilan sampai terbukti benar-tidaknya melakukan korupsi. ?Kalau itu tidak terbukti, baru Winters bisa dikenai tuduhan pencemaran. Ini kan terbalik,? kata Loebby.
Kini Winters bebas melenggang kembali ke negerinya, tanpa hambatan berarti?hunter dan sniper itu ternyata, ah, omong kosong. Sesampai di bandar udara, ia bahkan tak perlu melewati counter imigrasi, sebagaimana layaknya penumpang biasa. Misteri kolusi dan korupsi di megatambang Grasberg? Jangan harap bakal segera diusut serius. Coba simak pernyataan Soehandoyo, Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, seusai pemeriksaan Winters: ?Ia sekadar menggabung-gabungkan berita dan menganalisisnya.? Padahal Winters?yang kapan pun siap dipanggil kejaksaan?punya segepok bahan investigasi yang tersimpan rapi di Chicago.
Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto, Nurur R. Bintari, Purwani D. Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini