BAGI ribuan pendukungnya, ia seperti seorang malaikat. Setiap kali ia berpidato, mengucapkan ide baru atau ide basi, massa itu langsung menyambutnya dengan gegap gempita: "Hidup Benazir! Benazir, perdana menteri!" Ia memang patut didoakan. Sebuah perjalanan yang sakit telah dilaluinya, untuk meraih kursi perdana menteri itu. Bahkan hingga saat-saat terakhir, wanita berusia 35 tahun ini direcoki gangguan. Infeksi ginjal beberapa pekan lalu menyebabkan ia harus berkampanye di atas kereta api. Dan bulan lalu, dia -- dalam umur 35 tahun -- baru saja melahirkan bayi pertamanya. Tapi kenapa ia, yang berapi-api ini, memaksakan diri untuk tak mundur? Ia mengatakan, hatinya didorong untuk menciptakan demokrasi di Pakistan. Tapi entah didorong oleh tekad demokrasi entah pula didorong dendam, hidup Benazir adalah hidup yang didominasi politik. Misalnya, ketika tiba-tiba ia mengumumkan pernikahannya dengan seorang kontraktor Karachi, Asif Ali Zardari, Agustus tahun silam. Kini ada dugaan, peristiwa ini dipakai sebagai samaran bahwa panggung politik sudah ditinggalkannya. Kemudian, ia mengumumkan putranya akan lahir pada sekitar Desember ini atau Januari tahun depan. Ini pun sebuah siasat. Musuh utamanya, Presiden Zia ul Haq, sebelum tewas di udara ketika pesawatnya meledak Agustus yang lalu, mengumumkan penyelenggaraan pemilu yang segera mungkin dengan anggapan bahwa Benazir tak akan ikut, karena repot dengan si bayi. "Kami berhasil mengecohnya," kata Benazir. "Bayiku lahir di bulan November, dan aku ikut berkampanye." Sejak kecil ia memang telah hidup di kancah politik. Anak tertua dari 4 bersaudara ini dilahirkan dari sebuah keluarga tuan tanah di Larkana, Sind, selatan Pakistan, pada 21 Juni 1953. Begum Nusrat, ibunya adalah istri kedua dari Zulfikar Ali Bhutto tokoh politik Pakistan itu. Sang ibu keturunan seorang pedagang Iran yang berdiam di Bombay, India. Sang ayah keturunan tuan tanah. Tak seperti bayi Pakistan lainnya, Benazir memiliki warna kulit merah jambu. Sejak itu, ia dipanggil dengan nama "Pinkie", sementara nama Benazir -- artinya: tak ada duanya -- diambil dari nama seorang bibinya yang meninggal sewaktu remaja. Sebagai anak Bhutto, kehidupan Pinkie serba ada. Jabatan ayahnya, antara lain jadi wakil Pakistan di PBB sebelum jadi perdana menteri, memungkinkan itu. "Bila ayah pulang dari New York, kami diberi oleh-oleh sekaleng besar permen cokelat dan setumpuk pakaian mahal," ujar Benazir mengenang. Untuk menambah pengetahuan anak-anaknya, setiap malam Ali Bhutto mendongengi mereka dengan cerita tokoh-tokoh dunia seperti Alexander Agung dan Napoleon. Beda lain dari umumnya keluarga Pakistan: Ali Bhutto lebih bersikap moderat dalam mendidik agama Islam pada anak-anaknya. Walaupun ditempa sebagai seorang muslimah di lingkungan keluarganya, Benazir diperkenankan menamatkan sekolah menengahnya di sekolah-sekolah Katolik. Malahan, ia pernah menghadiri misa-misa di lingkungan sekolah maupun di sebuah gereja, yang terletak di kaki Himalaya. Perubahan besar memasuki kehidupan anak dara Bhutto berusia 16 tahun ini tatkala ia meneruskan pendidikannya ke Radcliffe College AS -- waktu itu sekolah khusus wanita di bawah bendera Harvard University. Di sana, semua atribut kemanjaan harus dilepaskan jauh-jauh. "Aku menangis, menangis dan menangis, karena aku tak pernah jalan kaki ke sekolah," kata Benazir. Di situ, Pinkie harus menembus udara dingin yang menggigit. Tak mudah bagi seorang gadis serba punya dari Pakistan. "Ia tak pernah memasak atau mencuci bajunya," tulis Anne Fadiman, penulis majalah Life, yang pernah sekelas dengan Benazir. Namun, dalam waktu singkat, Benazir menemukan pribadinya kembali. Ia mulai mengenakan celana blue jeans ke sekolah. Ia juga ikut berpartisipasi dalam demonstrasi anti-Perang Vietnam dan naik subway untuk nonton film Love Story. Meski tak merokok menenggak bir dan makan babi, ia mau juga diajak hura-hura. Namun, ia tak meninggalkan ciri khasnya sebagai orang Pakistan. Aroma minyak wangi yang menyengat hidung -- berbaur dengan gambar pemain basket idolanya akan tercium bila Anda masuk dalam kamarnya. Rasa patriotiknya juga tinggi. Rasa ini, misalnya, tiba-tiba menggelegak tatkala dalam sebuah diskusi, gurunya mengkritik kebijaksanaan militer Pakistan. Kala itu, Benazir bangkit dari duduknya dan memberi kuliah pada gurunya dengan suara gemetar dan berapi-api. Sejak itu, Benazir dikenal sebagai orator ulung di kampusnya. Bakatnya ini dilanjutkannya ketika ia belajar politik, filsafat, dan ekonomi pada Oxford University. Berbekal kemampuannya sebagai ahli pidato, Benazir terpilih memimpin Oxford Union, setahun setelah ia lulus dari perguruan tinggi kesohor di Inggris itu. Grup diskusi kampus ini dikenal sangat prestisius karena alumninya banyak yang menjadi politikus dan negarawan antara lain PM Inggris Margaret Thatcher. "Tapi aku bukanlah seorang aktivis politik," ujar Benazir setelah kembali ke negerinya, Pakistan, di pertengahan 1977. "Aku hanya tertarik pada masalah internasional, tanpa melibatkan unsur politik dalam kehidupanku," ujarnya lagi. Segalanya berubah ketika nasib keluarganya berubah. Yakni ketika ia mengalami tekanan dari pihak penguasa Pakistan saat itu. Ini bermula dengan kudeta militer didalangi Pangab Jenderal Mohammad Zia ul Haq -- yang menyebabkan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, turun dari kursi perdana menteri. "Maaf, Pak. Saya terpaksa menahan Anda demi keamanan. Dalam waktu 90 hari akan ada pemilu dan Anda tetap terpilih sebagai PM," kata Jenderal Zia di telepon, beberapa saat setelah kudeta berlangsung. Belakangan ketahuan, Bhutto tak kunjung jadi PM. Ia bahkan mati di tiang gantungan pada 4 April 1979, dengan tuduhan telah terlibat dalam sebuah pembunuhan politik terhadap lawannya. Dalam buku otobiografinya yang terbit di London, pekan lalu, Benazir Bhutto menuduh bahwa ayahnya tak mati di tiang gantungan. Buku karangannya sendiri yang diberi judul Daughter of the East itu lebih lanjut menjelaskan, Ali Bhutto tewas dihajar petugas keamanan beberapa saat sebelum eksekusi dilakukan, karena diminta mengaku bahwa ia berbuat curang dalam pemilu tahun 1977 itu. Agar tak jadi mati, kata Benazir, sebuah upaya sadistis dilakukan orang-orang itu. Tenggorokannya dilubangi agar Ali bisa bernapas kembali dan berjalan ke tiang gantungan. Itu mungkin hanya kesimpulan seorang anak yang tak mau menerima kesalahan bapaknya. Seorang anak yang memang marah. Karena itu pula Benazir sendiri mulai mengenal dinginnya terali besi, sejak tahun 1978. Waktu itu ia dituduh menghina pihak penguasa dalam pidato-pidatonya. Setahun kemudian, ia pun ditahan kembali gara-gara melakukan rapat gelap, di samping menimbulkan kerusuhan dan berbuat makar. Pada tahun 1981, lagi-lagi ia dijebloskan ke dalam penjara, setelah kelompok Al-Zulfikar -- kekuatan antipemerintah yang dibentuk dua anak laki-laki Bhutto dalam pengasingan di Afghanistan -- membajak pesawat milik Pakistan. Pembajakan itu berakibat Zia terpaksa melepaskan sejumlah tapol untuk menyelamatkan sandera. Sebuah pengalaman tak terlupakan terjadi di tahun 1981. Tatkala mendengar bahwa ia akan dijebloskan ke penjara, ia berteriak kegirangan. "Aku akan bertemu para tahanan politik lainnya dan menyusun kekuatan di dalam," ucapnya. Tapi ternyata kenyataannya lain sama sekali. Selama 6 bulan di penjara Sukkur, Benazir dikurung dalam sel tersendiri yang panasnya mencapai 49 C, bila badai panas melanda Karachi. "Aku mendengar burung-burung yang jatuh dan mati di atas atap selku," tuturnya. Kulit tubuhnya yang kering mengelupas dan berdarah. Rambutnya rontok, sementara pendengaran dan penglihatannya memburuk. Toh amarah dan kenangannya kepada bapaknya menyebabkan ia bertahan. "Kalau ayahku dapat bertahan dalam keadaan seperti ini, aku juga harus bisa," katanya dalam hati. Dan benar. Kehidupan di penjara bila ditotal mencapai 6 tahun itu -- menempa Benazir menjadi "Singa Betina dari Larkana". Ketangguhannya dicoba lagi dengan kematian adik bungsunya, Shanawaz, di Riviera, Prancis. Dalam kasus ini pun para pengikutnya menduga, Shanawaz dibunuh musuh politiknya, karena khawatir adiknya ini menggalang kekuatan untuk menggulingkan Zia. Entahlah. Dan seperti lazimnya wanita Pakistan, Benazir Bhutto dijodohkan orangtuanya. Pasangannya adalah Asif Ali Zardari, 34 tahun, anak tuan tanah kaya asal Sind. Pemuda berkumis tebal itu agaknya cocok dengan hitungan Benazir. Zardari, yang pernah dijuluki "Playboy Karachi" -- karena punya banyak cewek -- lebih suka mengurusi perusahaan kontraktor dan tim polonya ketimbang berpolitik seperti istrinya. Syahdan, pada malam pernikahan yang meriah dl Karachi itu Benazir Bhutto duduk bersanding di dengan Zardari, lelaki yang baru berjumpa lima hari sebelumnya. Sebuah gelang sederhana seharga US$4 melilit di pergelangan tangannya. Kuku jari tangan dan kakinya dicat dengan warna merah muda. Seperti gadis berusia 17 tahun, ia mematut diri di depan kaca sambil mencoba berbagai macam alat kecantikan, beberapa hari sebelumnya. Tak ada lagi kepedihan di sana. Yang ada hanya gelak tawa para tamu yang asyik menghirup Pepsi. Sementara itu, pasangan pengantin baru itu menghilang untuk menemui sekitar 75 ribu pendukungnya yang kebanyakan dari keluarga miskin. "Mereka menganggap Benazir saudaranya. Jadi, mereka berhak juga hadir dalam pesta perkawinan ini," ujar seorang teman dekatnya menjelaskan. Jika benar Benazir memang milik mereka, itu harus dibuktikannya kini. Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini