Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPAT di hari ketika pemilihan umum (Pemilu) Malaysia 2022 berlangsung pada 19 November, hujan deras mengguyur negeri jiran itu. Hujan sejak pagi itu tak menghalangi para pemilih mendatangi tempat-tempat pemungutan suara. Seperti di Sekolah Menengah Negeri Pesisiran Perdana di pesisir barat Negara Bagian Johor. Para pemilih datang membawa mobil hingga jalan di sekitarnya penuh dan macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para politisi mengkritik penyelenggara yang tetap menggelar pemilu di hari hujan. "Pemilihan kali ini seakan-akan dipaksa diadakan ketika musim hujan," kata Syed Ibrahim Syed Noh, calon inkumben anggota Dewan Rakyat, parlemen nasional negeri itu, dari Partai Keadilan Rakyat untuk wilayah Ledang, Johor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah daerah bahkan kebanjiran, seperti Sepang, Petaling, Klang, dan Selangor. Pemerintah setempat harus mengerahkan perahu-perahu untuk menjemput masyarakat yang terkena banjir agar dapat datang ke pusat-pusat pencoblosan.
Kawasan pesisir Johor tak sampai kebanjiran sehingga 300 lebih pemilih bisa datang ke sekolah itu. Mereka antre di depan ruang-ruang kelas tempat kotak pencoblosan disediakan. Pemilih dapat memberikan suara hingga pukul 18.00, waktu resmi tempat pemilihan ditutup.
Prosedur pemilihan tak jauh berbeda dari sebelumnya. Yang berbeda adalah kelonggaran bagi pemilih. Sebelumnya pemilih harus masuk daftar pemilih yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, sekarang Komisi mengizinkan mereka yang tak terdaftar untuk mencoblos asalkan dapat menunjukkan kartu identitas resmi, seperti kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, atau paspor.
Suasana yang juga berbeda tampak di gerbang masuk sekolah. Tak ada tenda-tenda kecil yang lazim didirikan partai politik dalam pemilihan umum. Dulu kader-kader partai di tenda itu biasanya sibuk membujuk para pemilih untuk mencoblos partai mereka. Keributan sering terjadi bila ada kader yang mengejek partai lain yang menegakkan tenda tak jauh dari tempat mereka. Komisi Pemilihan Umum memang telah melarang tenda-tenda itu didirikan di dekat tempat pencoblosan pada pemilihan tahun ini.
Anwar Ibrahim menyampaikan pidato selama kampanye pemilihan umum Malaysia di Ulu Klang, Selangor, Malaysia, 16 November 2022. REUTERS/Hasnoor Hussain
Johor adalah salah satu negara bagian yang menjadi pusat pertarungan antara Barisan Nasional (BN), koalisi partai pimpinan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO); dan Pakatan Harapan (PH), koalisi partai oposisi pimpinan Partai Keadilan Rakyat (PKR). Selama ini, Barisan Nasional menguasai negara bagian tersebut. Tapi, dalam pemilihan umum 2018, Pakatan Harapan menang dengan 18 kursi dan Barisan Nasional cuma kebagian 8 kursi.
Namun, setelah "gerakan Sheraton", manuver politik sejumlah anggota parlemen dalam pertemuan yang digalang antara lain oleh Muhyiddin Yassin di Hotel Sheraton, Petaling Jaya, komposisi koalisi berubah karena banyak partai mundur dari koalisi Pakatan Harapan. Muhyiddin, politikus UMNO, kemudian mendirikan koalisi Perikatan Nasional dan beberapa partai pun pindah ke koalisi baru ini. Akibatnya, komposisi koalisi dari Johor pun berubah. BN kemudian memimpin dengan 13 kursi dan PH 11 kursi. Tak cuma di Johor, gerakan Sheraton juga membuat PH kehilangan banyak legislator dari negara bagian lain.
Pemilihan umum Malaysia kali ini terutama menjadi ajang persaingan Barisan Nasional, Pakatan Harapan, dan Perikatan Nasional. Pemilihan ini juga memecahkan rekor dengan 945 calon yang memperebutkan 222 kursi Dewan Rakyat—calon terbanyak dalam sejarah negeri itu. Selain itu, menurut Komisi Pemilihan Umum, 441 calon bersaing untuk merebut 117 kursi Dewan Undangan Negeri—semacam dewan perwakilan daerah—di Negara Bagian Perak, Pahang, dan Perlis serta pemilihan antarwaktu untuk kursi Bugaya, Negara Bagian Sabah.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob, menuju pusat nominasi pada hari pencalonan di Bera, Pahang, Malaysia, 5 November 2022. REUTERS/ Lai Seng Sin/File Foto
Dalam perebutan kursi Dewan Rakyat, PH mengirim 206 calon, BN 178 calon, PN 149 calon, dan Partai Pejuang Tanah Air 116 calon. Partai Warisan Sabah mengajukan 52 calon, Gabungan Parti Sarawak 31 calon, dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS) 22 calon. Partai-partai lain mengirim kurang dari 20 calon.
Pemilihan tahun ini juga mencatat rekor calon independen terbanyak. Ada 108 calon yang turut bertanding merebut kursi parlemen. Dalam pemilihan umum 2013 dan 2018 jumlahnya jauh lebih sedikit, masing-masing 79 dan 24 calon.
Anwar Ibrahim, calon Perdana Menteri Malaysia dari PKR, turun ke Tambun, Negara Bagian Perak. Selama ini, pemimpin Pakatan Harapan itu menjadi anggota parlemen dari Port Dickson, Negara Bagian Negeri Sembilan. Di Tambun, dia kini bersaing dengan Muhammad Faizal Azumu, calon inkumben dari Partai Pribumi Bersatu Malaysia, partai yang didirikan Mahathir Mohamad yang kini bergabung dengan Perikatan Nasional.
Dengan persaingan tiga koalisi besar BN, PH, dan PN, pemenang pemilihan umum ini tampaknya harus berkoalisi untuk dapat membentuk pemerintahan. "Kami mau sebisa mungkin mayoritas sederhana," tutur Anwar Ibrahim setelah berkampanye di Tambun pada Jumat, 18 November lalu. Dengan 222 kursi di Dewan Rakyat, maka PH harus menguasai sedikitnya 112 kursi untuk mencapai mayoritas sederhana.
PKR, kata Anwar, mungkin saja berkoalisi, tapi tidak dengan golongan fanatik agama. "Kita harus hormati kemanusiaan ini, yang memiliki keberagaman," ujarnya ketika membahas peluang berkoalisi dengan PAS.
PKR juga sulit berkoalisi dengan UMNO atau Barisan Nasional. Menurut Anwar, saat Pakatan Harapan menang dalam pemilihan umum 2018 dan dia diperkirakan menjadi perdana menteri, UMNO mengajak berunding. "Saya tidak mau teken satu surat yang memberi jaminan mereka (pemimpin UMNO) lepas dari hukum," ucapnya. Saat itu Najib Razak, mantan perdana menteri dari UMNO, dipenjara dalam kasus korupsi 1MDB. Yang paling mungkin, kata Anwar, PKR berkoalisi dengan partai-partai daerah, seperti partai di Sabah dan Sarawak.
Muhyiddin Yassin, mantan perdana menteri dan pemimpin Perikatan Nasional, mengklaim bahwa Anwar Ibrahim dan Ahmad Zahid Hamidi, Presiden UMNO, akan membentuk koalisi pemerintahan PH dan BN. Anwar membantah klaim itu. "Dia (Zahid) tahu bahwa UMNO tidak akan memenangi cukup kursi untuk membentuk pemerintahan sendiri, jadi dia akan mengambil langkah untuk bekerja sama dengan PH," ujar Muhyiddin saat berpidato di Indera Mahkota, Negara Bagian Pahang, Selasa, 8 November lalu, seperti dikutip Malaysia Now.
Syed Ibrahim menekankan, bila memang harus berkoalisi, kesepakatannya harus jelas. "(Kami) perlu menetapkan syarat yang jelas saat perundingan agar mandat rakyat tidak terpengaruh dan perkara-perkara dasar untuk membentuk kerajaan perlu dipatuhi, seperti Anwar Ibrahim sebagai perdana menteri," katanya.
Di tengah persaingan itu, suara kelompok minoritas, seperti penduduk keturunan Cina dan India, bisa jadi menentukan. Selama ini suara mereka diwakili partai seperti Perhimpunan Cina Malaysia (MCA) dan Kongres India Malaysia (MIC), yang bergabung dalam Barisan Nasional. Ada pula Partai Aksi Demokratik (DAP), yang bergabung dengan Pakatan Harapan.
Bila suara mereka untuk MCA dan MIC dialihkan, tentu akan menggerus kekuatan BN. "Masyarakat Cina umumnya berpendapat bahwa pemerintah yang dipimpin UMNO telah menganaktirikan mereka," ujar Kok Et Soon, warga Cina di Pekan Rawang, Johor. "Walaupun ada MCA sebagai partai yang mewakili masyarakat Cina, mereka merasa sebagian besar kekayaan negara telah didistribusikan secara tidak merata dan keutamaan diberikan kepada masyarakat Melayu, walaupun kami tahu itu sebenarnya diambil oleh politikus Melayu."
"Karena itu, masyarakat Cina berharap partai lain dapat bersuara mewakili mereka," tutur Kok Et Soon, seraya menyebut partai seperti DAP dan PKR yang bisa mewakili suara mereka dalam Pemilu Malaysia 2022 ini.
SAFWAN AHMAD (JOHOR), ANDINI W. EFFENDI (PERAK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo